Tsumma Takuunu Khilafatan ‘Ala Minhaajin Nubuwwah


Oleh : Ainun Dawaun Nufus (MHTI Kab. Kediri)

Dari Nu’man bin Basyir, ia berkata, “Kami sedang duduk di dalam Masjid bersama Nabi saw, –Basyir sendiri adalah seorang laki-laki yang suka mengumpulkan hadits Nabi saw. Lalu, datanglah Abu Tsa’labah al-Khusyaniy seraya berkata, “Wahai Basyir bin Sa’ad, apakah kamu hafal hadits Nabi saw yang berbicara tentang para pemimpin? Hudzaifah menjawab, “Saya hafal khuthbah Nabi saw.” Hudzaifah berkata, Nabi saw bersabda, “Akan datang kepada kalian masa kenabian, dan atas kehendak Allah masa itu akan datang. Kemudian, Allah akan menghapusnya, jika Ia berkehendak menghapusnya. Setelah itu, akan datang masa Kekhilafahan ‘ala Minhaaj al-Nubuwwah; dan atas kehendak Allah masa itu akan datang. Lalu, Allah menghapusnya jika Ia berkehendak menghapusnya. Setelah itu, akan datang kepada kalian, masa raja menggigit (raja yang dzalim), dan atas kehendak Allah masa itu akan datang. Lalu, Allah menghapusnya, jika Ia berkehendak menghapusnya. Setelah itu, akan datang masa raja diktator (pemaksa); dan atas kehendak Allah masa itu akan datang; lalu Allah akan menghapusnya jika berkehendak menghapusnya. Kemudian, datanglah masa Khilafah ‘ala Minhaaj al-Nubuwwah (Khilafah yang berjalan di atas kenabian). Setelah itu, beliau diam” (HR. Imam Ahmad)[1].

Berdasarkan hadits ini, jelaslah bahwa penyebutan sistem pemerintahan Islam sebagai sistem khilafah adalah penyebutan dengan hadits. Bukan Istilah yang dibuat oleh para ulama. Meski demikian, sebuah istilah tentu tidak harus secara langsung menggunakan lafadz dalam nash. Hadits ini juga merupakan kabar gembira akan berdirinya khilafah di masa yang akan datang.

Khilafah didefinisikan sebagai “kepemimpinan umum bagi semua kaum Muslim di dunia untuk menegakkan syariah (hukum) Islam, dan mengemban dakwah Islam ke seluruh penjuru dunia.”

Khilafah dan Imamah maknanya sama, di mana telah terdapat hadits-hadits shahih yang menggunakan dua kata tersebut dengan makna yang sama. Imam Muslim meriwayatkan dari Nabi saw yang bersabda: “Siapa saja yang telah membaiat seorang imam (khalifah), lalu memberikan uluran tangannya dan buah hatinya, hendaklah ia menaati khalifah itu selama masih mampu. Kemudian jika datang orang lain yang akan merebut kekuasaannya maka penggallah leher orang itu.” Dan dalam hadits yang panjang yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad , Nabi saw bersabda: “ …. Kemudian akan ada Khilafah ala minhājin nubuwah.”

Dengan demikian, baik dinamakan dengan khilāfah, imāmah, imārah al-mukminīn, atau ad-daulah al-Islāmiyah, maka itu tidak mengapa selama masih terikat dengan maknanya, karena yang penting bukan terikat dengan lafadz (pengucapan), namun terikat dengan maknanya , yaitu bahwa Khilafah adalah “kepemimpinan umum bagi semua kaum Muslim di dunia untuk menegakkan syariah (hukum) Islam, dan mengemban dakwah Islam ke seluruh penjuru dunia.”
Sabda rasulullah Saw. : 

Siapa saja yang melepaskan tangan dari ketaatan (kepada Khalifah), niscaya ia akan menemui Allah kelak pada Hari Kiamat tanpa memiliki hujjah. Siapa saja yang mati, sementara tidak ada baiat (kepada Khalifah) di pundaknya, maka ia mati seperti kematian jahiliah (HR Muslim).

Sabda Rasul saw., “Man khala’a yad[an] min thâ’at[in] laqiyalLâh yawm al-qiyâmah lâ hujjatan lahu.” Kalimat ini dinyatakan dalam redaksi berita. Meski demikian, maknanya adalah tuntutan untuk meninggalkan (thalab at-tarki), artinya merupakan larangan; yakni larangan untuk melepaskan tangan dari ketaatan kepada Imam/Khalifah. Kalimat “laqiyallâh yawm al-qiyâmah lâ hujjatan lahu (niscaya bertemu Allah pada Hari Kiamat tanpa memiliki hujjah)” merupakan qarinah (indikasi) jazim (tegas). Maknanya, siapa saja yang melepaskan tangan dari ketaatan kepada Khalifah maka pada Hari Kiamat kelak di hadapan Allah ia tidak memiliki hujjah (alasan) yang bisa dibenarkan atau diterima sebagai dasar atau justifikasi perbuatannya itu. Itu artinya, perbuatan melepaskan tangan dari ketaatan kepada Imam atau Khalifah merupakan kemaksiatan.

Dengan demikian melepaskan tangan dari ketaatan kepada Imam/Khalifah hukumnya haram. Bentuknya di antaranya bisa berupa menyatakan tidak taat kepada Imam/Khalifah, menyatakan keluar dari jamaah kaum Muslim yang dipimpin Imam/Khalifah (seperti dinyatakan dalam riwayat al-Hakim di atas), keluar menentang Imam/Khalifah, memecah-belah jamaah kaum Muslim, dan lainnya. Semua itu tentu saja pada kondisi jika sudah ada imam (khalifah).

Saat ini belum ada imam/khalifah sehingga belum ada baiat di atas tengkuk setiap Muslim. Karena itu, untuk menyelamatkan diri dari kematian jahiliah itu, setiap Muslim wajib berusaha serius untuk mewujudkan adanya khalifah itu, yakni dengan menegakkan Khilafah, tentu melalui dakwah secara berjamaah menggunakan metode yang telah digariskan dan dijelaskan oleh Rasul saw. dalam sirah beliau.

Sesungguhnya menegakkan sistem Khilafah dan berhukum dengan apa yang telah diturunkan Allah, dalam persoalan kecil dan besar adalah kewajiban, bahkan bukan sekedar kewajiban. Masalah kewajiban ini jelas dan terang, sehingga tidak sedikitpun membuat bimbang. Bahkan lebih dari tiga belas abad negeri-negeri kaum Muslim ada dalam naungannya. Dan selama itu, orang-orang beriman menemukan kebahagiaan dan kemuliaannya. Sebaliknya, para musuh Islam terkapar dan terhinakan. Kewajiban ini dengan tegas diperintahkan oleh Allah SWT dengan firman-Nya:

“Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebahagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu.” (TQS. Al-Māidah [5] : 49).

Sesungguhnya masyarakat islami adalah potret masyarakat yang harmonis, meski individu-individunya berasal dari beragam jenis dan etnis. Keharmonisan ini buah dari hukum-hukum syara’ yang mengontrol dan mengatur setiap hubungan di antara masyarakat dengan aturan yang mampu menghilangkan kezaliman dan permusuhan, serta mewujudkan keadilan. 

Penjelasan dalam hal ini adalah konsep yang dulu pernah dipahami oleh Abu Bakar. Karenanya, ketika beliau diserahi untuk memimpin Khilafah, maka beliau berkata: “Saya diserahi untuk memimpin kalian, padahal saya bukanlah orang yang terbaik di antara kalian. Untuk itu, jika saya melakukan kebaikan, maka bantulah (dukung) saya. Sebaliknya, jika saya melakukan keburukan, maka luruskan (kritik) saya. Orang yang lemah di mataku adalah orang yang kuat sampai ia memperoleh haknya. Sebaliknya, orang yang kuat di mataku adalah orang yang lemah sampai ia memberikan haknya”. Dengan demikian, secara mutlak, tidak ada satupun orang yang kebal terhadap hukum syara’ di dalam Daulah Khilafah. 

Setiap ras, bangsa, dan warna semuanya benar-benar melebur dalam wadah (Khilafah) Islam. Sehingga masyarakat yang individu-individunya berasal dari beragam jenis dan etnis ini menyatu dan memiliki perasaan yang sama dalam hal menentukan kapan mereka harus rela, marah, bahagia, dan sedih. Sebab, dalam melakukan aktivitas masing-masing, mereka didorong oleh keinginan untuk mendapatkan ridha dari Allah SWT. [VM]

Posting Komentar untuk "Tsumma Takuunu Khilafatan ‘Ala Minhaajin Nubuwwah"