Menggenapi Tuntutan “AKSI 212”
“Aksi Bela Islam III” atau “Aksi 212” pada Jumat tanggal 2 Desember 2016 akhirnya dilangsungkan. Setelah ada kesepakatan Mabes Polri dengan GNPF-MUI. Aksi 212 ini diikuti jutaan umat Islam.
Ribuan umat Islam dari berbagai daerah ikutserta dalam aksi ini. Bahkan ribuan umat Islam dari Kabupaten Ciamis Jawa Barat longmarch menuju Jakarta setelah sebelumnya sejumlah PO Bus dilarang mengangkut mereka oleh pihak Kepolisian. Larangan ini diberlakukan oleh Kepolisian di berbagai daerah. Akibatnya, sejumlah PO Bus takut menyewakan busnya untuk “Aksi 212”, terutama setelah mereka didatangi aparat (Republika.co.id, 29/11).
Baik “Aksi 411” (4 November 2016) maupun “Aksi 212” (2 Desember 2016) setidaknya telah membuktikan dua hal: Pertama, bahwa umat Islam sesungguhnya bisa bersatu. Meskipun mereka berasal dari berbagai latar belakang berbeda baik mazhab,organisasi,kelompok,profesi,dll—faktanya bisa dipersatukan oleh al-Quran.
Kedua, bahwa umat Islam masih “hidup”. Kemarahan mereka terhadap Ahok sang penista al-Quran dan sigapnya mereka untuk terlibat dalam “Aksi 411” maupun “Aksi 212”—dengan segenap semangat dan pengorbanan mereka—membuktikan bahwa mereka masih memiliki ghirah yang luar biasa.
Dua hal inilah yang menjadi modal berharga bagi kebangkitan umat selanjutnya. Saat umat “bangun dari tidur panjangnya”, maka siapapun tak akan bisa menghalangi segala hasrat dan keinginan mereka ini. Dan hal ini akan lebih dahsyat jika umat memiliki kesadaran ideologis Islam demi menggenapi ghirah dan persatuan yang terbukti bisa mereka wujudkan. Dengan kesadaran ideologis Islam, umat sejatinya sadar bahwa kasus penistaan al-Quran oleh Ahok ini mengharuskan mereka untuk terus bergerak dengan dua tujuan:
Pertama, terus menekan Pemerintah untuk segera memenjarakan Ahok dengan cepat dan menghukum dia dengan hukuman berat. Apalagi dalam Islam, penista al-Quran layak dihukum mati.
Kedua, semestinya umat tidak berhenti pada kasus penistaan al-Quran oleh Ahok. Pasalnya, penistaan al-Quran oleh Ahok hanyalah akibat, bukan sebab. Sebabnya adalah karena sistem yang diterapkan negeri ini memang sekular, yakni menjauhkan agama (Islam) dari kehidupan. Karena sekular, negeri ini dijauhkan dari al-Quran. Al-Quran tidak diterapkan dalam kehidupan. Padahal Allah SWT telah memerintahkan kaum Muslim agar menjadikan al-Quran sebagai sumber hukum, sebagaimana firman-Nya:
وَأَنِ احْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ
Berlakukanlah hukum di tengah-tengah mereka berdasarkan wahyu yang telah Allah turunkan kepada kamu dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka (TQS al-Maidah [5]: 49).
Di sisi lain, saat al-Quran tidak diterapkan, berarti al-Quran dicampakkan.
Selain itu, selama al-Quran diabaikan dan dicampakkan, kasus demi kasus penistaan Islam oleh orang-orang kafir tentu akan terus bermunculan. Mengapa? Karena dalam sistem sekular yang tidak menerapkan al-Quran, menistakan Islam dianggap sebagai bagian dari ekspresi kebebasan yang dijamin oleh demokrasi dan tidak melanggar HAM.
Tentu kita sepakat al-Quran wajib diterapkan dalam kehidupan bernegera. Tentu penerapan al-Quran dalam kehidupan bernegara tidak mungkin hanya dijalankan oleh pribadi-pribadi, tetapi sekaligus harus dijalankan oleh negara. Itulah Khilafah yang merupakan satu-satunya model sistem pemerintahan Islam. Berdiam diri alias tidak ikut berjuang untuk menegakkan Khilafah, bahkan menghalangi perjuangan umat untuk menegakkan kembali Khilafah, berarti membiarkan al-Quran tetap ditelantarkan. Sebab, Khilafah adalah satu-satunya institusi penegak syariah, yang dengan itulah al-Quran benar-benar bisa diterapkan dalam seluruh aspek kehidupan.
Aksi 212 ini mengisyaratkan semakin dekatnya bisyarah Rasulullah saw akan tegaknya Khilafah Islamiyah 'ala minhaj annubuwwah..
Alhasil, siapapun yang menganggap Khilafah sebagai ancaman adalah orang yang buta agama, politik dan sejarah. Wallâhu A’lam. [VM]
Pengirim : Nunung (Cikarang)
Posting Komentar untuk "Menggenapi Tuntutan “AKSI 212”"