Wacana Operasi Siber oleh TNI Dinilai Bisa Membungkam Suara Kritis
Wacana pelibatan TNI dalam operasi ruang siber kembali menuai perdebatan. Kepala Biro Informasi Pertahanan (Karo Infohan) Setjen Kemhan, Brigjen TNI Frega Wenas Inkiriwang, menyebut rencana ini bertujuan untuk menghadapi ancaman yang berpotensi membahayakan pertahanan negara.
Namun, Direktur Indonesia Justice Monitor, Agung Wisnuwardana, menyampaikan kekhawatirannya terhadap rencana tersebut. Ia menganggap pelibatan militer di ruang digital rawan menekan kebebasan berekspresi masyarakat.
“Memang problematik terkait masalah penanggulangan ancaman siber tadi, memang titik kritisnya itu Bung Anggi. Salah satunya yaitu terkait dengan tingkat kritis masyarakat yang bisa jadi itu dianggap sebagai ancaman,” kata Agung dalam program Kabar Petang: Operasi Ruang Siber Menyasar Siapa? di kanal YouTube Khilafah News, Senin (31/3/2025).
Menurut Agung, pengertian ancaman dalam Pasal 7 UU TNI sangat subjektif. Artinya, siapa pun yang mengkritik pemerintah berpotensi dianggap sebagai ancaman, meski tidak melakukan pelanggaran hukum.
“Bicara tentang yang mengancam pemerintah, itu kan tentu sangat subjektif,” ujarnya. Ia menambahkan, “Selama ini kita tahu banyak sekali aparat keamanan—tidak hanya TNI, tapi juga Polri—yang diduga dimanfaatkan untuk membungkam suara kritis.”
Agung menganggap kecenderungan penyalahgunaan aparat keamanan demi kepentingan kekuasaan bukan hal baru di Indonesia. Ia menyinggung praktik semacam ini sudah pernah terjadi, terutama di masa Orde Baru.
“Selama 32 tahun masa Orde Baru, ABRI yang kini TNI sering dijadikan alat kekuasaan. Dan itu sangat berbahaya kalau berulang,” tegasnya.
Ia juga menyoroti kemungkinan tumpang tindih antara peran Polri dan TNI dalam mengawasi aktivitas siber. Jika kedua lembaga ini menjalankan fungsi serupa tanpa batas yang jelas, publik akan menjadi korban dari tindakan berlebihan.
“Menimbulkan problematiknya misalnya ketika Polri sudah melakukan pengamanan terhadap siber terkait dengan media sosial yang dianggap menyebarkan hoaks, sementara kemudian nanti TNI juga terlibat dalam hal yang sama,” ujarnya.
Menurutnya, publik sudah cukup terbebani dengan penggunaan Undang-Undang ITE oleh kepolisian yang sering menyasar pengkritik. Ia khawatir jika TNI mulai menjalankan peran yang sama, maka tekanan terhadap kebebasan sipil akan semakin besar.
“Undang-Undang ITE saja sudah menjadi alat untuk menjerat warga yang kritis. Bagaimana jika sekarang TNI juga ikut masuk?” katanya retoris.
Bagi Agung, tak masalah jika TNI fokus pada ancaman siber yang benar-benar berhubungan dengan kedaulatan dan pertahanan negara. Tapi, jika digunakan untuk menyasar pihak yang berbeda pandangan, ini sudah menyimpang dari fungsi awal militer.
“Sebenarnya TNI kalau masuk ke ranah-ranah ancaman siber yang terkait dengan kedaulatan negara sebenarnya enggak ada masalah. Cuma persoalannya, kita tahu bahwa selama ini aparat keamanan sering disalahgunakan,” tuturnya.
Agung memperingatkan bahwa jika TNI menjadi alat kekuasaan, maka penguasa bisa dengan mudah mengarahkan langkah TNI untuk meredam kritik, bukan menjaga negara dari bahaya nyata.
“Kalau sudah menjadi alat kekuasaan, maka penguasalah yang menentukan pergerakan TNI dan Polri. Wabil khusus menghambat atau menekan hak-hak masyarakat untuk kritis kepada pemerintah itu yang tentu sangat membahayakan,” jelasnya.
Ia menyebut pasal-pasal yang digunakan dalam penindakan terhadap masyarakat sering kali bersifat karet dan multitafsir. Hal ini makin memperkuat dominasi subjektivitas penguasa.
“Ketika penguasa enggak suka, maka mereka-mereka yang kritis di ruang-ruang siber itu dianggap sebagai ancaman,” bebernya.
Agung juga menyinggung kemungkinan penggunaan pendekatan intelijen militer dalam pelaksanaan operasi siber, yang menurutnya akan berdampak buruk bagi keadilan dan hak sipil.
“Misalnya orang yang melanggar langsung diambil, seperti yang pernah dilakukan waktu ABRI di Orde Baru. Jadi orang itu bisa ditangkap tanpa pemberitahuan, tanpa informasi. Ini kan sangat membahayakan,” paparnya.
Ia membandingkan pendekatan seperti ini dengan cara kerja yang pernah digunakan dalam pelaksanaan UU Terorisme, yang mengabaikan prinsip praduga tak bersalah.
“Seperti pada undang-undang terorisme, pendekatannya represif dan minim transparansi. Kalau diterapkan juga pada isu siber, maka itu berbahaya sekali,” lanjutnya.
Lebih dari itu, Agung menilai UU TNI Pasal 7 sendiri tidak mengatur mekanisme transparansi dan pengawasan yang jelas. Ini menambah kekhawatiran publik atas potensi penyalahgunaan kekuasaan.
“Pasal itu hanya memberikan tambahan power kepada TNI untuk mengawasi ruang siber itu, yang sangat membahayakan sekali. Transparansi enggak ada, pengawasan publik terhadap pelaksanaannya juga enggak ada,” tegasnya.
Ia pun menyimpulkan bahwa jika pelibatan TNI di ruang digital tidak diawasi secara ketat dan transparan, maka potensi pelanggaran terhadap hak-hak sipil akan makin besar.
“Jadi tidak ada ruang untuk mengoreksi tindakan TNI nanti ke depannya, apalagi kalau pendekatannya intelijen. Itu bisa sangat merugikan rakyat,” pungkasnya.[] Sh3
Posting Komentar untuk "Wacana Operasi Siber oleh TNI Dinilai Bisa Membungkam Suara Kritis"