Berantas Korupsi Total Apa Bisa?

Ilustrasi Korupsi (Foto:Istimewa)
Tanggal 9 Desember telah ditetapkan secara internasional sebagai hari anti korupsi sedunia. Peringatan hari anti korupsi itu juga dilakukan di istana. Dan KPK menyelenggarakan pekan anti korupsi selama tiga hari 9 – 11 Desember di Istora Senayan. Acara itu untuk mengkampanyekan nilai-nilai anti korupsi secara luas pada masyarakat.

Masih Sangat Korup

Selama ini KPK telah banyak menangkap dan memenjarakan koruptor. Menurut wakil ketua KPK, Adnan Pandu Praja, sudah sekitar 370 orang yang telah divonis KPK. Terdiri dari 72 anggota parlemen, 8 menteri, 31 gubernur, dan 8 bupati. Kemudian 4 komisioner, dan 3 warga negara asing; 2 Malaysia dan 1 Jepang.

Kepolisian juga tak mau kalah. Kepala Biro Penerangan Masyarakat (Karopenmas) Mabes Polri, Brigjen Pol Boy Rafli Anwar, di Mapolda Jabar Bandung, Senin (9/12) mengatakan, “Polri di sini mendapatkan laporan 1.343 kasus korupsi dan ini masih terus berjalan. Saat ini lebih dari 800-nya sudah P21.” Dari 800 perkara yang ditangani ada Rp 910 miliar yang berhasil diamankan. Jumlah itu meningkat hampir empat kali lipat dibandingkan tahun 2012, yang hanya mencapai Rp 261 miliar. (merdeka.com, 9/12).

Meski banyak upaya sudah dilakukan, namun Indonesia masih tetap salah satu negara sangat korup di dunia. Transparency International (TI) telah melansir Indeks Persepsi Korupsi (Corruption Perception Index – CPI) tahun 2013. CPI dinyatakan dalam angka 0 paling korup sampai 100 paling bersih. CPI Indonesia tahun 2013 ternyata tidak berubah dari tahun sebelumnya yaitu 32. Meski angkanya tak berubah, peringkat Indonesia sedikit naik dari peringkat 118 dari 176 negara di tahun 2012 menjadi peringkat 114 dari 177 negara di tahun 2013. Ini menunjukkan pemberantasan korupsi di negeri ini masih mengalami stagnasi (ti.or.id, 03/12).

Korupsi Sistemik, Pemberantasan Belum Total Sistemik

Stagnannya posisi Indonesia dalam CPI itu menandakan korupsi di negeri ini sudah benar-benar sangat mengakar dan sistemik. Di negeri ini barang kali 365 hari sepanjang tahun tidak lepas dari korupsi. Nyaris semua pengadaan barang dan jasa, bantuan sosial, hingga proyek tidak ada yang lepas dari korupsi.

Korupsi telah begitu membudaya dan mengakar di negeri ini. Mulai dari perangkat desa sampai pejabat negara di pusat tak lepas dari korupsi. Menteri dipidana karena korupsi, kepala desa korupsi, bupati, gubernur juga korupsi. Anggota DPR korupsi, pegawai pajak korupsi, polisi korupsi, hakim korupsi. Sudah banyak terungkap bagaimana proyek dibagi-bagi dan setor sana – setor sini. Petinggi partai politik pun ikut bermain. Begitu parahnya hingga mungkin hanya di negeri ini, bandit tega mengorupsi pengadaan Kitab Suci, baju muslim hingga pengadaan sarung. Pengadaan bantuan bibit termasuk bibit lele, uang bantuan tunai hingga bangku sekolah juga tak lepas dari jamahan tangan koruptor.

Korupsi tidak sekadar dilakukan karena adanya peluang, melainkan didesain dengan memperalat kebijakan dan kekuasaan. Wakil Ketua KPK, Busyro Muqoddas, mengungkapkan korupsi yang berbahaya justru dimulai dari peraturan yang didesain untuk korupsi. “Di negeri kita ada kebijakan korupsi by design. Korupsi yang paling berdampak ini adalah yang melalui by design ini. Ini bisa lihat bagaimana dalam kasus impor sapi yang membuat peternak lokal tidak bisa ngapa-ngapain. Banyak kebijakan lain yang kami telisik lagi. Merinding kita lihat datanya,” ungkap Busyro (merdeka.com, 10/12). Bahkan menurut Wakil Ketua DPR, Pramono Anung, korupsi sudah menjadi trias koruptika. Sebagai sindiran bahwa korupsi sudah terjadi di pilar-pilar negara, di eksekutif (pemerintah), legislatif dan yudikatif.

Korupsi yang sudah sedemikian mengakar, sistemik, tentu tidak akan bisa diberantas kecuali dengan upaya pemberantasan yang sistemik, terintegrasi dengan sistem yang benar dan benar-benar anti korupsi. Sayangnya justru itu yang belum tampak benar dari upaya pemberantasan korupsi selama ini.

Transparansi Internasional Indonesia menilai bahwa lemahnya koordinasi antar lembaga pemerintah mengakibatkan praktek korupsi dan suap masih tinggi di lembaga-lembaga publik. Di Indonesia, GCB 2013 menyebutkan 1 dari 3 orang yang berinteraksi dengan penyedia layanan publik di Indonesia masih melakukan praktek suap dengan berbagai alasan (ti.or.id, 03/12).

Upaya pemberantasan korupsi masih terhambat oleh berbagai ironi yang menunjukkan berbagai lembaga negara belum “sehati” dan tidak saling bersinergi. Ambil contoh, Mahkamah Agung dalam putusan pada tingkat PK justru membebaskan mantan Direktur Utama PT Bahana Pembinaan Usaha Indonesia (BPUI), Sudjiono Timan, terpidana kasus korupsi Rp 369 miliar. Padahal sesuai aturan hal itu tidak bisa terjadi sebab PK diajukan ketika yang bersangkutan berstatus buron.

Di sisi lain, ternyata banyak koruptor yang belum bisa dieksekusi oleh Kejaksaan karena buron, diantaranya lari ke luar negeri. Data ICW, per 16 Oktober 2013, ada sekitar 40 koruptor yang masih buron ke luar negeri. Celakanya kekayaan para koruptor yang lari itu tidak bisa dieksekusi untuk pengembalian harta ke negara dikarenakan belum adanya peraturan yang mengaturnya. Bahkan memang banyak yang belum dieksekusi. Data laporan hasil audit BPK, piutang Kejaksaan Agung RI per 30 Juni 2012 berupa piutang untuk pengganti hasil korupsi mencapai Rp 12,7 triliun dan US$ 290,4 juta. (merdeka.com, 9/12).

Sementara masih kurangnya sinergi, diantaranya tampak dari kesulitan KPK menelisik potensi kerugian negara dari sektor tambang karena belum dipasok data-data pertambangan oleh Kementerian ESDM. Wakil Ketua KPK, Adnan Pandu Praja, pada Rabu (4/12) mengungkapkan, Kementerian ESDM belum mau memberikan data usaha batu bara. Sementara, banyak informasi mengenai bisnis batu bara yang saling bertentangan. Ditjen Pajak mengaku hanya bisa menagih kepada 3 ribu pengusaha batu bara. Sementara, pemerintah sudah memberikan 11 ribu izin pengusahaan batu bara. (Merdeka.com, 4/12).

Pada kondisi pemberantasan korupsi seperti itu, banyak kalangan sudah memperingatkan tahun depan korupsi akan makin marak dengan datangnya pemilu, seiring dengan besarnya kebutuhan dana kampanye caleg, parpol, dan pilpres. Sebab sudah terbukti berbagai pilkada butuh biaya politik sangat besar, hingga akhirnya sangat banyak kepala daerah terjerat korupsi. Bisa jadi, hampir-hampir tidak ada kepala daerah yang benar-benar bebas dari korupsi dan penyelewengan. Hal terakhir ini sekaligus menunjukkan, problem terbesar pemberantasan korupsi justru ada pada sistem politik demokrasi yang sarat biaya.

Tuntunan Islam Berantas Korupsi

Pemberantasan korupsi tidak akan bisa dilakukan total dan tuntas jika sistem politik demokrasi yang sarat biaya tetap dipertahankan dan tidak diganti. Sebab, sistem itulah yang menjadi salah satu akar persoalan korupsi. Karena itu komitmen total pemberantasan korupsi haruslah ditunjukkan dengan meninggalkan sistem politik demokrasi itu dan sistem kapitalisme pada umumnya. Lalu digantikan dengan sistem Islam yang datang dari Dzat Yang Mahabijaksana yang Mahatahu apa yang baik dan membuat baik manusia.

Selanjutnya sistem Islam memberantas korupsi secara sistemik dan terintegrasi yang secara ringkas ditempuh melalui lima langkah. Pertama, penanaman iman dan takwa. Dengan itu, pejabat dan rakyat akan tercegah melakukan kejahatan termasuk korupsi.

Kedua, sistem penggajian yang layak, sehingga tidak ada alasan untuk berlaku korup. Ketiga, teladan dari pemimpin, sehingga tindak penyimpangan akan terdeteksi secara dini. Penyidikan dan penindakan pun tidak sulit dilakukan.

Keempat, pembuktian terbalik. Islam memberikan batasan yang sederhana dan jelas tentang harta ghulul. Rasul SAW bersabda:

«مَنِ اسْتَعْمَلْنَاهُ عَلَى عَمَلٍ فَرَزَقْنَاهُ رِزْقًا فَمَا أَخَذَ بَعْدَ ذَلِكَ فَهُوَ غُلُولٌ»
Siapa saja yang kami angkat untuk satu tugas dan telah kami tetapkan pemberian untuknya (gaji) maka apa yang dia ambil setelah itu adalah harta ghulul (HR Abu Dawud, Ibn Khuzaimah dan al-Hakim)

Hadits ini jelas, bahwa harta yang diperoleh aparat, pejabat dan penguasa selain pendapatan yang telah ditentukan, apapun namanya, baik hadiah, fee, pungutan, dsb, merupakan harta ghulul dan hukumnya haram.

Hadits ini mengisyaratkan, bahwa pendapatan pejabat dan aparat hendaknya diungkap secara transparan sehingga mudah diawasi. Juga mengindikasikan agar harta pejabat dan aparat dicatat, bukan mengandalkan laporan yang bersangkutan. Selanjutnya daftar atau catatan harta kekayaan pejabat itu diperbarui dan diaudit secara berkala. Jika ada pertambahan harta yang tak wajar, yang bersangkutan harus membuktikan hartanya diperoleh secara sah. Jika tidak bisa, maka disita sebagian atau seluruhnya dan dimasukkan ke kas negara.

Kelima, hukuman yang bisa memberi efek jera. Hukuman itu bisa berupa tasyhir (pewartaan/ekspos), denda, penjara yang lama, bahkan bisa sampai hukuman mati, sesuai dengan tingkat dan dampak kejahatannya. Sanksi penyitaan harta ghulul itu juga bisa ditambah dengan denda. Gabungan keduanya sekarang dikenal dengan pemiskinan, yang didesakkan untuk segera diberlakukan terhadap koruptor.

Perlakuan itu bukan hanya diterapkan kepada diri pejabat tetapi bisa juga diterapkan kepada orang-orang dekatnya, sebagaimana yang pernah dicontohkan oleh Umar bin al-Khaththab dan disetujui oleh para sahabat. Pencatatan kekayaan, pembuktian terbalik dan sanksi termasuk pemiskinan yang memberikan efek jera dan gentar ini sangat afektif memberantas korupsi.

Wahai Kaum Muslimin

Komitmen anti korupsi tidak akan nyata, senyata-nyatanya, tanpa disertai perjuangan nyata agar syariah Islam diterapkan di tengah masyarakat. Sebab hanya dengan penerapan syariah Islam itulah pemberantasan korupsi akan benar-benar bisa dilakukan secara total, terintegrasi, sistemik; dan tentu saja mendapat keridhaan dan berkah dari Allah SWT. Wallâh a’lam bia sh-shawâb.[Al-Islam edisi 684, 9 Shafar 1435-13 Desember 2013]

Posting Komentar untuk "Berantas Korupsi Total Apa Bisa?"