Tunjangan Anggota DPR Fantastis, Kok Bisa?
Oleh: Imas Rahayu, S.Pd. (Pendidik dan Pemerhati Kebijakan Publik)
Berdasarkan data dari berbagai sumber media, anggota DPR di Indonesia memperoleh gaji dan tunjangan yang mencapai lebih dari Rp100 juta per bulan. Paket ini mencakup gaji pokok, tunjangan keluarga, tunjangan beras, tunjangan listrik, hingga tunjangan bensin. Misalnya, Tempo melaporkan bahwa anggota DPR mendapat tunjangan bensin hingga Rp7 juta per bulan dan tunjangan beras sebesar Rp12 juta per bulan (Tempo.co, 1-9-2025). Sementara itu, Beritasatu menyebutkan bahwa total gaji dan tunjangan anggota DPR dapat mencapai lebih dari Rp100 juta per bulan, jumlah yang dianggap menyakiti hati rakyat (Beritasatu.com, 1-9-2025).
BBC Indonesia juga menyoroti bahwa pendapatan besar ini memicu kritik keras di tengah kondisi ekonomi masyarakat yang semakin sulit (BBC.com, 1-9-2025). Para pengamat menilai pendapatan fantastis ini tidak sepadan dengan kinerja DPR yang sering kali jauh dari harapan. Kasus rendahnya kualitas legislasi, absensi sidang yang tinggi, hingga keputusan-keputusan politik yang dinilai lebih menguntungkan elite dari pada rakyat, semakin mempertegas ketimpangan antara hak istimewa wakil rakyat dengan kondisi nyata masyarakat yang mereka wakili.
Kesenjangan dalam Sistem Demokrasi Kapitalistik
Fenomena ini adalah konsekuensi dari sistem demokrasi kapitalistik yang berlandaskan pada akal dan kepentingan materi manusia. Pertama, kesenjangan antara pejabat dengan rakyat adalah hal yang tak terhindarkan, karena politik dalam sistem ini kerap diwarnai dengan transaksi, kompromi, dan orientasi keuntungan. Politik transaksional membuat jabatan bukan lagi amanah, melainkan peluang untuk memperkaya diri. Kedua, ketika materi menjadi ukuran kesuksesan, maka setiap kebijakan, termasuk besaran gaji dan tunjangan, diarahkan demi keuntungan segelintir elit politik. Hal ini mengikis empati terhadap rakyat dan menjauhkan para pemimpin dari amanah besar yang seharusnya mereka jalankan.
Dengan kata lain, sistem demokrasi kapitalis memberi ruang yang luas bagi penyalahgunaan kekuasaan karena tidak memiliki rambu-rambu transenden yang mengikat pemimpin agar berbuat adil. Hasilnya adalah pengelolaan negara yang sering lebih berpihak pada kepentingan individu dan kelompok daripada kemaslahatan rakyat secara keseluruhan.
Lebih jauh lagi, sistem ini melahirkan budaya politik yang berorientasi pada popularitas dan modal. Untuk menduduki jabatan politik, seseorang membutuhkan biaya besar, mulai dari kampanye hingga lobi-lobi politik. Akibatnya, setelah berkuasa, mereka cenderung berusaha mengembalikan modal yang telah dikeluarkan melalui kebijakan yang menguntungkan dirinya atau kelompok pendukungnya. Hal inilah yang membuat praktik politik semakin jauh dari nilai pengabdian dan pelayanan kepada rakyat.
Selain itu, demokrasi kapitalistik juga menumbuhkan kesenjangan struktural yang sulit diatasi. Kesejahteraan pejabat dan elite politik terus meningkat, sementara rakyat kecil tetap bergelut dengan masalah harga kebutuhan pokok, pendidikan, dan kesehatan. Kesenjangan ini pada akhirnya memicu ketidakpercayaan publik terhadap sistem dan para pemimpinnya. Rakyat melihat bahwa janji-janji kampanye sering kali hanya retorika tanpa realisasi yang berpihak pada kepentingan mereka.
Jabatan Sebagai Amanah dalam Islam
Islam menawarkan paradigma yang sangat berbeda dalam memandang jabatan dan kepemimpinan. Jabatan bukanlah privilege, melainkan amanah yang akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah Swt.. Rasulullah saw. bersabda:
“Seorang pemimpin adalah pengurus rakyat dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyat yang ia urus.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Dalam Islam, asas kepemimpinan adalah akidah Islam, dengan syariat Allah sebagai pedoman. Setiap pejabat publik, termasuk anggota majelis umat dalam sistem Islam, terikat olehx aturan syariat, bukan kepentingan materi. Keimanan menjadi benteng moral yang menjaga agar amanah tidak disalahgunakan. Jabatan justru dipandang sebagai beban berat, bukan kesempatan untuk memperkaya diri.
Dalam sejarah kekhilafahan Islam, para khalifah dan pejabat negara hidup sederhana dan jauh dari kemewahan. Umar bin Khattab ra. adalah teladan nyata, meskipun memimpin wilayah yang sangat luas, ia tetap hidup dengan pakaian tambalan dan menolak fasilitas berlebihan. Ia bahkan kerap berkeliling di malam hari untuk memastikan rakyatnya tidak kelaparan.
Khalifah Umar bin Abdul Aziz pun menjadi contoh keadilan dan kesederhanaan. Ia tidak mau menggunakan harta baitul mal untuk urusan pribadi. Lampu minyak dari kas negara hanya dinyalakan ketika ia membahas urusan rakyat. Ketika percakapan beralih ke masalah keluarganya, ia segera memadamkan lampu itu dan menggantinya dengan lampu yang ia biayai sendiri. Prinsip kehati-hatian ini menunjukkan bagaimana pejabat di masa khilafah memahami betul bahwa setiap tindakan akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah.
Islam menetapkan syarat-syarat bagi seorang pemimpin agar kepemimpinan berjalan sesuai tuntunan syariat. Di antaranya:
1. Muslim: pemimpin harus seorang muslim yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, agar terikat dengan hukum syariat.
2. Baligh dan berakal: agar mampu mengemban amanah secara penuh.
3. Adil: memiliki sifat amanah, jujur, dan tidak fasik.
4. Laki-laki: karena kepemimpinan umum dalam Islam adalah tanggung jawab laki-laki.
5. Mampu (kifayah): memiliki kemampuan untuk menjalankan urusan umat, baik dari sisi manajerial, keilmuan, maupun keberanian.
Hal ini sesuai dengan firman Allah Swt.:
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil…” (QS. An-Nisa: 58)
Dengan syarat-syarat ini, Islam memastikan bahwa pemimpin bukan sekadar figur politik, melainkan seorang pengemban amanah yang dituntut untuk menegakkan syariat Allah dan mengurus urusan rakyat. Pemimpin tidak dipilih berdasarkan kepentingan materi atau popularitas, melainkan karena ketaatan dan kapasitasnya untuk menjaga agama dan mengurus urusan rakyat. Fenomena tunjangan fantastis DPR merupakan cerminan dari rapuhnya sistem demokrasi kapitalistik yang menempatkan materi sebagai tujuan utama.
Khatimah
Selama sistem ini masih menjadi pijakan, maka kesenjangan antara penguasa dan rakyat akan terus terjadi. Islam menghadirkan solusi hakiki dengan asas akidah Islam, syariat sebagai pedoman, dan amanah sebagai tanggung jawab berat yang akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah. Figur-figur pemimpin Islam di masa lalu menjadi teladan bahwa kepemimpinan sejati adalah pelayanan, bukan jalan menuju kemewahan. Dengan menerapkan syarat-syarat kepemimpinan Islam, umat dapat memperoleh pemimpin yang adil, amanah, dan berorientasi pada kesejahteraan, bukan kepentingan pribadi. Allahua'lam Bishawab.
Posting Komentar untuk "Tunjangan Anggota DPR Fantastis, Kok Bisa?"