Konflik Danau Nyasa Antara Malawi dan Tanzania: Bukti Peninggalan Kolonialisme
Kolonialisme meninggalkan warisan buruk yang membawa dampak besar bagi negara-negara Afrika dan wilayah lain di dunia. Warisan ini menyebabkan masyarakat di negara bekas jajahan menghadapi banyak konflik perbatasan yang kerap berujung pada kekerasan, perang, dan kerusakan besar.
Di Afrika Timur, terdapat banyak konflik perbatasan, termasuk antara Somalia dan Ethiopia (berlangsung sejak 1960), Kenya dan Sudan Selatan (sejak 1963), serta Kenya dan Somalia (1963–1981). Konflik lainnya melibatkan Ethiopia dan Sudan (1966–2002), Tanzania dan Malawi (berlangsung sejak 1967), serta Uganda dan Tanzania (1974–1979).
Sebelum kolonialisme Barat dan pembagian Afrika oleh negara-negara kolonial, tidak ada konflik besar antara wilayah-wilayah ini (Tanzania dan Malawi) maupun di sekitar danau terkait kepemilikannya. Penduduk di kedua sisi danau hidup damai, memanfaatkan sumber daya danau bersama-sama, seperti untuk perikanan, irigasi, hingga kebutuhan air rumah tangga.
Namun, kolonialisme Barat pada akhir abad ke-19 mengubah keadaan ini. Malawi menjadi jajahan Inggris, sementara Tanzania (Tanganyika) menjadi jajahan Jerman. Kedua penjajah tersebut menandatangani Perjanjian Heligoland-Zanzibar pada tahun 1890, yang menetapkan batas antara koloni Inggris di Nyasaland (Malawi) dan koloni Jerman di Afrika Timur (Tanganyika) berada di tepi danau. Berdasarkan perjanjian itu, seluruh danau menjadi bagian dari Malawi. Inilah awal mula konflik yang diciptakan oleh kolonialisme.
Setelah kemerdekaan Malawi dan Tanzania pada 1960-an, kolonialisme terus mewariskan konflik melalui Konvensi Hukum Laut PBB tahun 1982, yang menetapkan bahwa batas antara Malawi dan Tanzania berada di tengah Danau Nyasa. Namun, Malawi menolak konvensi tersebut serta Deklarasi Kairo, dan menolak penghapusan Perjanjian Heligoland-Zanzibar tahun 1890.
Selama berdekade-dekade, kegagalan menyelesaikan konflik ini telah memicu ketegangan antara kedua negara. Upaya penyelesaian konflik yang dilakukan oleh bangsa Afrika sendiri, seperti perundingan bilateral, intervensi Komunitas Pembangunan Afrika Selatan (SADC), dan mediasi Uni Afrika (AU), semuanya gagal. Kegagalan ini menunjukkan bahwa Afrika masih terperangkap dalam neo-kolonialisme Barat, yang membuat negara-negara Afrika tidak dapat menyelesaikan masalahnya sendiri tanpa bergantung pada keputusan penjajah Barat.
Salah satu faktor utama yang memperparah konflik ini adalah eksploitasi kolonial. Pada tahun 2012, Malawi mengeluarkan izin eksplorasi minyak kepada perusahaan Surestream Petroleum yang berbasis di Inggris, yang memicu protes dari Tanzania.
Alih-alih membantu menyelesaikan konflik perbatasan ini, Inggris, yang pernah menjadi penjajah utama kedua negara (Tanzania dan Malawi), justru membiarkan masalah ini menggantung tanpa solusi. Hal ini berpotensi memicu konflik di masa depan, sementara mereka (Inggris) tetap bebas mengeksploitasi sumber daya tanpa hambatan.
Situasi ini secara jelas menunjukkan bahwa kolonialis hanya peduli pada kepentingan eksploitasi mereka dan tidak peduli pada kesejahteraan rakyat Afrika.
Untuk mengatasi konflik perbatasan secara mendasar, diperlukan pencabutan sistem kapitalisme Barat yang menciptakan konflik ini demi memenuhi agenda eksploitasi mereka. Solusi tersebut hanya dapat dicapai dengan mengganti kapitalisme dengan sistem Islam melalui penegakan kembali Negara Islam (Khilafah), yang akan membawa pembebasan sejati bagi dunia Islam dan negara-negara berkembang lainnya.
Posting Komentar untuk "Konflik Danau Nyasa Antara Malawi dan Tanzania: Bukti Peninggalan Kolonialisme"