RUU Perampasan Aset: Omon-Omon Pemberantasan Korupsi

 



Oleh: Ainul Mizan (Peneliti LANSKAP)


Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) dikesankan menjadi common enemy yang harus diberantas. Korupsi dipandang bisa menghancurkan keuangan negara. Oleh karenanya setiap rejim kekuasaan di negeri ini dituntut melakukan upaya serius dalam pemberantasan korupsi.

Komitmen pemberantasan korupsi mulai terlembaga pada tahun 2002 melalui pembentukan KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi). Alih-alih bisa memberantas korupsi, justru korupsi makin menjadi. Apalagi ada upaya pelemahan KPK, dari revisi UU KPK tahun 2019 hingga pembentukan Dewas (Dewan Pengawas) KPK. Anehnya KPK dianggap terlalu super body dengan keberadaannya yang independen. Akhirnya KPK dimasukkan dalam rumpun eksekutif. Semua anggota KPK harus lolos TWK (Tes Wawasan Kebangsaan). Hasilnya 75 anggota KPK tidak lolos TWK. Sedangkan TWK sendiri hasil penyelundupan hukum yang tidak ada kaitannya dengan bidang kerja KPK.

Hasil pemberantasan korupsi adalah Klasemen Liga Korupsi Indonesia berisi 11 Mega korupsi. Peringkat ke-1, korupsi Pertamina senilai Rp 968,5 trilyun di tahun 2018-2023.  Disusul korupsi PT Timah senilai Rp 300 trilyun, kasus BLBI senilai Rp 138,44 trilyun di tahun 2017, korupsi Duta Palma, korupsi TPPI senilai Rp 37,8 trilyun sejak 2009-2011, korupsi Asabri senilai Rp 22,8 trilyun dan seterusnya. Jika ditelisik, sebelum adanya pelemahan KPK, Mega korupsi sudah terjadi, apalagi setelah pelemahan KPK. Artinya pemberantasan korupsi hanyalah omon omon.

Tidak cukup dengan KPK, wacana pembuatan RUU Perampasan Aset pun digulirkan sejak tahun 2008. Beleid RUU-nya berhasil dirampungkan di tahun 2012. Selanjutnya RUU Perampasan Aset masuk ke dalam Prolegnas tahun 2015-2019. Hasilnya RUU Perampasan Aset tidak pernah dibahas karena tidak masuk prioritas RUU yang harus dibahas. 

Berikutnya pembahasan RUU Perampasan Aset diusulkan masuk Prolegnas tahun 2020-2024. Akan tetapi DPR menolak usulan pemerintah tersebut.

Di tahun 2023, RUU Perampasan Aset disetujui masuk Prolegnas. Hanya saja pembahasannya mandek. Dengan demikian, RUU Perampasan Aset terbengkalai lebih dari satu dekade. Lantas, apakah ini yang disebut sebagai komitmen dalam memberantas kejahatan korupsi? Yang ada dan nyata adalah komitmen pemberantasan korupsi hanyalah omon-omon.

Berikutnya, semangat untuk membahas lagi RUU Perampasan Aset ini menguat setelah adanya demonstrasi menuntut pembubaran DPR. Lebih-lebih setelah aksi penjarahan terhadap rumah beberapa anggota dewan, termasuk rumah Ketua DPR, Puan Maharani. Presiden Prabowo juga mendesak DPR agar segera merampungkan pembahasan RUU Perampasan Aset. Hal tersebut setelah adanya desakan aspirasi demonstrasi yang terjadi. Prabowo menemui para ketua parpol terkait RUU Perampasan Aset. Dengan kata lain, inisiatif untuk membahas RUU Perampasan Aset bersifat reaktif, bukan proaktif. Tentunya potensi terbengkalai kembali sangatlah mungkin terjadi. 

Hal demikian bisa kita lihat dari pernyataan Wakil Baleg (Badan Legislasi) DPR bahwa hingga menjelang Pemilu 2029 ada 3 undang-undang yang harus segera direvisi. Ketiga undang-undang tersebut adalah UU No 4 Tahun 2017 tentang Pemilu, UU No 10 Tahun 2016 tentang Pilkada, dan UU No 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik. Artinya jika masih ada waktu dan kesempatan akan dibahas RUU Perampasan Aset. Itu pun setelah ketiga UU prioritas tersebut rampung dibahas.

Anehnya lagi, RUU Perampasan Aset ini tidak masuk Prolegnas tahun 2025. Kemungkinannya masuk di 2026. Padahal meskipun sebuah RUU sudah masuk Prolegnas, belum tentu akan dibahas bila tidak termasuk daftar prioritas RUU. Dan hingga tahun 2029, RUU Perampasan Aset tidak termasuk prioritas.

Belum lagi dalam naskah akademiknya, RUU Perampasan Aset ini berpotensi terjadinya Abuse of Power. Sebagai contoh pasal 56 ayat 2 bahwa Kejagung bisa memindahtangan aset para pelaku tindak kejahatan baik sebelum ada keputusan pengadilan maupun sesudah ada keputusan pengadilan. Tentunya hal ini akan berpotensi adanya tekanan terhadap seseorang yang didakwa melakukan tipikor, padahal belum adanya keputusan pengadilan.

Ditambah juga adanya kekhawatiran terjadi penyalahgunaan oleh penyidik yang melakukan Perampasan aset. Masih adanya keraguan publik terkait penyimpanan dan pengelolaan dari aset yang dirampas.

Di samping itu, batasan aset yang berhak dilakukan perampasan itu senilai di atas Rp 100 juta. Padahal korupsi ataupun suap bisa terjadi pada nilai di bawah Rp 100 juta. Artinya penanganan tipikor masih setengah hati.

Kembali kepada istilah perampasan aset. Aset yang berhak dirampas tidak hanya terbatas pada hasil korupsi. Semua harta yang didapatkan dengan cara-cara tidak sah bisa dikenakan perampasan. Padahal untuk menyelesaikan pemberantasan korupsi saja masih PR besar.

Baleg DPR sendiri akan berhati-hati dalam mengeksekusi permintaan atau desakan pembahasan RUU Perampasan Aset. Menurut Baleg, RUU ini merupakan 'barang panas' yang apabila gegabah akan menjadi senjata untuk lawan politik, terutama bagi parpol. Termasuk RUU Perampasan Aset masih berpeluang adanya kesalahan pemindahtanganan dan pengelolaan aset hasil rampasan oleh pemerintah. Bahkan disebut-sebut sebelum membahas RUU Perampasan Aset, perlu dirampungkan dulu pembahasan RUU KUHAP.

Demikianlah pembahasan pemberantasan korupsi dalam sistem Demokrasi Sekuler. Berbelit-belit, banyak kepentingan bermain dan tidak berangkat dari sebuah kesadaran yang menjadikan pemberantasan korupsi terbengkalai. Komitmen kosong sebatas retorika tidak akan mampu menahan laju tipikor yang terjadi, apatah lagi akan memberantasnya.

Membentuk Paradigma yang Benar

Terlihat sekali bahwa tidak berhasilnya memberantas korupsi berawal dari sebuah paradigma yang salah. Sebuah paradigma yang dibentuk oleh sekulerisme. Negara jangan sampai melanggar hak asasi individu dalam mengumpulkan kekayaan. Apalagi tahu sama tahu bila untuk menjabat di suatu jabatan publik, ada mahar yang harus dibayarkan. Nilai maharnya disesuaikan dengan tingkat jabatan yang dikejar. Walhasil setelah menduduki jabatan, pertama kali yang dipikirkan adalah kembali modal dan mendapat keuntungan dari modal yang ditanam. Jadinya korupsi sangat sulit dihindari.

Oleh karena itu, pertama kali yang harus dibentuk adalah paradigma yang benar. Paradigma yang benar lahir dari asas bernegara yang benar yakni Aqidah Islam. 

Dengan landasan Aqidah Islam, halal haram menjadi standar nilai. Menjadi penguasa dan pejabat adalah amanah yang harus dipertanggungjawabkan di dunia dan di akherat. Walhasil dalam pengangkatan penguasa dan pejabat dipilih dari sosok-sosok pribadi yang beriman dan bertaqwa. Menyelisihi dari sikap sebagai pejabat yang amanah, bisa segera dicopot dari jabatannya.

Adalah Khalifah Umar bin Khattab Ra memberikan kebijakan yang ketat terhadap para pejabatnya. Beliau mengecek harta pejabatnya di awal jabatannya hingga periode akhir menjabatnya secara berkala. Hal ini bertujuan dalam rangka mengetahui adanya penambahan yang tidak normal pada harta para pejabat. Di samping itu, guna mencegah terjadinya tindakan korupsi dan suap, beliau memberikan gaji yang cukup besar kepada para pejabat agar tidak ada pikiran dan niat untuk melakukan korupsi. Bahkan sangsi tegas bagi para koruptor dari yang ringan hingga sangsi hukuman mati. Ini semua disesuaikan dengan kadar kerugian yang diderita oleh negara. Bagitu pula Khalifah Umar Ra akan melakukan penyitaan terhadap harta-harta hasil korupsi. Alasannya harta hasil korupsi itu merupakan cara perolehan harta yang haram. Sedangkan harta yang haram kepemilikannya bukan menjadi hak pelaku keharaman. Ia telah mengambil yang bukan haknya. Harta hasil korupsi dari uang negara harus dikembalikan kepada negara karena sejatinya itu adalah harta milik umat. Maka hasil penyitaan aset koruptor dikembalikan kepada umat dengan jalan dimasukkan ke Baitul Mal.

Begitu pula Khalifah Umar bin Abdul Azis. Beliau mengharuskan kepada keluarga dan pejabatnya agar bergaya hidup sederhana. Mengembalikan semua fasilitas kemewahan yang diperoleh dan tidak menggunakan fasilitas negara untuk kepentingan pribadi. Bahkan beliau sendiri tidak bersedia untuk diberi fasilitas 'kendaraan dinas'. 

Rasulullah Saw sendiri menegaskan bahwa siapa saja yang diserahi tugas dan telah diberikan gaji kepadanya, lalu ia mengambil harta yang bukan menjadi haknya, maka sesungguhnya ia telah mengambil harta ghulul atau harta khianat. 

Harta ghulul atau khianat akan mengantarkan kepada neraka dan kemurkaan Allah. Bukankah daging yang tumbuh dari barang yang haram, maka neraka layak baginya?!


#04 September 2025

Posting Komentar untuk "RUU Perampasan Aset: Omon-Omon Pemberantasan Korupsi"