Membingkai Ketakwaan Hakiki, Butuh Sistem Islami
Ilustrasi |
Oleh : Renita (Pegiat Literasi)
Tinggal beberapa hari lagi, bulan Ramadhan akan kembali hadir di tengah-tengah kaum muslimin di seluruh dunia. Bulan yang dikenal sebagai bulan penuh keberkahan ini, tentu membuat kaum muslimin berlomba-lomba untuk meningkatkan kualitas ibadahnya, sebab akan dilipatgandakannya pahala. Suasana religius pun tercipta seiring dengan pelaksanaan berbagai aktivitas ketaatan di dalamnya. Tak terkecuali acara televisi yang selama bulan Ramadhan akan turut meramaikan momen puasa dengan berbagai iklan dan acara-acara yang berhubungan dengan Ramadhan.
Berkaitan dengan itu, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) pun membuat panduan mengenai siaran tv. Sebagaimana dilansir dari pikiran-rakyat.com, selama bulan Ramadan lembaga penyiaran diminta untuk tidak menampilkan muatan yang mengandung lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT), hedonistik, mistik atau horor atau supranatural, praktik hipnotis atau sejenisnya," bunyi aturan huruf l. Selain itu, lembaga penyiaran dilarang mengeksploitasi konflik dan atau privasi seseorang, bincang-bincang seks, serta muatan yang bertentangan dengan norma kesopanan dan kesusilaan. "Tidak menampilkan pengisi acara yang berpotensi menimbulkan mudarat atau keburukan bagi khalayak kecuali ditampilkan sebagai orang yang menemukan kebaikan hidup, insaf atau tobat," lanjut aturan tersebut.
Dalam surat edaran tersebut dijelaskan secara detail berbagai ketentuan mengenai tayangan televisi selama Ramadhan, diantaranya menjaga sikap kesopanan dan kesusilaan, lebih memperhatikan kelayakan busana yang dikenakan oleh host/presenter maupun pengisi acara sesuai dengan suasana Ramadhan, memperbanyak tayangan bermuatan dakwah, serta tidak menampilkan kata-kata kasar, makian, hinaan, jorok, cabul atau menghina agama dan nilai-nilai agama lain (24/03/2021).
Anjuran KPI terkait panduan siaran tv ini dimaksudkan dalam rangka menghormati nilai-nilai agama yang berkaitan dengan pelaksanaan ibadah di bulan suci Ramadhan. Sehingga, diharapkan kekhusyuan beribadah dapat tercipta di dalamnya. Sekilas, aturan penyiaran ini memang terlihat baik dan patut untuk diapresiasi. Sebab, dengan adanya aturan ini masyarakat akan terhindar dari berbagai kemaksiatan dan informasi yang berisi konten merusak, sehingga suasana Islami dapat diwujudkan.
Namun, yang menjadi pertanyaan mengapa aturan tersebut hanya berlaku saat bulan Ramadhan saja? Bukankah semua anjuran itu memang bertujuan untuk kebaikan? Semestinya larangan penyiaran tersebut tidak hanya diberlakukan di bulan Ramadhan saja, namun sepanjang waktu. Sebab, Allah memerintahkan umat Islam berpuasa dengan maksud agar menjadi hamba yang bertakwa.
Sebagaimana firman Allah Swt, ”Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan kepadamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (TQS.Al-Baqarah:183)
Maka, ketakwaan merupakan buah dari ibadah puasa ini, tentu harus dijaga sepanjang masa bukan hanya saat momen bulan Ramadhan saja. Sebab, makna takwa sesungguhnya adalah taat dan terikat terhadap seluruh aturan Allah, menjalankan seluruh perintahNya dan menjauhi segala laranganNya dimana pun dan kapan pun.
Sejatinya, takwa merupakan hasil dari pelaksanaan ibadah-ibadah yang kita lakukan dalam sebelas bulan di luar bulan Ramadhan. Tentu, takwa ini tidak bisa diperoleh dengan proses instan dan hanya dalam waktu singkat. Maka, akan sangat terlambat ketika kita baru memulai menjalankan ketaatan pada saat Ramadhan tiba, sementara kita mengharapkan atmosfer ketakwaan yang selalu hadir sepanjang masa.
Ibarat orang yang akan mengikuti perlombaan, tentu harus mempersiapkan fisik dan mental dari jauh-jauh hari sebelum perlombaan dimulai. Bagaimana bisa menjadi pemenang, ketika perlombaan akan dimulai, sementara persiapan dan latihan hanya dilakukan sehari sebelumnya bahkan tidak pernah latihan sama sekali? Sungguh sesuatu yang mustahil.
Maka, aturan penyiaran yang hanya diberlakukan saat bulan Ramadhan pun belum tentu dapat memberikan dampak positif bagi masyarakat, sementara tayangan-tayangan unfaedah dan tak layak dikonsumsi tetap dibiarkan bebas bergentayangan di luar bulan Ramadhan. Selain itu, untuk mencapai derajat takwa kaum muslim tidak hanya membutuhkan tayangan yang mendukung, tapi juga sistem yang benar-benar mewujudkan ketakwaan hakiki.
Sayangnya, semua itu hanya sebuah ilusi ketika sistem yang diterapkan hari ini senantiasa menjauhkan masyarakat dari aturan Islam yakni sistem sekularisme. Dalam sistem ini, aturan Islam seolah dijauhkan pada bulan-bulan di luar Ramadhan dan hanya terlihat pada saat pelaksanaan ibadah puasa saja. Faktanya, aturan penyiaran ini semakin mempertegas sistem yang saat ini diterapkan yang hanya memfasilitasi masyarakat dalam ranah ibadah ritual semata. Sementara, dilluar ramadhan masyarakat dibiarkan bebas menentukan perbuatannya. Padahal, hal ini sangat bertentangan dengan akidah kaum muslimin yang mengharuskan untuk selalu terikat terhadap hukum syara.
Oleh karena itu, dalam rangka mewujudkan ketakwaan secara total, dibutuhkan adanya sistem yang mampu menghadirkan atmosfer takwa bukan hanya pada acara hiburan di televisi saja. Namun, dapat merealisasikan penerapan hukum-hukum Allah dalam setiap sendi kehidupan. Sebab, ibadah yang dilakukan untuk mencapai derajat takwa, bukan hanya menjalankan ibadah ritual semata, melainkan ibadah totalitas kepada Allah Swt. dengan menjalankan seluruh syariatNya.
Demikian pula, ketakwaan tidak hanya direalisasikan pada individu saja, tetapi juga ketakwaan di dalam masyarakat dan bernegara. Inilah ketakwaan hakiki yang hanya akan bisa diwujudkan dengan penerapan Islam secara kaffah dalam Institusi Khilafah Islamiyyah.
Wa’allahu A’lam Bish- Shawwab
Posting Komentar untuk "Membingkai Ketakwaan Hakiki, Butuh Sistem Islami"