Kemunafikan Politik Demokrasi Tidak Akan Berakhir Kecuali Digantikan dengan Politik Islam




Pernyataan Pers



Pada tanggal 06 Januari 2025, pengadilan dengan mayoritas 2-1 menerima banding mantan Perdana Menteri Malaysia, Datuk Seri Najib Tun Razak, terkait keberadaan dekrit tambahan dari Raja yang mengizinkan dirinya menjalani sisa hukuman dalam tahanan rumah. Para hakim Pengadilan Banding kemudian memerintahkan kasus tersebut dikembalikan ke Pengadilan Tinggi untuk ditinjau kembali oleh hakim baru berdasarkan permintaan peninjauan yudisial yang diajukan oleh Najib. Dekrit tambahan ini, yang merupakan bagian dari proses pengampunan kerajaan, merupakan fenomena yang belum pernah terjadi sebelumnya. Pada saat yang sama, terjadi fenomena lain: sebuah aksi solidaritas besar diadakan di luar pengadilan, yang diselenggarakan oleh partai-partai yang sebelumnya merupakan lawan politik Najib.

Setelah keputusan pengadilan yang mengakui adanya dekrit tambahan tersebut, pihak oposisi secara besar-besaran memanfaatkan isu "pembangkangan" terhadap Raja, dengan menuding pemerintah menyembunyikan dekrit itu sejak dikeluarkan pada 29 Januari 2024. Namun, tuduhan ini tampaknya berbalik arah karena oposisi sendiri memiliki catatan panjang terkait "pembangkangan". Isu dekrit ini telah menutupi inti sebenarnya dari kasus ini. Oposisi tampaknya sengaja mengabaikan fakta bahwa di bawah sistem demokrasi yang mereka bela, Najib telah dinyatakan bersalah tidak hanya di satu tingkat, tetapi melalui tiga tingkat pengadilan. Ia telah menjalani persidangan panjang di hadapan hakim-hakim tertinggi di negara itu dan dibela oleh tim pengacara yang luar biasa. Namun, meskipun demikian, oposisi dan para pendukungnya tetap merayakan Najib sebagai orang yang tidak bersalah dan dianggap sebagai pahlawan besar.

Wahai kaum Muslimin: Dalam Islam, jika seorang hakim menjatuhkan vonis terhadap seseorang, maka tidak ada hakim lain yang memiliki otoritas untuk meninjau ulang, mengubah, atau membatalkan keputusan tersebut. Dengan kata lain, keputusan hakim itu mengikat dan harus dilaksanakan, tanpa memandang siapa pelakunya—apakah dari kalangan rakyat biasa atau pemimpin, miskin atau kaya, berpengaruh atau tidak. Begitu seseorang dinyatakan bersalah, hukumannya harus dilaksanakan. Bahkan seorang khalifah pun tidak dapat memberikan pengampunan kepada seorang penjahat. Rasulullah ﷺ telah mengingatkan kita tentang hal ini melalui sabdanya: “Sesungguhnya yang membinasakan orang-orang sebelum kalian adalah bahwa apabila orang terpandang mencuri, mereka membiarkannya. Tetapi apabila orang lemah mencuri, mereka menegakkan hukuman atasnya. Demi Allah, seandainya Fatimah binti Muhammad mencuri, niscaya aku akan memotong tangannya.” (HR. Bukhari). Hadis ini dengan jelas dan tegas membuktikan bahwa tidak ada standar ganda dalam Islam, dan tidak ada seorang pun yang dapat memberikan pengampunan kepada pelanggar hukum Allah. Jika hadis ini diterapkan, maka tidak akan ada kasus pengampunan atau dekrit tambahan sebagai jalan keluar bagi para penjahat dari kalangan elite, yang saat ini tengah menjadi perbincangan.

Ada aspek lain yang tidak kalah penting, yaitu sikap mereka yang pernah berkuasa tetapi tidak menerapkan hukum Allah, atau yang lebih buruk lagi, secara terang-terangan menyatakan penolakannya terhadap penerapan hukum Allah. Kejahatan semacam ini, yaitu pembangkangan, adalah kejahatan yang jauh lebih serius! Pemimpin semacam ini tidak seharusnya dihormati, melainkan harus ditolak. Setiap penguasa yang diberikan kekuasaan oleh Allah, tetapi lalai dalam menegakkan hukum-Nya, pada hakikatnya telah mengkhianati amanah Allah. Allah SWT berfirman: “Dan barang siapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya dan melanggar batas-batas-Nya, niscaya Allah akan memasukkannya ke dalam neraka, kekal ia di dalamnya, dan baginya azab yang menghinakan.” (QS. An-Nisa: 14).

Melanggar perintah Allah dengan tidak menerapkan hukum-Nya merupakan bentuk kemaksiatan yang paling besar kepada Allah SWT, terutama dari mereka yang berkuasa atau yang pernah memiliki kekuasaan. Bagi kaum Muslimin, ini seharusnya menjadi prioritas utama dalam persoalan politik: tanggung jawab untuk mengoreksi para penguasa yang menunjukkan pembangkangan terhadap Allah SWT. Pendekatan semacam inilah yang merupakan esensi sejati dari partisipasi politik dalam Islam. Sesungguhnya, politik dalam Islam berkisar pada pengurusan urusan umat. Para penguasa harus memerintah sesuai dengan Islam, sementara rakyat memiliki kewajiban untuk mengoreksinya, juga sesuai dengan Islam.

Wahai kaum Muslimin: Sangat mengecewakan melihat politik kotor berbasis kepentingan yang terus mendominasi Malaysia dan negeri-negeri Islam. Tampaknya banyak politisi terdorong oleh ambisi besar untuk meraih kekuasaan, sering kali menggunakan segala cara untuk mencapai tujuan mereka, tanpa memperhatikan halal atau haram, serta tanpa merasa malu atas kemunafikan mereka. Demokrasi telah membuat mereka percaya bahwa aliansi dan persaingan politik harus didasarkan pada kepentingan. Mereka tidak mempercayai adanya "teman abadi" atau "musuh abadi," melainkan hanya "kepentingan abadi."

Wahai kaum Muslimin: Kita telah lama menyaksikan kemunafikan politik yang mengakar dalam sistem demokrasi, sebuah sistem yang terus mengecewakan kita dan akan terus demikian kecuali kita mengambil langkah aktif menuju perubahan yang bermakna. Lanskap politik di Malaysia dan negeri-negeri Islam lainnya masih dipenuhi dengan kemaksiatan terhadap Allah SWT, korupsi, dan penipuan, di mana para politisi terus mendukung demokrasi—sistem yang berakar pada ideologi Barat yang sangat bertentangan dengan hukum Islam. Maka, sangat penting bagi kita untuk bangkit demi membangun kerangka politik yang dipimpin oleh para pemimpin yang tulus, yang hanya berpegang pada prinsip-prinsip Islam. Kami menyeru Anda semua untuk bekerja bersama Hizbut Tahrir dalam menempuh jalan kebenaran, dengan mengikuti model politik Nabi kita yang mulia ﷺ. Mari bersama-sama kita menolak sistem jahiliah yang rusak (demokrasi) dan berjuang untuk menegakkan sistem Islam (Khilafah), satu-satunya sistem yang mampu mewujudkan keadilan, kemakmuran, dan keridhaan Allah SWT.

Abdul Hakim Othman
Juru Bicara Hizbut Tahrir
di Malaysia

Posting Komentar untuk "Kemunafikan Politik Demokrasi Tidak Akan Berakhir Kecuali Digantikan dengan Politik Islam"