Ancaman Neoliberalisme Energi Listrik
Dalam waktu dekat pemerintah Indonesia melalui Kementerian BUMN berencana akan menyewakan kembali (lease back) pembangkit listrik hasil proyek Fast Track Program (FTP) tahap pertama, yang dicanangkan 10.000 megawatt. Puluhan pembangkit itu dibangun investor China yang masuk dalam program percepatan pembangunan pembangkit listrik bertenaga batubara, energi terbarukan, dan gas (fast track programme) tahap I. Salah satu yang menjadi rencana menyewakan kembali pembangkit listrik milik PLN tersebut adalah PLTU Jatim I, yang terletak di Desa Sukorejo, Sudimoro, Pacitan.
Secara total, pemerintah meminta investor China menyewa 35 unit pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) berkapasitas 10.000 megawatt). “Dedy S. Priatna”, Deputi bidang Sarana dan Prasarana Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), menyatakan, pengerjaan proyek tersebut sudah rampung 90%. Dia menjelaskan, FTP I yang dimulai sejak 2016 dan dikerjakan kontraktor China, realisasinya sudah sekitar 90 persen. Namun ternyata, faktor kapasitas (capacity factor) dari proyek tersebut sangat tidak maksimal, hanya 35-50 persen. Karena rendahnya faktor kapasitas itu, produksi listrik yang didistribusikan tidak maksimal.
Meski disewakan lagi ke kontraktor China, pemerintah tetap berkomitmen membeli listrik hasil produksi PLTU yang disewakan tersebut. Untuk menentukan tarif sewa pembangkit dan harga pembelian listrik dari PLTU menjadi objek lease back, pemerintah dan China akan membentuk tim khusus di bawah pengawasan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), Kejaksaan Agung, dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Namun rencana ini menuai banyak protes , salah satunya warga setempat berupaya kumpulkan koin untuk menutup hutang negara, agar PLTU Pacitan tak terjual. Gelombang protes serupa juga dilakukan di twitter. Dengan hastag #TolakLiberalisasiListrik, netizen menolak pemerintah untuk menyewakan listrik kepada pihak asing. Hingga hari ini, hastag tersebut masih terus disampaikan oleh netizen disertai foto-foto pelengkap protes.
Motif liberalisasi
Alasan pemerintah untuk (lease back) pembangkit listrik hasil proyek Fast Track Program (FTP) pembangkit listrik ini karena faktor kapasitas (capacity factor) dari proyek tersebut sangat tidak maksimal, hanya 35-50 persen. Kalau di analogikan, “jika listrik yang harusnya dihasilkan untuk 100 orang, tapi ini hanya untuk 35 orang”, Karena rendahnya faktor kapasitas itu, produksi listrik yang didistribusikan menjadi tidak maksimal. Memang benar selama ini operator dalam negeri (PLN) yang mengoperasikan pembangkit2 PPDE itu belum mampu mencapai target. Meski mesin-mesin pembangkit itu sudah menjadi milik PLN. Padahal kalau kita cermati ketidak optimalan ini juga di sebabkan oleh mesin-mesin buatan dari Cina itu banyak yang kualitasnya di bawah standar. Jadi tidak bisa mengatakan itu karena tenaga ahli kita yang belum bisa maksimal dalam menoperasikanya.
Dan perlu kita tegaskan, Jika pembangkit listrik itu dijalankan oleh perusahaan Cina, tentu PLN sudah pasti membeli listriknya. Jadi uang hasil sewa itu kembali lagi ke Cina. Plus uang dari rakyat untuk membeli listriknya. Dan akibatnya bangsa ini rugi berlipat lipat. Perusahan Cina dapat uang dari jual barang, juga dapat uang dari kerja proyek, dan juga dapat uang pula dari jualan listrik, pun bahan bakar (batubara) dari kita. Lagi-lagi rakyat menjadi korbannya.
Di sisi lain, usia efektif pembangkit ini adalah 25 tahun, Dan kalau kita tahu Sewa seperti ini tidak mungkin hanya 10 tahun. Dan ketika kontrak sudah habis dan powerplant dikembalikan ke PLN, sudah pasti poweplant yang di sewakan jadi besi tua siap loak. Dengan demikian meski istilahnya sewa, yang terjadi adalah penjualan, penjualan pembangkitan listrik. Dan yang di rugikan adalah PLN dan imbas buruknya ujung-ujungnya ke rakyat indonesia
Sebenarnya langkah menyewakan pembangkit listrik ini adalah cara untuk menggiring PLN menjadi “service company”. Jadi Peran PLN akan dikerdilkan dengan hanya mengurusi distribusi dan transmisi listrik saja. untuk Pengelolaan pembangkit listrik diserahkan pada kalangan swasta, termasuk swasta asig.
Jadi rencana ini adalah bagaian dari “liberalisasi” di bidang energi dan listrik. peran pemerintah hanya di batasi sebagai regulator bukan lagi sebagai operator. Itu artinya segala pengelolaan sumber daya alam, energi termsauk di dalamnya pembangkit listrik, pengelolaanya di serahkan kepada swasta termasuk swasta asing, inilah yang sejatinya mengancam negeri ini, dan ini yang seharusnya di sadari oleh seluruh rakyat negeri ini dan di jadikan musuh bersama.
Pandangan Islam
Penyerahan pengelolaan pembangkit listrik sejatinya adalah upaya liberalisasi di bidang kelistrikan, dan ini jelas tidak dapat dipisahkan dari paradigma dan sistem kapitalisme yang dianut oleh negara ini dalam penyediaan pelayanan publik. Padahal sistem kapitalisme sendiri dalam kenyataannya telah banyak menimbulkan penderitaan bagi ummat manusia termasuk di negara ini. Dalam pandangan Islam sistem tersebut bertentangan dengan aqidah Islam karena sistem tersebut berlandaskan pada sekularisme dimana urusan kenegaraan termasuk bidang ekonomi dipisahkan dari agama. Berbeda dengan Islam yang mengharuskan seluruh aspek kenegaraan wajib diatur berdasarkan syariat Islam.
Dalam sistem ekonomi Islam telah menegaskan bahwa listrik yang digunakan untuk keperluan bahan bakar masuk dalam kategori ’api’ (nâr) yang digolongkan sebagai barang milik umum dan bukan milik pribadi atau golongan tertentu. Termasuk dalam kategori tersebut adalah berbagai sarana dan prasarana penyediaan listrik seperti tiang listrik, gardu, mesin pembangkit, dan sebagainya Ditambah lagi, sebagian besar sumber energi dalam memproduksi listrik saat ini merupakan barang-barang tambang yang juga merupakan barang publik seperti minyak bumi, gas dan batu bara.
Rasulullah saw bersabda:
”Manusia berserikat pada tiga hal: air, api dan padang gembalaan.” (HR. Muslim dan Abu Daud)
Sistem ekonomi islam memandang, barang yang menjadi milik umum (termasuk listrik) pengelolaanya akan di serahkan kepada negara demi kemaslahatan rakyat dan tidak boleh dimiliki dan dikuasai oleh swasta baik domestik apalagi asing. Dan untuk mekanisme distribusinya sepenuhnya diserahkan kepada ijtihad dan pendapat khalifah. Dengan demikian, kebutuhan listrik didistribusikan sesuai dengan kebutuhan rakyat tanpa ada yang diistimewakan atau dikecualikan. Barang publik juga dapat dijual dengan harga pasar seperti minyak bumi dan logam. Meski demikian harga penjualannya dikembalikan kepada rakyat (berupa fasilitas seperti pendidikan, rumah sakit, dan fasilitas umum lainya ) ataupun bisa di simpan di baitul mal (kas negara). Di Baitul Mal, dana tersebut disimpan dalam pos harta milik umum dimana khalifah sama sekali tidak diperkenankan menggunakannya untuk kegiatan negara. (al-Maliky: 41: 1965).
Sistem ekonomi islam memandang energi pada umumnya dan listrik khususnya merupakan kebutuhan pokok masyarakat. yang sudah seharusnya menjadi fokus utama negara, dan sudah sewajarnya diberikan perlakuan khusus seperti membangun unit berkualitas dan menjaganya agar tetap beroperasi dengan handal dan memiliki lifetime yang panjang. Islam telah mengtur semua aspek kehidupan, termasuk pengelolaan energi dan listrik, dan hal tersebut tidak mungkin terlaksana selama sistem ekonomi negara ini menganut sistem ekonomi kapitalisme. Jadi penerapan syariah Islam secara menyeluruh melalui penegakan daulah Khilafah yang sesuai manhaj’ kenabian menjadi sebuah keharusan sehingga sistem Islam dapat ditegakkan secara menyeluruh termasuk dalam pengelolaan energi dan listrik. Sehingga keberkahan dan kesejahteraan dapat terwujud di negeri ini.
Wallahu a’lam bisshawab [Ari Farouq (Mahasiswa Ekonomi Islam STIS SBI SURABAYA)]
Posting Komentar untuk "Ancaman Neoliberalisme Energi Listrik"