Benarkah Kesejahteraan Guru Hanya Angan-angan Belaka?



Oleh: Yulida Hasanah (Aktivis Muslimah Brebes)

Tepat saat acara puncak peringatan Hari Guru Nasional 2024 di Jakarta International Velodrome, Rawamangun, Jakarta Timur, Kamis (28/11/2014), presiden Prabowo mengumumkan adanya kenaikan gaji guru ASN dan tunjangan guru non-ASN di 2025 nanti. Sontak hal tersebut disambut dengan gemuruh para guru yang hadir sebagai tanda bahagia. (detiknews.com/28/11/2024)

Namun, apa yang disampaikan Prabowo ternyata memunculkan persepsi yang justru mengajak masyarakat berpikir ulang tentang kenaikan gaji ini. Sebagaimana diungkapkan oleh Sekretaris Jenderal Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI), Heru Purnomo. Dia mengatakan bahwa pengumuman kenaikan gaji guru pada tahun 2025 adalah tidak ada. Artinya, tidak akan ada tambahan kesejahteraan ataupun kenaikan gaji untuk guru ASN di tahun 2025. Karena sejak tahun 2008 pemerintah telah memberikan Tunjangan Profesi Guru (TPG) sebesar 1 kali gaji pokok bagi ASN sertifikasi. Selain itu, Heru juga menilai tidak ada peningkatan tunjangan profesi untuk guru non-ASN di tahun 2025. Karena menurutnya, tahun-tahun sebelumnya sudah berlaku tunjangan tersebut sebesar 1,5 juta bagi guru yang belum ‘inpassing’ dan 2 juta bagi guru yang sudah ‘inpassing’. 

Oleh karena itu, Heru mengatakan bahwa FSGI akan mendesak pemerintah mengklarifikasi pengumuman kenaikan gaji guru. Sebab hal tersebut dianggap mustahil karena tidak ada sumber dananya. Yang ada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Indonesia sudah minus karena menanggung program ‘makan bergizi gratis’. (Tempo.co/2/12/2024)

Kenaikan Gaji Tidak Menjamin Kesejahteraan Guru!

Meskipun seandainya kenaikan gaji yang mustahil menurut FSGI di atas ternyata terjadi, bukan berarti guru akan mendapatkan jaminan kesejahteraan dari pemerintah hari ini. Pasalnya, kebutuhan pokok yang harus ditanggung masyarakat termasuk para guru juga mengalami kenaikan. Ha ini tentu berdampak langsung pada anggaran belanja rumah tangga rakyat. Alih-alih gaji guru akan dinaikkan pada 2025 nanti, harga BBM sudah naik duluan, Pajak Pertambahan nilai juga sudah naik menjadi 12%, harga beras tak kunjung turun, belum lagi harga gula, minyak dan bahan pokok lainnya. Justru inilah yang menjadi masalah kita. Perbaikan ekonomi masyarakat baru angan-angan, karena yang nyata justru kesempitan ekonomi yang ada di depan mata.

Maka wajar jika persoalan kesejahteraan bagi para guru masih menjadi problem di negeri ini. Guru ‘nyambi’pekerjaan lain karena gajinya tak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan keluarga sehari-hari. Bahkan guru terjebak pinjaman online dan judi online menjadi hal biasa. SK digadaikan dengan alasan kesejahteraan bahkan sangat banyak jumlahnya. 

Sungguh ini bukan hanya berkaitan dengan masalah naiknya gaji. Tetapi kondisi ini justru menjamur di tengah-tengah penerapan sistem kehidupan sekular kapitalis hari ini. Di mana guru hanya dianggap sebagai pekerja semata. Artinya, guru hanya dijadikan faktor produksi dalam rantai produksi suatu barang dalam ekonomi. Padahal, kesejahteraan guru adalah salah satu faktor yang memengaruhi kualitas pendidikan, selain faktor kurikulum yang diterapkan dan tersedianya infrastruktur pendidikan yang memadai.

Kehidupan sekular kapitalis jugalah yang menjadi penyebab utama dari tidak adanya jaminan kesejahteraan bagi guru. Sebab, negara yang harusnya menjadi penanggungjawab dan yang memberi jaminan kesejahteraan justru sekadar hadir sebagai regulator dan fasilitator. Sedangkan yang mengelola kekayaan alam dan yang menguasai perekonomian adalah pihak swasta, yakni asing dan aseng. Walhasil, muncullah liberalisasi perdagangan, kapitalisasi kesehatan, termasuk juga kapitalisasi di bidang pendidikan. Sedangkan masyarakat termasuk para guru adalah pihak yang menjadi korban dari bisnis para kapitalis ini. 

Dengan Kepemimpinan Islam, Guru Sejahtera Bukan Angan-angan Belaka

Islam memberi perhatian besar terhadap pendidikan, salah satunya adalah guru. Guru memiliki peran yang sangat strategis dan penting dalam mencetak generasi berkualitas. Dari generasi berkualitas inilah bangunan kepemimpinan dan peradaban itu tegak. Maka, jika para pemberi ilmu tak mendapatkan jaminan kesejahteraan yang layak, bagaimana mungkin mereka bisa fokus dan berkualitas dalam mendidik generasi bangsa?

Oleh sebab itu, kesejahteraan bagi para guru menjadi perhatian besar dalam kepemimpinan Islam. Pemimpin dalam Islam adalah penanggungjawab mengurus rakyat termasuk para guru. Karena kepemimpinan mereka akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah kelak. Sebagai pemimpin, wajib memelihara urusan rakyatnya dengan menjamin pemenuhannya. Mulai dari urusan, sandang, pangan, papan hingga kebutuhan kolektif seperti pendidikan, kesehatan dan keamanan. 

Para pemimpin dalam Islam jauh dari amal yang yang memberi harapan kesejahteraan, namun rakyat faktanya tetap berada dalam kesempitan. Hal ini telah ditegaskan oleh Rasulullah saw. dalam sabdanya, “Tidaklah seorang manusia yang diamanati Allah Swt. untuk mengurus urusan rakyat, lalu mati dalam keadaan ia menipu rakyatnya, melainkan Allah Swt. mengaharamkan surga baginya.” (HR. Bukhari)

Syekh Taqiyuddin an Nabhani menyatakan bahwa seorang pemimpin atau aparat negara wajib memiliki 3 kriteria penting, yakni ‘al quwwah (kekuatan), ‘at taqwa’(ketakwaan), dan ‘al rifq bi ar ra’iyyah’ (lembut kepada rakyat). Seorang pemimpin haruslah memiliki kekuatan akal yang memadai dan memiliki kekuatan pola sikap kejiwaan yang baik, yakni sabar, tidak emosional dan tidak tergesa-gesa. Di mana dari kriteria ini akan menjadikannya mampu memutuskan kebijakan yang tepat dan sejalan dengan syariat Islam. Serta mampu melahirkan kebijakan-kebijakan cerdas dan bijaksana yang mampu melindungi dan menyejahterakan rakyatnya. 

Sedangkan ketakwaannya akan melahirkan sikap berhati-hati dalam mengatur urusan rakyatnya. Karena ia sadar bahwa kepemimpinan adalah amanah yang akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah Swt. Dan kriteria ketiga yakni ‘ar rifq’ yaitu lembut terhadap rakyatnya. Artinya, menjadikan kepemimpinannya dicintai dan tidak ditakuti oleh rakyatnya. Dalam hal ini, Rasulullah Saw. pernah berdoa, “Ya Allah, siapa saja yang diserahi kekuasaan untuk mengurusi urusan umatku, kemudian ia membebaninya, maka bebanilah dirinya. Siapa saja yang diserahi kekuasaan untuk mengurus umatku, kemudian ia berlaku lemah lembut, maka bersikap lemah lembutlah pada dirinya.” (HR. Muslim)

Maka, dalam kepemimpinan Islam, telah nyata, bukan angan-angan belaka. Di mana gaji seorang pengajar di masa Khalifah Harun Ar Rasyid, diwujudkan dalam bentuk mencukupi kebutuhan anak-anak guru. Kebutuhan pokok dan biaya sekolah ditanggung oleh pemerintah sehingga membuat hidup mereka menjadi nyaman. Bahkan pada masa Daulah Abbasiyah, tunjangan kepada guru begitu tinggi seperti yang diterima oleh Zujaj pada masa Abbasiyah. Setiap bulan beliau mendapat gaji 200 dinar. Sementara Ibnu Duraid digaji 50 dinar perbulan oleh al-Muqtadir. Masyaa Allah..

#PemimpinPengurusRakyat

#ButuhPemimpinIslam

Posting Komentar untuk "Benarkah Kesejahteraan Guru Hanya Angan-angan Belaka?"