Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Lipstick Effect di Tengah Deflasi Beruntun dan Rontoknya Kelas Menengah


Oleh: Meti Nur Hidayah (Aktivis Muslimah Brebes)

Perekenomian Indonesia sedang tidak baik-baik saja. Saat perekonomian global masih diselimuti dengan beragam tantangan yang memicu perlambatan ekonomi sejumlah negara, Indonesia masuk dalam situasi tersebut. Selama lima bulan berturut-turut sejak Mei 2024, negeri ini mengalami deflasi. Deflasi merupakan kondisi dimana tingkat harga barang dan jasa secara umum mengalami penurunan dalam periode tertentu. Meskipun sering dianggap kebalikan dari inflasi, deflasi membawa tantangan dan peluang tersendiri bagi ekonomi suatu negara.( https://www.liputan6.com/)

Sejumlah pihak melihat terjadinya deflasi sebagai alarm bahaya menurunnya daya beli masyarakat. Jika keadaan ekonomi suatau negara lesu maka akan berimbas pada harga barang dan jasa yang diturunkan, yang kemudian akan memicu meruginya pengusaha. Berikutnya fenomena PHK masalpun pasti akan menjadi tren. Di Jawa Tengah, sebagaimana disampaikan oleh Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) Provinsi Jateng, sejak Januari hingga akhir Agustus 2024, ada 8.231 tenaga kerja di Jawa Tengah (Jateng) yang kena pemutusan hubungan kerja (PHK) dan 3.719 tenaga kerja yang dirumahkan. Dan ini adalah penyumbang angka terbesar untuk PHK nasional.

Alhasil, angka pengangguran akan meningkat secara signifikan. Salah satu tandanya adalah terjadinya fenomena kerontokan kelas menengah. Indonesia saat ini dengan jumlah penduduk kategori menuju kelas menengah atau 'aspiring middle class' terus bertambah mencapai 137,5 juta jiwa pada tahun 2024 sementara di tahun 2019, jumlahnya 128,85 juta jiwa. Efek dari kerontokan kelas menengah tersebut yaitu membuat membuat daya beli responden kelas menengah di Indonesia turun pada September 2024.

Namun aneh justru terjadi di tengah runtutan panjang kondisi ekonomi yang sedang tidak baik-baik saja seperti harga barang yang turun (deflasi) tapi tak terjangkau dibeli, pemasukan turun, peluang pemasukan sangat terbatas, muncul geliat penjualan tiket-tiket konser yang “sold out”, antrian pemesanan boneka labubu yang berharga fantastis, antrian pembelian iPhone 16. Demikianlah fenomena tersebut dinamakan “Lipstick effect”

Jebakan itu Bernama “Lipstick effect”

“Lipstick effect” adalah fenomena ketika konsumen masih bersedia mengeluarkan uang untuk kesenangan sesaat dan sederhana dalam kondisi ekonomi yang menurun. Melansir dari Investopedia (9/10/2024), teori ini pertama kali dikemukakan oleh Juliet Schor dalam bukunya yang berjudul ‘The Overspent American’, yang diterbitkan pertama kali pada 1998. Teori ini berangkat dari konklusi penjualan lipstik yang meningkat meskipun perekonomian tengah berada pada masa resesi. Namun teori “Lipstick effect” ini juga dapat diaplikasikan pada barang-barang mewah terjangkau lainnya.

Lipstik seringkali dianggap sebagai ‘affordable luxury’ atau kemewahan yang terjangkau. Sehingga memungkinkan seseorang untuk merasakan sedikit kemewahan atau peningkatan suasana hati tanpa harus mengeluarkan banyak uang. (https://www.beautynesia.id/)

“Lipstick effect” juga dapat dijelaskan dari sisi psikologis. Ketika keuangan individu tidak cukup atau tengah menurun, alih-alih berhenti konsumtif secara total, individu masih mau membeli barang-barang tersier yang sebenarnya tidak terlalu urgent dan penting sifatnya. Barang-barang tersier pilihan konsumen ini masih dapat dibeli dengan dana yang terbatas. Misalnya kopi, rokok, tiket bioskop, lipstik, barang kosmetik lainnya, produk skincare, dan sebagainya. Hal ini karena adanya dorongan eksternal yaitu upaya validasi sosial serta dorongan internal yaitu mekanisme defense agar tidak mengalami stress. Maka, upaya pelariannya adalah dengan melakukan pembelian barang-barang yang kecil tapi menunjukkan kemewahan.

“Lipstick effect” telah menjadi sindrom yang menyebar di masyarakat. Hal ini menjadi konsekuensi logis dari diterapkannya sekulerisme yang memisahkan aturan agama dalam kehidupan dan menjadikan aturan hidup dikendalikan oleh manusia. Kebebasan berperilaku adalah salah satu yang menjadi jaminan atas berlansungnya ideologi ini. Nilai yang paling tinggi dan layak diperjuangkan serta menjadi standar kesuksesan adalah dengan teraihnya materi. Sehingga jelas bahwa sistem ini memberikan tekanan hidup pada manusia dan mencederai fitrahnya. Saat kondisi kehidupan sedang sekarat, ekonomi sedang tidak baik-baik saja dan tidak akan pernah baik-baik saja. Maka hal aneh inilah yang dilakukan oleh pengembannya, tak terkecuali keluarga muslim.

Brain Washing dan Penarapan Islam Kaffah: Solusi Jitu !

Ahmad Atiyah dalam kitabnya, Ath-Tahriq (Dirosah Fikriyah fi Kayfiyati al-‘Amal li Tahgyiri Waqi’il al-Umati wa inhadhiha) menjelaskan, “Sesungguhnya manusia tidak akan berfikir tentang perubahan kecuali jika ia mengindera di sekelilingnya terjadi realitas kerusakan, keburukan, atau kondisi yang seharusnya tidak terjadi.”

Dalam Islam, Rasulullah mengajarkan bahwa saat situasi negara sedang tidak baik-baik saja maka harus ada upaya menyadari kerusakan, keburukan dan kebobrokan yang terjadi serta berupaya untuk melakukan perubahan. Dan perubahan ini harus bersifat revolusioner, tidak bisa bertahap ataupun sebagian-sebagian. Maka kondisi buruk dan tidak stabilnya ekonomi hari ini, butuh perubahan fundamental di segala bidang. Tidak hanya terpaku dan berfokus pada bidang ekonomi saja.

Dan jalan perubahan Islam yang diteladankan Rasulullah adalah dengan berfokus pada perubahan pemikiran yang mengarah terbentuknya kesadaran umum, sehingga terbentuk opini umum tentang keharusan kembali pada sistem Islam. Adapun syarat terjadinya perubahan pemikiran adalah dengan terjadinya perubahan informasi. Jadi, jika hari ini umat Islam terbelenggu dengan pemikiran sekuler maka harus ada upaya cuci otak (brain washing) untuk menghilangkan jejak informasi pemahaman sekuler tersebut. Selanjutnya harus diberikan secara intensif informasi yang benar yang bersumber dari Islam (kebenaran).

Islam punya cara pandang khas dalam menyikapi hal demikian, semua kembali pada pemaham dasar yaitu bahwa apapun yang Allah berikan dalam kehidupan ini adalah yang terbaik. Bagi muslim, dalam keadaan diberikan rizki berlebih dan berkekurangan, maka tidak pernah lepas dengan bersyukur dan bersabar. Bersyukur dengan menyebut-nyebut nikmat Allah tersebut dan juga dengan menyelaraskan atas nikmat dengan Sang Pemberi Nikmat. Bersabar dengan terus taat dan tidak maksiyat.

Selanjutnya adalah dengan menerapkan konsep aulawiyat. Memahamkan kondisi keuangan dengan menyelaraskannya dengan 5 jenis hukum syariat. Konsep yang memandang bahwa kewajiban berarti harus didahulukan, menghindari dan meninggalkan yang haram, serta memilah milih untuk yang mubah. Dalam hal kewajibanpun butuh ilmu untuk bisa memilahnya.

Krisis ekonomi , inflasi dan deflasi, resesi dan depresi ekonomi paket yang menyatu dengan sistem ekonomi kapitalisme. Dan bagi muslim, saat peradaban Islam belum ada, maka harus pintar-pintar tetap fokus dan serius pada upaya tegaknya Islam kaffah dalam bingkai Khilafah. Sembari menyelesaian ujian di depan mata dengan upaya terbaik. Maka muslim harus membangun “Financial spiritual belt” yaitu menjadikan aqidah sebagai pemutus kebijakan dan transaksi finansial. Termasuk terikatnya muslim dalam seluruh syariat Islam, terutama 90 % hukum yang hanya bisa dijalani dengan adanya negara.  Wallahu a’lam bishawab. [] 

Posting Komentar untuk "Lipstick Effect di Tengah Deflasi Beruntun dan Rontoknya Kelas Menengah "

close