Keniscayaan Khilafah
Osman Bakhach (Direktur Kantor Penerangan Pusat Hizbut Tahrir) |
Revolusi Industri di Eropa Barat sekitar
dua abad lalu melahirkan kompetisi antaradidaya Eropa seperti Prancis,
Inggris, Spanyol, Belanda, Belgia, Italia dan Jerman. Namun, meski
terjadi persaingan di antara mereka, mereka bersatu menghadapi umat
Islam dan Khilafah Utsmaniyah di Turki.
Sepanjang abad 19, kekuatan Eropa terus
berupaya melemahkan umat Islam baik secara intelektual maupun politik.
Mereka mendirikan banyak sekolah misionaris di wilayah Khilafah, rumah
sakit dan universitas. Mereka juga membentuk organisasi rahasia yang
mempromosikan nasionalisme Arab dan Turki untuk memisahkan Arab dari
Turki; memprovokasi Turki untuk melepaskan wilayah Arab sebagai beban
nasionalisme Turki. Di penghujung abad 19, baik bangsa Turki maupun
bangsa Arab sama-sama antusias mengusung nasionalisme ini.
Saat itu Khilafah Utsmaniyah dalam
keadaan lemah. Khilafah gagal dalam mengantisipasi manuver Eropa dengan
invasi intelektualnya. Para ulama pun lengah dalam melawan arus
sekularisme Eropa. Akibatnya, Inggris dengan leluasa memprovokasi
gerakan separatisme Arab untuk memberontak terhadap otoritas Turki,
seperti Revolusi Arab yang dipimpin oleh perwira Inggris Lawrence of
Arabia selama Perang Dunia I. Pada saat yang sama, kaum nasionalis Turki
terus mendesakan agendanya di wilayah Arab yang membuat Arab semakin
marah.
Dari sisi intelektual, Inggris
menjadikan Mesir sebagai pusat penyebaran konsep filsafat sekular dan
konsep politik Barat, termasuk fatwa yang dibuat oleh Muhammad Abduh. Di
sisi lain, kalangan misionaris di Beirut Lebanon juga aktif menyebarkan
agenda sekularisasi.
Semua ini berakhir dengan kejatuhan
Khilafah Utsmani di Turki oleh Mustafa Kemal, seorang perwira pasukan
Utsmani yang juga berlaku sebagai agen Inggris. Di tangan Mustafa Kamal,
turki berubah dari Khilafah menjadi Negara Turki bercorak
sekular-nasionalis.
Kolonialisme Pasca Khilafah Runtuh
Setelah Khilafah Ustmani runtuh, Inggris
dan Prancis bersaing untuk merealisasikan impiannya, yaitu menyiapkan
semua bentuk rencana untuk memastikan bahwa Negara Khilafah tidak akan
pernah bisa bangkit lagi. Rencana itu didasarkan pada prinsip devide et impera
dengan menjalankan Perjanjian Sykes-Picot. Melalui perjanjian ini,
bekas wilayah Kekhilafahan Ustmaniyah dipecah menjadi beberapa negeri
mini yang tapal batasnya ditentukan oleh kekuatan kolonial. Islam pun
dikeluarkan dari kebijakan publik. Mereka kemudian mempercepat
sosialisasi dan penerapan ideologi sekular lengkap dengan gaya hidupnya.
Situasi ini dirangkum oleh Dr David
Fromkin, seorang profesor dan ahli sejarah ekonomi dari Universitas
Chicago, “Kekayaan Khilafah Ottoman menjadi harta rampasan perang. Namun
perlu diingat, bahwa Islam selama berabad-abad berusaha menguasai
Kristen Eropa. Maka dari itu, tidak aneh ketika nasib berbalik, Eropa
ingin memastikan tidak akan ada lagi ancaman bagi dirinya. Dengan
pengalaman merkantilis, Inggris dan Prancis membentuk negeri-negeri
kecil yang tidak stabil, yang penguasanya memiliki ketergantungan supaya
tetap bisa berkuasa. Negeri-negeri ini dikendalikan pembangunannya dan
perdagangannya sehingga tidak akan pernah mampu menandingi Eropa.”
Bermunculanlah negeri-negeri kecil
bercorak republik, emirat, kerajaan, nasionalis, revolusioner, atau
marxis. Masing-masing memiliki ciri-ciri yang sama, yaitu dipimpin oleh
para tiran yang didukung oleh rezim Barat.
Inggris pun membentuk Negara Israel di
Palestina yang menjadi ujung tombak untuk mempertahankan kepentingan
Barat dalam menghadapi segala kemungkinan akan bangkitnya kembali Negara
Khilafah.
Reaksi Umat Islam
Meskipun umat islam telah dikalahkan dan
Khilafah dihancurkan, cahaya iman keislaman sebagai ideologi masih
belum padam dari jantung dan pikiran sebagian mereka yang ikhlas. Ulama
dan pemikir berusaha membangkitkan umat melalui dakwah, membangun
gerakan untuk meredam arus pembusukan umat serta mengembalikan
kemuliannya dengan menerapkan Islam sebagai pandangan hidupnya.
Sepanjang tahun 50-an, 60-an dan 70-an,
mayoritas gerakan Islam berjuang tanpa kekerasan dan berhasil
mempengaruhi masyarakat untuk mengendalikan hidupnya dengan Islam.
Namun, penindasan brutal oleh berbagai
pemerintah menciptakan atmosfir kekerasan di Dunia Islam. Ini membuat
sebagian gerakan islam mempromosikan militansi sebagai balasan terhadap
penindasan dan juga menggunakan jalan kekerasan untuk mengambil-alih
kekuasaan.
Dalam kondisi seperti ini, gerakan al-
Jihad muncul di Mesir. Mayoritas anggotanya ditahan dan disiksa di
penjara. Pada saat bersamaan, pada tahun 80-an perang jihad berkobar di
Afganistan melawan kekuatan Komunisme Soviet. Kekalahan Soviet mengirim
pesan bahwa Islam adalah alat yang efektif untuk mengembalikan wibawa
umat dan membebaskan umat dari pendudukan kekuatan asing.
Kemudian, kudeta militer terhadap partai
Islam FIS di Aljazair yang memenangkan Pemilu secara sah, membuat
banyak pemuda Muslim percaya bahwa jihad adalah jalan keluar untuk
kembalinya Islam, bukan dengan pemilu.
Ilusi Neo-liberal dan Gejolak Arab Musim Semi
Menurut David Mason dalam bukunya, Akhir Abad Amerika,
“Amerika tidak lagi berada dalam puncak kepemimpinan setelah menikmati
puncak keemasan selama 50 tahun terakhir. Kini negeri ini telah
bangkrut. Kita tidak lagi memimpin dalam politik, ekonomi dan sosial.
Kita tidak lagi dikagumi orang dan tidak menjadi panutan pertumbuhan
ekonomi dan pengembangan politik seperti dulu. Jadi ini adalah
pergeseran global baik bagi AS dan dunia.”
Setelah keruntuhan Uni Soviet, kekuatan
Barat membutuhkan Islam sebagai musuh baru dan musuh eksternal untuk
menggalang orang-orang Barat mecetuskan Perang Salib baru. Umat Islam
dalam keadaan lemah sehingga mudah dituduh dan dilabeli teroris.
Serangan 9/11 direncanakan dan dilaksanakan oleh CIA untuk
menjustifikasi agresi Amerika untuk mencapai hegemoni global dengan
alasan perang melawan terorisme. Sikap ini digunakan untuk menyerang dan
menduduki Afganistan dan Irak. Ketika kebohongan tuduhan tentang
senjata pemusnah massal Irak terungkap, pemerintah Amerika berubah
haluan dengan menyatakan bahwa tujuan dari perang di Irak adalah untuk
mempromosikan demokrasi, bukan untuk mencari senjata pemusnah massal.
Inilah bukti petualangan militer oleh
Amerika yang seharusnya bisa menyadarkan umat Islam di seluruh dunia.
Pemerintah Amerika terus merancang berbagai pernyataan dan kebijakan
untuk memenangkan pertarungan merebut hati dan simpati umat Islam.
Namun, di balik itu semua kebohongan justru terungkap dari Amerika itu
sendiri. Peristiwa Gejolak Arab pada musim semi lalu atau Arab Spring
telah mengungkap realita kebijakan Barat yang sarat dengan kolonialisme.
Dewan Keamanan PBB telah mengutuk penggunaan senjata kimia oleh agen
Amerika Bashar Assad di Suriah dalam serangan pada 21 Agustus 2013, yang
mengakibatkan kematian mengerikan dari 1429 korban, termasuk 426
anak-anak . Namun, DK PBB menutup telinga dan mata terhadap 125.000
korban tewas akibat praktik bumi hangus yang dilakukan oleh pasukan
Assad di seluruh Suriah. Sungguh logika yang menggelikan untuk tidak
membunuh orang dengan senjata kimia, namun pembantaian dibolehkan selama
menggunakan senjata konvensional seperti bom, artileri, rudal, tank,
pesawat militer dan pembunuhan biadab akibat penyiksaan di ruang bawah
tanah pasukan rezim Suriah.
Di Mesir, dunia pun telah menjadi saksi
bahwa demokrasi adalah kebohongan ketika Amerika mendukung kudeta yang
dipimpin oleh Jenderal Sissi.
Keniscayaan Khilafah
Hari ini umat Islam menolak model
sekular Barat dan menyadari untuk kembali ke Islam. Berbagai survey dari
tahun ke tahun, termasuk yang dilakukan oleh Pew Forum, menunjukan
prosentase yang besar dari umat Islam di banyak negara bahwa mereka
menginginkan syariah menjadi hukum resmi negara.
Secara intelektual umat telah menyatakan
komitmen yang kuat untuk menjadikan Islam sebagai jalan hidup. Mereka
pun rela berkorban dalam upaya untuk kembali ke Islam. Di Asia Tengah,
kami telah menyaksikan kepahlawanan umat Islam dalam menentang tiran.
Di Rusia kami telah melihat sikap heroik yang sama. Demikian pula di
Pakistan, Mesir, Tunisia, Turki, Lebanon dan sebagainya.
Dunia telah mendengar panggilan keras
dan jelas untuk Khilafah dari jantung kota Jakarta ke kota-kota besar di
seluruh Bangladesh dan Pakistan. Di Turki seruan Khilafah terdengar
dari makam Mustafa Kemal Ataturk. Panggilan yang sama terdengar jelas di
Tunisia di sebelah makam tokoh sekular, Bourguiba. Suara yang sama
terdengar dari kedalaman penjara tiran di Asia Tengah dan Beirut yang
merupakan benteng sekularisme di dunia Arab. Gejolak Arab telah
mengilhami harapan dunia internasional untuk bisa lepas dari cengkeraman
Kapitalisme, yang terkenal dengan gerakan “Occupy Wall Street”
(Duduki Wall Street). Gerekan ini berhasil memobilisasi protes massa di
berbagai kota besar. Bahkan sebagian dari mereka mengumandangkan
slogan, “Rakyat ingin menggulingkan rezim!”.
Kekuasaan kolonial Barat memang bergegas
melemahkan pemberontakan di Tunisia, Mesir, Yaman dan Libya dengan
membajak gelombang kemarahan rakyat terhadap rezim yang korup. Namun,
mereka telah gagal menghancurkan revolusi heroik di Suriah. Saya tidak
mengatakan bahwa revolusi di Suriah telah menang. Namun, saya mengatakan
bahwa Amerika telah memimpin kampanye teror yang belum pernah terjadi
sebelumnya terhadap sikap berani umat Islam di Suriah yang tak terlihat
sebelumnya sejak jaman Stalin dan Hitler. Amerika telah membiarkan
tiran Assad untuk menggunakan segala cara penghancuran dan pembunuhan
dengan roket, artileri , pesawat militer, rudal, senjata kimia dan bahan
peledak pemusnah massal. Rezim Assad memang berhasil membunuh secara
membabi buta warga sipil. Namun, Amerika telah gagal mematahkan tekad
umat Islam di Suriah. Sebaliknya, hari demi hari umat Islam di Suriah
terus menyerukan untuk pembentukan Negara Khilafah Islam.
Situasi internasional sekarang lebih
baik dari sebelumnya dan siap untuk menyongsong fajar baru Negara
Khilafah, sebagaimana yang diramalkan oleh Nabi Muhammad saw. dalam
sabdanya, “…Kemudian akan datang kembali Khilafah Rasyidah menurut cara kenabian itu.” (HR Ahmad).
Saya berdoa panjang dan keras bahwa
kita, umat saat ini, akan segera menyadari cahaya Negara Khilafah yang
akan membebaskan kita dari belenggu rezim buatan manusia, yang
memungkinkan kita sekali lagi untuk bernapas dengan tenang dan damai. [Osman Bakhach (Direktur Kantor Penerangan Pusat Hizbut Tahrir)]
Posting Komentar untuk "Keniscayaan Khilafah"