[Jawab Soal] Bolehkah Memanfaatkan Kartu Kredit?
Soal:
Bagaimana hukum kartu kredit yang dikeluarkan oleh bank? Apakah sama antara penggunaan kartu kredit dan kartu debit?
Jawab:
Berdasarkan
bentuk dan karakteristiknya, bank lazimnya mengeluarkan kartu plastik
yang bisa digunakan sebagai alat transaksi. Kartu tersebut bisa dibagi
menjadi dua: kartu kredit dan kartu debit. Kartu kredit adalah suatu
jenis penyelesaian transaksi ritel (retail) dan sistem kredit, yang namanya berasal dari kartu plastik yang diterbitkan untuk pengguna sistem tersebut. Kartu kredit berbeda dengan kartu debit. Bedanya, penerbit kartu kredit meminjami konsumen
uang dan bukan mengambil uang dari rekening. Kebanyakan kartu kredit
memiliki bentuk dan ukuran yang sama, seperti yang dispesifikasikan oleh
standar ISO 7810. Lazimnya
pinjaman, pengguna kartu tersebut wajib mengembalikan pinjamannya pada
tenggat waktu yang telah ditetapkan. Jika tidak bisa, selain terkena
beban bunga, juga denda atau pinalti. Contoh kartu kredit: Mastercard,
VISA, American Express, Diners Club, JCB dan lain-lain.
Adapun kartu debit adalah sebuah kartu pembayaran secara elektronik yang diterbitkan oleh sebuah bank. Kartu ini mengacu pada saldo tabungan
bank Anda di bank penerbit kartu tersebut. Apabila tabungan Anda Rp 1
juta, misalnya, Anda tidak bisa melakukan transaksi di atas nilai
tersebut. Dengan kata lain, nilai transaksi dibatasi oleh nilai tabungan
Anda. Setiap pembayaran dengan kartu debit akan mengurangi saldo
tabungan Anda secara langsung (realtime) seperti halnya Anda menarik tabungan di ATM. Fungsi dari kartu debit adalah untuk memudahkan pembayaran ketika berbelanja tanpa harus membawa uang tunai. Kartu tersebut akan digesekkan pada sebuah alat pembaca kartu (magstripe reader) di merchand tempat Anda belanja dan Anda akan diminta untuk memasukkan nomor PIN
sebagai bukti Anda mengakui pembelanjaan tersebut. Info dari hasil
pembacaan beserta informasi total belanja akan di teruskan ke bank
penerbit untuk dilakukan verifikasi keabsahan dari kartu tersebut.
Sesudah verifikasi berhasil, saldo tabungan Anda langsung
didebit (dikurangi). Contoh kartu debit ini seperti Kartu Debit BCA,
Mandiri, BNI, BRI dan sebagainya.
Berdasarkan kedua fakta di atas, hukum
kartu kredit berbeda dengan hukum kartu debit. Kartu kredit jelas-jelas
haram. Dalil keharamannya dikembalikan pada dalil tentang keharaman
riba. Allah SWT berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَذَرُوا مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبَا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ
Hai
orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa
riba (yang belum dipungut) jika kalian orang-orang Mukmin (QS al-Baqarah [2]: 278).
Ini karena transaksi dengan menggunakan kartu kredit merupakan bentuk qardh
(hutang) dari pengguna kartu kepada pihak bank, disertai dengan bunga
dan denda. Mungkin ada yang bertanya, bagaimana kalau dalam
pengemba-liannya bisa menghindari bunga, misalnya dibayar tepat waktu,
sehingga bisa terhindar dari bunga. Yang pasti, bunga tidak bisa
dihindari oleh pemegang kartu, karena memang sudah ditetapkan oleh pihak
bank. Adapun yang bisa dihindari, sebenarnya bukanlah bunga, melainkan
denda atau pinaltinya. Dengan demikian, jelas bahwa kartu kredit
tersebut nyata-nyata transaksi riba, yang status akadnya batil dan
diharamkan di dalam Islam.
Berbeda dengan kartu debit. Penggunaan kartu debit statusnya bukanlah dayn
dari pemegang kartu kepada pihak bank, melainkan pemindahan hak yang
dimiliki oleh pengguna kartu kepada pihak lain, yang dilakukan oleh bank
atas perintah pengguna kartu tersebut. Dalam kasus ini, status
penggunaan kartu debit tersebut sama dengan hawalah. Hawalah itu sendiri hukumnya mubah. Rasulullah saw. bersabda:
مَطَلُ الْغَنِيُّ ظُلْمٌ وَإِذَا أُحِيْلَ أَحَدُكُمْ عَلَى غَنِيٍّ فَلْيَسْتَحِلْ
Orang
kaya yang menangguh-nangguhkan (pembayaran hutang) adalah zalim. Jika
salah seorang di antara kalian memindahkan (hutang) kepada orang kaya
maka hendaknya dia memindahkan (hutangnya) (Dikeluarkan oleh Ibn Rusyd dalam Al-Bidâyah).
Menurut Ibn Rusyd, hawalah ini merupakan bentuk transaksi yang sah, dan dikecualikan dari praktik pembayaran hutang dengan hutang.1 Dalam praktik hawalah, biasanya ada empat hal: muhil (orang yang memindahkan hak), muhtal (orang yang diminta memindahkan hak), muhal ‘alayhi (orang yang menerima hak), muhal bihi (hak/tanggungan yang dipindahkan). Dengan logika hawalah ini bisa dipetakan, bahwa pemegang kartu debit tadi bertindak sebagai muhil, pihak bank adalah muhtal, pihak ketiga yang mendapatkan haknya disebut muhal ‘alaihi, dan hak (uang) yang diberikan kepadanya disebut muhal bihi.
Hukum hawalah pada dasarnya mubah. Hawalah tidak akan terjadi manakala muhil tidak memiliki hak yang ada pada muhtal, yang bisa dipindahkan kepada pihak ketiga (muhal ‘alayhi). Karena itu, Ibn Qudamah menyebut hawalah ini sama dengan taslîm (penyerahan hak/tanggungan).2Dalam praktiknya, hawalah tidak
hanya berupa debit dari dana pengguna kartu bank tertentu, tetapi juga
bisa berupa transfer dan pengiriman uang. Ini juga sama-sama bisa
dikategorikan sebagai praktik hawalah. Praktik hawalah yang terakhir ini juga tidak hanya dilakukan oleh bank, tetapi juga dilakukan oleh jasa pengiriman uang, seperti Western Union, Kantor Pos dan lain-lain.
Hawalah juga bisa dilakukan dengan menggunakan kertas berharga yang mempunyai nilai nominal tertentu, seperti cek. Ini biasanya disebut Hawalah al-’Ayn. Ada juga yang berbentuk bill of exchange, yang biasanya disebut Hawalah ad-Dayn. Harus dicatat, meski di dalam praktiknya hawalah tersebut melibatkan empat hal: muhil, muhtal, muhal ‘alaihi dan muhal bihi; hawalah ini bukanlah akad sehingga harus memenuhi unsur ijab dan qabul, dan suka sama suka. Hawalah adalah tindakan pribadi, yang bisa dilakukan tanpa harus menunggu persetujuan pihak lain, baik pihak kedua maupun pihak ketiga.3
Ini berbeda dengan pinjaman, tepatnya qardh. Qardh adalah akad. Dalam kasus kartu kredit, pihak bank bertindak sebagai muqridh (pemberi pinjaman), sedangkan pihak pengguna kartu kredit disebut muqtaridh (penerima pinjaman). Antara muqridh dan muqtaridh terjadi akad peminjaman (qardh), dengan disertai bunga yang diberikan kepada muqridh. Sebagai akad, qardh seharusnya merupakan bentuk pinjaman dengan pengembalian yang fixed dan sama, baik dari segi jenis maupun nominalnya.4 Karena itu, seharusnya pengguna kartu kredit, yang bertindak sebagai muqtaridh
tersebut, tidak boleh mengembalikan, kecuali dengan jumlah yang sama.
Tanpa bunga dan denda. Ditetapkannya bunga dan denda dalam syarat qardh, dalam kasus kartu kredit tersebut, menurut Mazhab Syafii, bukan saja fasad di dalam syaratnya, tetapi juga merusak akadnya. Dengan kata lain, akadnya tidak sah.5
Mungkin
ada yang bertanya, bukankah kartu kredit dan kartu debit, di dalamnya
sama-sama mempraktikkan hutang? Mengapa yang satu diharamkan, yang satu
tidak? Jawabannya, hutang (qardh) di dalam kartu kredit merupakan transaksi dasar, sedangkan hutang (dayn) atau tepatnya tanggungan (dzimmah) dalam kartu debit merupakan konsekuensi dari hawalah. Sebagai perbandingan, seorang suami yang menanggung nafkah istri dan keluarganya bisa disebut berhutang atau mempunyai dayn; begitu juga seorang wanita yang mengajukan khulû’ juga mempunyai dayn, karena harus membayar sejumlah uang. Namun, dayn di sini merupakan konsekuensi dari kewajiban membayar nafkah dan khulû’, sebagaimana dalam kasus hawalah di atas. Karena itu, status qardh dalam kartu kredit dengan dayn dalam kartu debit jelas berbeda. Selain itu, praktik qardh dalam kasus kartu kredit tersebut merupakan bentuk akad, sementara dayn dalam kasus kartu debit tersebut tidak bisa disebut akad, tetapi tindakan derivatif dari hawalah, yang bisa berlangsung tanpa harus menunggu suka sama suka ataupun ijab dan qabul.
Lalu
ada satu lagi pertanyaan, bagaimana dengan syarat bunga yang diberikan
oleh bank selaku peminjam kepada pengguna kartu debit selaku pemberi
pinjaman? Menurut mazhab Syafii, syarat seperti ini memang fasad, tetapi tidak merusak akad.6 Dengan kata lain, akadnya tetap sah, selama syarat tersebut diabaikan. Wallâhu a’lam. [hizbut-tahrir.or.id]
Catatan kaki:
1 Ibn Rusyd, Bidâyah al-Mujtahid wa Nihâyah al-Muqtashid, II/383.
2 Ibn Qudamah, Al-Mughni, Dar al-Afkar ad-Duwaliyyah, Yordania, 2006, I/1048.
3 Taqiyuddin an-Nabhani, Asy-Syakhshiyyah al-Islamiyyah juz II, Dar al-Ummah, Beirut, Edisi Muktamadah, 2003, hlm. 350.
4 Ini berbeda dengan hutang (dayn), yang boleh saja dikembalikan dalam bentuk nilai yang sama, jika hutangnya harus dibayar berdasarkan nilainya. Lihat: Samih ‘Athif az-Zain, Mawsû’uah al-Ahkam as-Syar’iyyah al-Muyassarah fi al-Kitab wa as-Sunnah: al-Mu’âmalât, wa al-Bayyinât, wa al-’Uqûbât, Dar al-Kitab al-Lubnani, Beirut, cet. I, 1995, hlm. 285.
5 Lihat, Ibid, hlm. 308.
6 Lihat, Ibid.
Posting Komentar untuk "[Jawab Soal] Bolehkah Memanfaatkan Kartu Kredit?"