Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Fitnah Kepada Agama dan Ulama, Lebih Kejam Daripada Pembunuhan

ilustrasi
Oleh : Dhana Rosaeri
(Pengamat Politik dan Aktivis Muslim)

“Ya Rabb, janganlah Engkau jadikan kami fitnah bagi orang-orang kafir. Ampunilah kami. Sungguh Engkau Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana “(al-Mumtahanah: 5)

Jutaan umat Islam tersinggung dengan ucapan yang mengandung unsur Fitnah dan penistaan Agama, yang berujung demonstrasi massal dan massif di berbagai penjuru daerah di seluruh Indonesia. Luapan amarah sejauh ini masih bisa terkontrol dengan sekedar menyampaikan aspirasi kepada penegak hukum agar memberikan sangsi pidana kepada pelaku penistaan Agama. Namun, bukan tidak mungkin terjadi badai politik yang lebih besar, yang tentu saja merugikan berbagai pihak jika penistaan agama ini dibiarkan berlarut-larut.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Fitnah adalah perkataan bohong atau tanpa berdasarkan kebenaran yang disebarkan dengan maksud menjelekkan orang (seperti menodai nama baik, merugikan kehormatan orang. Sedangkan memfitnah adalah menjelekkan nama orang (menodai nama baik, merugikan kehormatan, dan sebagainya). Dalam kasus Gubernur DKI, Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok, dia telah melakukan fitnah terhadap dua hal, yakni Kitab Suci Agama Umat Islam yakni Al Qur’an AL Maidah ayat 51 sebagai alat kebohongan dan Fitnah kepada Ulama, sebagai pihak yang dianggap berbohong. Dia juga mengatakan bahwa Ulama yang menggunakan Al Maidah 51 adalah pengecut dan rasis, dan tentunya pembohong seperti yang ada dalam rekaman video pidatonya di depan masyarakat Kepulauan Seribu.

“Sungguh, telah nyata kebencian pada mulut-mulut mereka, dan apa yang tersembunyi didalam dada-dada mereka adalah lebih besar lagi. Kami telah menjelaskan ayat-ayat Kami kepada kalian jika kalian memang orang-orang yang berakal” (Ali Imran 118)

Sayyid Quthb dalam tafsirnya Fii Dzilalil Qur’an menegaskan: “Sesungguhnya “fitnah terhadap agama” berarti permusuhan terhadap sesuatu yang paling suci dalam kehidupan manusia. Karena itu, ia lebih besar bahayanya daripada pembunuhan, lebih kejam daripada membunuh jiwa seseorang, menghilangkan nyawa dan menghilangkan kehidupan. Baik fitnah itu berupa intimidasi maupun perbuatan nyata atau berupa peraturan dan perundang-undangan bejat yang dapat menyesatkan manusia, merusak dan menjauhkan mereka dari manhaj Allah serta menganggap indah kekafiran dan memalingkan manusia dari agama Allah itu”.

Allah Swt berfirman: “Sesungguhnya orang-orang yang mendatangkan cobaan (fitnah) kepada orang-orang yang mukmin laki-laki dan perempuan Kemudian mereka tidak bertaubat, Maka bagi mereka azab Jahannam dan bagi mereka azab (neraka) yang membakar”. (QS Al Buruj [85]:10)

Fitnah Terhadap Agama, Termasuk Urusan Pidana

Indonesia menganut Hukum Positif yang diadopsi dari Undang-Undang Warisan Kolonial Belanda, juga mengatur urusan Fitnah atau Penistaan Agama dalam KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA (WETBOEK VAN STRAFRECHT) Pasal 156a, yang berbunyi : 

“Dipidana dengan pidana penjara selama-lumanya lima tahun barang siapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan: a. yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia; b. dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama apa pun juga, yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa.”

Kasus penghinaan agama di Indonesia masih mengacu kepada UU No. 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama (“UU 1/PNPS/1965”). Pasal 1 UU 1/PNPS/1965 menyatakan: “Setiap orang dilarang dengan sengaja di muka umum menceritakan, menganjurkan dan mengusahakan dukungan umum, untuk melakukan penafsiran tentang sesuatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan-kegiatan keagamaan dari pokok-pokok ajaran agama itu.” 
Tiga teori mengenai delik agama yaitu :

1. Friedensschutz Theorie yaitu teori yang memandang ketertiban /ketenteraman umum sebagai kepentingan hukum yang dilindungi;
2. Gefuhlsschutz Theorie yaitu teori yang memandang rasa keagamaan sebagai kepentingan-kepentingan hukum yang harus dilindungi;
3. Religionsschutz Theorie yaitu teori yang memandang agama itu an sich sebagai kepentingan hukum yang harus dilindungi/diamankan oleh negara.

Penempatan dan penjelasan yang demikian ini menimbulkan konsekuensi mengenai pemidaannya baru dapat dipertimbangkan apabila pernyataan yang dibuat mengganggu ketenteraman orang-orang beragama dan membahayakan ketertiban umum. Sebaliknya apabila ketenteraman orang beragama dan kepentingan/ketertiban umum tidak terganggu, maka orang yang bersangkutan tidak dapat dipidana.

Dalam kasus penistaan Agama yang dilakukan Ahok, telah mendapat legitimasi dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang telah mengeluarkan fatwa bahwa pernyataan Basuki Tjahaja Purnama dikategorikan : (1) menghina Al-Quran dan atau (2) menghina ulama yang memiliki konsekuensi hukum.

Untuk itu Majelis Ulama Indonesia merekomendasikan :

1. Pemerintah dan masyarakat wajib menjaga harmoni kehidupan beragama, bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
2. Pemerintah wajib mencegah setiap penodaan dan penistaan Al-Quran dan agama Islam dengan tidak melakukan pembiaran atas perbuatan tersebut.
3. Aparat penegak hukum wajib menindak tegas setiap orang yang melakukan penodaan dan penistaan Al-Quran dan ajaran agama Islam serta penghinaan terhadap ulama dan umat Islam sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
4. Aparat penegak hukum diminta proaktif melakukan penegakan hukum secara tegas, cepat, proporsional, dan profesional dengan memperhatikan rasa keadilan masyarakat, agar masyarakat memiliki kepercayaan terhadap penegakan hukum.
5. Masyarakat diminta untuk tetap tenang dan tidak melakukan aksi main hakim sendiri serta menyerahkan penanganannya kepada aparat penegak hukum, di samping tetap mengawasi aktivitas penistaan agama dan melaporkan kepada yang berwenang.

Pembiaran terhadap perkara pidana seperti ini merupakan sebuah hal provokatif yang bisa memicu konflik horizontal bahkan main hakim sendiri. Tindakan inkonstitusional akan mengancam kehidupan bernegara, jika Hukum Positif tidak ditegakkan secara adil dan konsekuen.

Demokrasi Menistakan Al Qur’an, Parpol Islam Harus Instropeksi

Betul bahwa Ahok telah menistakan Agama secara keji dan over confidence, mulai dari pelarangan takbir keliling malam Hari Raya, pelarangan pemotongan hewan qurban di tempat biasa, hingga komentar terkait pakaian muslimah siswi sekolah, dll hingga puncaknya terkait Surat Al Maidah 51. Namun, yang harus kita sadari selama ini bahwa, faktanya Parpol Islam seringkali mengingkari Surat Al Maidah 51 ini dalam pelaksanaan Pilkada dan pentas Demokrasi lainnya. Tentu saja, hal ini memicu penistaan ayat suci dengan dalih agama oleh calon pemimpin non muslim.

Demokrasi telah ‘berhasil’ memenangkan calon pasangan yang calon bupatinya adalah non-muslim dengan dukungan partai Islam. Hasil Pilkada Kepulauan Sula, pasangan Hendrata Thes, S. Pd.k dan Zulfahri Abdullah, S.Ik, perolehan yang didapat sebesar 18.017 Suara (37,78%). Pasangan ini didukung oleh 3 partai yaitu PKB, Partai Demokrat dan PKS. Dan ironisnya, pasangan tersebut unggul atas pasangan muslim yakni H. Safi Pauwah, SH dan H. Faruk Bahanan yang memperoleh 17.848 Suara (37,43%). Kepulauan Sula terletak di kawasan Maluku utara. Hasil ini mengindikasikan bahwa, Al Maidah 51 tak berlaku dalam sistem Demokrasi, tergantung kepentingan partai dan situasi politik. 

Di tempat lain, Pilkada Papua diikuti enam pasangan calon, dengan total 2.713.465 suara sah dari 28 kabupaten/kota. Pasangan nomor urut tiga, Lukas Enembe-Klemen Tinal, memperoleh 1.199.657 suara atau 52 persen. Pasangan ini didukung oleh PKS dan Demokrat. Tentu saja, pasangan ini adalah non muslim, yang lagi-lagi didukung oleh partai Islam. Seperti yang dilakukan oleh PKS saat mendukung Jokowi dan Rudi dalam Pilkada Solo tahun 2010. FX Rudi Hadi merupakan non muslim, dan PKS tetap mendukungnya dengan tentu disertai alasan berdasar agama.

Tak hanya pimpinan daerah, Caleg non muslim pun diusung oleh Partai Islam. Caleg non-Muslim banyak diusung PKS untuk daerah pemilihan Indonesia Timur, seperti Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Barat, Papua, dan Papua Barat. Dan, yang paling mutakhir adalah dukungan partai berlambang Ka’bah yakni PPP kubu Djan Farid kepada calon pasangan Ahok Djarot dalam Pilkada DKI. Sikap ambigu dan standar ganda partai-partai Islam ini justru akan memicu sikap yang tidak simpatik bahkan penodaan agama. Karena disisi lain melarang pemimpin non muslim, namun di daerah lain justru mendukung. Kan Aneh dan Pragmatis ?

Padahal, selain Al Maidah 51, masih banyak ayat ‘macem-macem’ yang juga melarang memilih calon pemimpin non muslim :

“Janganlah orang-orang mu’min mengambil orang-orang kafir menjadi wali/pemimpin dengan meninggalkan orang-orang mu’min. Barangsiapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. Dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksa) Nya. Dan hanya kepada Allah kembali (mu).” (QS Ali Imran: 28)

“ dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk merugikan orang-orang yang beriman” (An-Nisa’: 141)

Saatnya Menistakan Demokrasi, Dan Menyerukan Syariah

Al Maidah ayat 51, mendadak terkenal se Indonesia, padahal ayat ini hanya secuil dari mushaf Al Qur’an yang sejumlah 6.236 ayat. Secuil saja, bisa menimbulkan pengaruh yang luar biasa bagi tata kehidupan manusia dalam bermasyarakat dan bernegara, itulah ajaran Agama Islam yang rahmatan lil alamin. 

Ayat Al Qur’an tentang muamalah dan sosial kemasyarakatan 228 ayat, dengan rincian sebagai berikut: 70 ayat  tentang  hidup kekeluargaan, perkawinan, perceraian, warisan dan sebagainya; 70 ayat tentang perdagangan, perekonomian, jual beli, sewa menyewa, pinjam-meminjam, gadai, perseroan, kontrak dan sebagainya; 10 ayat tentang sistem pemerintahan dan politik, 25 ayat tentang hubungan bilateral dan atau multilateral antara negara-negara Islam dan negara lain di dunia, dan juga hubungan antara muslim dan non muslim dan sebagainya; dan 10 ayat tentang hubungan orang kaya dengan orang miskin, termasuk sistem pengelolaan harta kekayaan, baik kekayaan pribadi, maupun masyarakat atau jama’ah.

Menghukum orang yang menistakan Agama itu sudah kewajiban karena diatur dalam hukum positif dan Agama. Namun, mencegah penistaan itu berulang lagi di lain wilayah baik dalam bentuk ucapan maupun perbuatan, merupakan hal yang sangat penting. Ahok mendadak heboh karena menyebut ayat, namun di sisi lain, penistaan Al Qur’an dalam bentuk perbuatan yakni menjadikan pemimpin non muslim sebagai pimpinan daerah oleh Parpol Islam terus terjadi di berbagai daerah.

Dalam Demokrasi, perkara Haram bisa menjadi Halal tergantung kesepakatan, bahkan dengan cara voting. Termasuk dalam memilih pemimpin, Demokrasi menganut prinsip Machiavelli, tak ada kawan yang abadi, yang ada hanya kepentingan abadi. Parahnya, Parpol Islam menikmati Demokrasi hingga terlena dengan esensi perjuangan partainya hingga menggadaikan akidahnya untuk meraih kepemimpinan. Padahal, ayat-ayat tentang larangan memilih pemimpin non Muslim bagi kaum Muslimin telah menunjukkan derajat mutawattir (disepakati), sehingga tidak muncul perbedaan pendapat (khilafiyah) di kalangan ulama salaf. Jikapun ada beberapa pendapat yang berbeda yang membolehkan memilih pemimpin non Muslim, itu umumnya difatwakan oleh generasi muta’akhirin saat ini, bukan dari kalangan ulama salaf. Karena itu, pemahaman demikian biasanya hanya dipandang   sebagai   pemahaman  yang   nyeleneh  (syadz)  di kalangan para ulama ahli fiqh, bahkan batil. Saatnya kembali pada Syariah Islam dengan Mencampakkan Demokrasi yang nista. [VM]

Sumber : 
http://supanto.staff.hukum.uns.ac.id/2010/01/08/tindak-pidana-agama/
http://hukum.unsrat.ac.id/uu/kuhpidana.htm
http://www.dakwatuna.com/2013/04/23/31939/pendeta-jadi-caleg-pks-di-papua-dan-papua-barat/#ixzz4OYjKaQ5y

Posting Komentar untuk "Fitnah Kepada Agama dan Ulama, Lebih Kejam Daripada Pembunuhan"

close