Dr Abdul Wahid Mengenai Kejadian Terbaru di Paris
Sebagai buntut dari peristiwa di Paris, dimana pelakunya masih buron, media dan para politisi Barat telah mengarang cerita di seluruh dunia – bahwa para wartawan Charlie Hebdo tewas sebagai akibat dari perang melawan kebebasan berbicara dan dengan demikian mereka mati sebagai martir.
Dr. Abdul Wahid |
Kita bisa berputar-putar dengan argumen dan kontra argumen. “Jika tidak ada provokasi tidak akan ada serangan balik’ melawan argumen ‘kekerasan tidak pernah dibenarkan ketika dihina ‘.
Satu hal yang pasti, menurut pandangan saya. Jikapun pemerintah di dunia Muslim mengambil sikap yang kuat atas penghinaan terhadap Nabi SAW yang masih berlangsung dengan mengancam untuk memutuskan hubungan diplomatik atau hubungan perdagangan atas gambar-gambar yang menghina itu – saya tidak yakin bahwa orang-orang yang merasa frustrasi tidak akan membalas dendam. Inilah salah satu alasan mengapa seruan untuk mendirikan kembali pemerintahan Islam yang sah di dunia Muslim harus bergema dengan kuat di kalangan umat Islam secara global – untuk mengembalikan stabilitas dan kemandirian ke wilayah tersebut.
Tetapi orang-orang yang menyalahkan Islam karena pembunuhan ini mengatakan bahwa sebagaimana terhadap semua agama, Islam perlu dikritisi.
Dalam hal ini, izinkan saya memberikan kritik atas ‘agama’ modern yang sekuler yakni liberalisme – tetapi dengan sedikit kata-kata kasar dan sedikit penghinaan dari yang biasanya dilakukan ketika ‘mengkritisi’ Islam.
Klaim Perancis bahwa kebebasan berekspresi adalah ‘prinsip yang fundamental’ dari republik itu adalah sebuah mitos. Karena di Perancis, kebebasan berekspresi hanya berlaku untuk sebagian orang dan tidak bagi orang lain. Kaum perempuan didenda karena memakai niqab – atau dilarang mendapatkan pendidikan karena mengenakan jilbab. Bahkan pada kasus Charlie Hebdo, yang diteguhkan sebagai benteng kebebasan berbicara, ‘prinsip fundamental’ ini disisihkan untuk menenangkan sensitifitas politik dalam negeri ketika mereka memecat kartunisnya sendiri Maurice Sinet karena menolak untuk meminta maaf atas karyanya yang menyudutkan anak Nicholas Sarkozy, yang tampaknya merendahkan Sarkozy karena menikahi seorang ahli waris Yahudi karena alasan uang.
Demikian pula, ketika Perdana Menteri Perancis sebelumnya menyatakan bahwa kartun yang diterbitkan oleh majalah itu tahun 2011 “dinyatakan berada dalam batas-batas hukum dan di bawah kendali pengadilan”, dia harus diingatkan bahwa Senat Perancis telah mensahkan RUU sebelumnya pada tahun itu yang menolak untuk melarang genosida yang diakui oleh hukum Perancis – sehingga membatasi ekspresi politik di bawah hukum itu dan lewat pengadilan karena alasan-alasan politik.
“Kebebasan berbicara” tidak pernah benar-benar “bebas”. Tidak ada masyarakat yang pernah mengatakan terdapat hak mutlak untuk mengatakan apapun yang anda inginkan. Hukum yang melarang suatu pidato ada di sekitar kita. Pemerintah Inggris sedang dalam proses memperkenalkan undang-undang yang akan mengkriminalisasi orang dari mulai usia balita hingga orang tua untuk mengatakan hal-hal yang tidak “berbau Inggris”. Hukum ini telah mengkriminalisasi orang-orang karena menghina pasukan Inggris. Jerman mengkriminalisasi orang-orang yang menyangkal adanya holocaust, meskipun hal ini masih hal yang legal di wilayah lain. Ada banyak contoh di seluruh Eropa tentang hal ini – dan biasanya diterapkan secara selektif.
Setiap masyarakat membatasi pidato yang sesuai dengan keyakinan dan sistem nilai mereka. Dalam masyarakat sekuler Barat, agama pada umumnya tidak dihargai sehingga penghujatan terhadap agama diperbolehkan. Padahal di banyak wilayah lain di dunia, termasuk dunia Islam, agama adalah suatu nilai utama dan hujatan terhadapnya menjadi hal yang fatal, termasuk menghina salah seorang Nabi Allah, mulai dari Nabi Adam, hingga Nabi Musa, Nabi Isa hingga Nabi Muhammad (SAW).
Keberadaan batas toleransi dalam masyarakat yang berbeda tidak harus berarti menutup suatu perdebatan. Tentu saja tidak ada kasus dalam Islam, yang memiliki tradisi Islam selama berabad-abad untuk terlibat dalam perdebatan, untuk mentolerir kritik dan mendengar kritik dari orang lain. Tapi kritik dan perdebatan adalah hal yang berbeda jika secara sengaja menargetkan untuk menghina orang lain.
Harga atas keharmonisan sosial atas ‘kebebasan untuk menghina’ adalah hal yang jarang dibahas. Kebebasan untuk mengejek dan mencemooh ini, lahir dari dilema tertentu otoritas Gereja di Eropa, sehingga membuka pintu atas tumbuhnya perilaku anti-sosial dalam masyarakat – di mana sikap kasar dianggap sebagai suatu tanda dari ketegasan, kesopanan kurang dihargai dan dianggap sebagai kelemahan, dan terlalu banyak orang yang tidak saling menghormati hukum atau menghormati satu sama lain.
Dimana saat “kebebasan” yang pernah digunakan untuk meminta pertanggung jawaban orang-orang yang berkuasa dan mencegah negara melakukan hal yang melampaui batas sekarang diarahkan kepada masyarakat yang tidak melakukan hal tersebut. Kebebasan untuk menghina simbol-simbol suci Islam telah menjadi alat untuk menggertak dan menganiaya masyarakat minoritas – dengan naiknya sentimen kelompok kanan dan kelompok anti-Muslim.
Dalam konteks ini, kaum muslim telah diberikan ultimatum – bahwa tidak cukup mengatakan bahwa hukuman mati karena menghina Nabi Muhammad harus dilakukan setelah terjadi proses peradilan yang layak oleh suatu otoritas Islam – dan bukan oleh ‘seorang yang bertindak sendiri’. Tidaklah cukup untuk mengatakan bahwa kaum Muslim di negara non-Muslim yang berada di bawah perjanjian tidak boleh main hakim sendiri, membunuh orang di siang bolong, yang beberapa di antaranya tidak ada hubungannya dengan menghina Nabi.
Sebaliknya, apa yang diharapkan dari seorang Muslim di Eropa saat ini adalah bahwa anda sujud di hadapan dewa kebebasan berbicara sehingga anda menerima bahwa setiap nabi dapat dihina – dan anda belajar untuk menyukainya atau anda tertawa karenannya!!
Itulah harapan yang tidak dapat diterima oleh orang-orang yang menyerang Islam. Kaum Muslim yang tinggal di Barat hanya memiliki satu pilihan ketika dihadapkan dengan penghinaan terhadap Nabi mereka yang tercinta – dan itu adalah hak untuk berbicara. Mereka yang menghapuskan pilihan ini akan gagal. Mereka akan mendapatkan kita terus berbicara dengan keras meskipun kita diejek dan dibenci.
Mereka yang mengatakan bahwa kita semua harus dibolehkan untuk menghina satu sama lain secara bebas harus menyadari masyarakat yang dihasilkan adalah masyarakat di mana orang mulai saling membenci, bahkan ketika mereka saling bertoleransi. Sebaliknya masyarakat yang menganggap penghinaan yang disengaja dan provokasi yang tidak perlu terhadap orang lain adalah sesuatu yang harus dihindari adalah masyarakat di mana orang akan hidup harmonis meskipun terdapat perbedaan yang bervariasi.
Pola kebijakan negara pada saat ini, keterasingan masyarakat, provokasi dan pembalasan hanya mengobarkan rasa takut, menimbulkan intimidasi dan ketidakpercayaan – baik bagi Muslim maupun non-Muslim. Apa yang dibutuhkan adalah suatu perdebatan yang lebih dewasa dan diskusi intelektual dan bukan penghinaan, kebohongan dan cerita-cerita palsu. Dan meskipun ultimatum dieberikan kepada kita, kaum Muslim tetap siap untuk hal ini.
Dr. Abdul Wahid
Ketua Komite Eksekutif
Hizbut Tahrir Inggris
Sumber : http://www.hizb.org.uk/current-affairs/dr-abdul-wahid-on-the-recent-events-in-paris
Posting Komentar untuk "Dr Abdul Wahid Mengenai Kejadian Terbaru di Paris"