RUU Perampasan Aset: Menimbang Ulang Komitmen Pemberantasan Korupsi
Oleh: Gesang Rahardjo (Redaktur VMus Media)
Pemberantasan korupsi selalu menjadi janji besar setiap pemerintahan. Korupsi disebut-sebut sebagai musuh bersama karena dampaknya yang menghancurkan keuangan negara dan merugikan rakyat secara luas. Tidak heran, publik menaruh harapan besar terhadap setiap upaya penegakan hukum yang diarahkan untuk memutus praktik korupsi.
Sejak lahirnya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada 2002, ekspektasi itu semakin menguat. Namun perjalanan panjang lembaga antirasuah tidak selalu mulus. Alih-alih semakin kuat, KPK justru mengalami pelemahan dari sisi kewenangan. Revisi undang-undang, pembentukan dewan pengawas, hingga tes wawasan kebangsaan yang memicu kontroversi menjadi catatan tersendiri. Pada akhirnya, publik melihat bahwa korupsi tetap marak, ementara daya gedor KPK semakin terbatas.
Di luar itu, sederet kasus besar masih membekas dalam ingatan masyarakat: skandal Pertamina, kasus PT Timah, BLBI, hingga Asabri. Nilainya fantastis, mencapai ratusan triliun. Semua ini memperlihatkan betapa seriusnya masalah korupsi di negeri ini.
Salah satu instrumen hukum yang sering disebut sebagai solusi adalah Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset. Wacana ini sudah bergulir sejak 2008, bahkan sempat masuk Prolegnas pada 2015–2019. Namun hingga kini pembahasannya tak kunjung tuntas. Dinamika politik, perbedaan prioritas legislasi, serta tarik-menarik kepentingan membuat rancangan tersebut berulang kali tertunda.
Momentum untuk menghidupkan kembali pembahasan RUU ini sempat muncul pada 2023, apalagi setelah Presiden Prabowo menyampaikan dorongan agar DPR segera menyelesaikannya. Meski demikian, sifatnya masih reaktif dan belum menunjukkan adanya keseriusan konsisten dari para pemangku kebijakan. Belum lagi sejumlah pasal menimbulkan kekhawatiran, seperti potensi penyalahgunaan wewenang dalam penyitaan aset sebelum adanya putusan pengadilan.
Selain itu, ketentuan bahwa aset yang bisa dirampas minimal bernilai Rp100 juta juga menimbulkan pertanyaan. Korupsi tidak selalu bernilai besar; praktik suap dengan angka lebih kecil pun tetap merusak sistem. Jika korupsi skala kecil diabaikan, maka pemberantasan terasa setengah hati.
RUU ini pada dasarnya memiliki semangat baik, yakni memperkuat instrumen hukum dalam menindak kejahatan luar biasa. Akan tetapi, tanpa niat politik yang kuat dan konsistensi dalam menempatkan kepentingan publik di atas kepentingan kelompok, ia berisiko kembali menjadi dokumen yang terbengkalai.
Lebih jauh, pemberantasan korupsi tidak cukup hanya dengan instrumen hukum. Paradigma yang mendasari kehidupan bernegara perlu dibenahi. Selama jabatan masih dipandang sebagai jalan memperkaya diri, bukan amanah, korupsi akan selalu mencari celah.
Pengalaman para khalifah dalam sejarah Islam memberi pelajaran: transparansi harta pejabat, gaya hidup sederhana, gaji yang layak, dan sanksi tegas adalah pilar penting pencegahan korupsi. Semua itu berdiri di atas fondasi nilai, bahwa jabatan adalah tanggung jawab besar, bukan komoditas.
Tanpa perubahan paradigma, RUU Perampasan Aset hanya akan menjadi satu lagi catatan panjang dari janji yang tertunda. []
Posting Komentar untuk "RUU Perampasan Aset: Menimbang Ulang Komitmen Pemberantasan Korupsi"