Ada Apa Dengan Muktamar NU Sehingga Membicarakan HTI?
Jamaah Nahdhatul Ulama (NU) menggelar Muktamar ke-33 di Jombang, dari tanggal 1 – 5 Agustus 2015. Dalam perhelatan akbar itu, digelar pula KISWAH (Kajian Islam Ahlussunah Wal Jamaah) dengan tema besar Meneguhkan Ahlussunah Wal Jamaah, Identitas Islam di Nusantara. Dalam KISWAH itu, ada satu tema kajian yang menarik dan terlihat mencolok, yaitu karena ada salah satu nama jamaah dakwah yang disebut dalam tema kajian. Jamaah dakwah yang disebut adalah jamaah Hizbut Tahrir. Dalam tema kajian ke-9, terdapat sebuah kajian dengan judul “Kajian Dalil dan Argumen Hizbut Tahrir dalam Perspektif Aswaja An-Nahdliyyah”. Yang menjadi pertanyaan adalah : mengapa Hizbut Tahrir? Ada apa dengan Hizbut Tahrir dengan Nahdhatul Ulama? Inilah yang coba kami jawab dalam tulisan kecil ini.
Pada umumnya, muktamar diadakan dengan memiliki banyak agenda, mulai dari pemilihan ketua umum, hingga fokus agenda organisasi untuk beberapa tahun ke depan dalam masa kepemimpinan ketua umum yang baru. Agenda lain yang juga biasa dibahas dalam sebuah muktamar adalah terkait dengan hal-hal kekinian, yaitu bagaimana organisasi merespon persoalan aktual yang (dalam pandangan organisasi) penting untuk dibahas. Karena itu, akan menjadi pertanyaan ketika ada salah satu nama jamaah dakwah disebut dalam sebuah kajian muktamar NU, sementara nama jamaah dakwah yang lain tidak disebut. Hal ini tentu “ada apa-apanya”. Inilah yang menjadi tanda tanya, “ada apa?” Termasuk adalah penyebutan nama jamaah dakwah Hizbut Tahrir dalam salah satu tema kajian di Muktamar NU ke-33 di Jombang.
Keinginan HT dan NU adalah sama
Ketika jamaah Hizbut Tahrir dibahas dalam sebuah pembicaraan, tentulah ada sebuah “persoalan” yang terkait dengan Hizbut Tahrir. Jika demikian, apa persoalan yang muncul dari jamaah Hizbut Tahrir sehingga jamaah tersebut layak untuk dibahas?
Sesuai dengan namanya, Hizbut Tahrir adalah sebuah partai politik. Karena itu, Hizbut Tahrir memiliki agenda dan tujuan politik. Ketika sebuah jamaah dakwah yang memiliki tujuan politik, seharusnya singgungan utamanya dengan hal-hal yang berbau politik, bukan selain politik. Hal yang bernuansa politik itu misalnya, partai politik, tujuan insititusi politik, aktivitas politik, dan sebagainya. Jadi, seharusnya singgungan Hizbut Tahrir itu berkisar pada hal-hal politik, bukan selain politik.
Sebagai sebuah jamaah dakwah, Nahdhatul Ulama (NU) bukanlah sebuah partai politik. NU adalah jamaah (organisasi) dakwah yang sama sekali tidak terkait dengan politik, sekalipun beberapa kyai dari NU pernah terlibat dalam pendirian sebuah partai politik, dan sebagian massa NU juga aktif dalam beberapa partai politik. Namun secara institusi, NU sama sekali tidak berpolitik. Karena itu, dalam ranah politik inilah, antara NU dengan HT (seharusnya) tidak memiliki persoalan sama sekali. Bahkan secara politis, apa yang menjadi cita-cita Hizbut Tahrir, tentu tidak berbeda dengan apa yang diinginkan oleh institusi NU sendiri.
Misalnya, Hizbut Tahrir menginginkan Indonesia terbebas dari penjajahan Neoliberalisme dan Neoimperialisme. Keinginan HT ini tentu disetujui pula oleh NU. Bahkan, tidak seorang muslim pun menginginkan Indonesia berada dalam jajahan kedua ideologi tersebut. Contoh lain, bahwa Hizbut Tahrir mengharamkan disintegrasi atas negeri ini. Apa yang diinginkan oleh Hizbut Tahrir ini tentu juga menjadi keinginan setiap muslim yang ada di Indonesia. Bahkan orang nonmuslim pun tidak menginginkan adanya disintegrasi. HT juga ingin agar pemerintah benar-benar berdaulat dalam mengelola kekayaan alam. Apa yang diinginkan HT ini sama sekali bukanlah keinginan yang jelek. Siapa saja pasti menginginkan agar kekayaan alam Indonesia tidka jatuh di tangan pihak asing. HT memiliki cita-cita untuk tegaknya khilafah yang akan menerangi dunia dengan syariat Islam. Tujuan tentang tegaknya khilafah ini tentu juga menjadi cita-cita setiap muslim, termasuk yang ada di NU. Apalagi, pembahasan tentang khilafah ini juga ada dalam kitab-kitab pesantren yang menjadi ciri khas dari model pendidikan di NU. Ini semua merupakan cita-cita HT yang bersifat politis, yang sama sekali tidak bertentang dengan apa yang diinginkan oleh kaum muslim dimana pun mereka berada, termasuk dari NU sendiri. Sampai di sini, sisi politis sebenarnya tidak menjadi persoalan antara NU dengan HT. Karena itu, sekalipun NU tidak secara terang-terangan ambil bagian daalam aktivitas berpolitik, namun cita-cita seperti di atas, sungguh tidak ada persoalan antara NU dengan HT.
Jika demikian, lantas “apa persoalan” yang ada sehingga Hizbut Tahrir menjadi layak untuk diperbincangkan dalam Muktamar NU? Yang menjadi persoalan adalah ketika NU coba untuk dikendalikan dan dibawa oleh pihak-pihak tertentu ke ranah politik. Namun bukan sebagaimana politik yang dicita-citakan oleh HT, melainkan apa yang berlawanan dengan diinginkan HT. Karena itu, kemudian muncullah isu bahwa seolah-olah ada “persoalan antara NU dengan HT” sehingga HT ini menjadi layak untuk dibahas dalam muktamar NU.
Gerakan Politik Sering Dianggap Berbahaya
Namun demikian, kita perlu menyadari bahwa sebuah pergerakan yang dianggap berbahaya adalah ketika pergerakan itu mengarah pada pergerakan yang bersifat politis. Pergerakan di dalam masyarakat, apa pun jenisnya, belum akan dianggap berbahaya (karena itu, tidak akan diintimidasi dan ditekan) jika belum masuk ke ranah politis. Pergerakan yang bersifat fiqhiyah atau yang sejenisnya, kalau pun dianggap sebagai sebuah persoalan, maka tidak akan ada kekuatan politis yang menekannya. Kalau pun ada tekanan, itu hanya berasal dari kelompok tertentu saja yang memang merasa “terusik” dengan munculnya pergerakan yang bersifat fiqhiyah tersebut. Namun jika pergerakan sudha mengarah pada ranah politis, maka kekuatan penekannya tentulah dari kekuatan politis pula.
Kita lihat kasus Rasulullah saw. Saat sebelum diangkat sebagai nabi/rasul, Muhammad adalah seorang yang sangat dimuliakan kaumnya. Sosoknya yang baik, berakhlak mulia dan terkenal jujur membuatnya mudah dikenal di kalangan orang-orang Arab saat itu. Bahkan karena kejujurannya yang luar biasa, kaumnya menjulukinya dengan sebutan ‘Al-Amin’; artinya sangat bisa dipercaya.
Namun, kemuliaan akhlak dan kejujuran Muhammad seolah hilang begitu saja dan tak berbekas dalam pandangan bangsa Arab ketika Beliau diangkat sebagai nabi/rasul. Apakah karena setelah itu akhlak Muhammad menjadi buruk? Ataukah setelah menjadi nabi/rasul, Muhammad menjadi seorang pendusta alias tidak tidak bisa dipercaya lagi? Tentu tidak. Bahkan kemuliaan akhlak Muhammad saw. setelah menjadi nabi/rasul tampak serba indah; sebagaimana pengakuan Ummul Mukminin Aisyah ra. sendiri.
Lalu mengapa tiba-tiba bangsa Arab begitu membenci Beliau? Mengapa pula para pemuka Arab, bahkan paman Beliau seperti Abu Lahab yang dulu begitu menyayanginya, berbalik memusuhi Beliau secara keras? Apakah hal itu semata-mata karena Beliau membawa agama/keyakinan baru? Tidak juga. Pada awal-awal Nabi Muhammad saw. memeluk Islam sekaligus mendakwahkannya, orang-orang Arab tidak begitu peduli. Sewaktu Beliau melewati majelis mereka, mereka juga hanya berkomentar, “Inilah putra Abdul Muthalib yang menyampaikan sesuatu dari langit.” Sikap mereka ini terus berlangsung untuk beberapa waktu lamanya.
Namun, sikap mereka berubah drastis saat menyadari bahwa dakwah Baginda Rasulullah saw. bukan sekadar ‘gerakan keagamaan’, tetapi telah berubah menjadi sebuah gerakan politik yang diprediksi bakal mengancam bukan hanya keyakinan, tradisi dan budaya ‘lokal’ mereka, tetapi bahkan bakal menggusur kedudukan sosial dan kekuasan politik mereka. Itulah yang sangat disadari terutama oleh para pemuka Arab Qurais saat itu seperti Abu Jahal, Abu Lahab, Walid bin Mughirah dll. Karena itu pula, gerakan politik Nabi saw. dan kelompok dakwah Beliau mulai dicurigai, dimusuhi bahkan terus-menerus diperangi oleh bangsa Arab Jahiliah saat itu.
Apa yang dialami oleh Rasulullah saw. tidak berbeda dengan gerakan-gerakan yang bersifat politis saat ini. Ketika mereka beraktivitas dengan pergerakan politik, ancaman dan kecaman seringkali mereka dapati, oleh pihak-pihak yang (secara politis) kepentingan-kepentingannya tidak terganggu. Namun jika pergerakan itu berkisar pada pergerakan yang sifatnya fiqhiyah, hal tersebut tidak akan terlalu dipersoalan, kecuali sangat terbatas sekali. Dengan demikian, wajar jika aktivitas Hizbut Tahrir banyak dipersoalkan, sebab aktivitasnya adalah aktivitas politis yang memiliki agenda-agenda politis.
NU Bukan Lembaga Politik, Lantas Bagaimana Bisa Mempersoalkan HT?
Sebagaimana telah disinggung, bahwa NU bukanlah lembaga politik. Jika demikian, lantas mengapa mempersoalan HT yang notabene terang-terang menyuarakan politik? Dengan melihat realitas tersebut, maka kita bisa menduga kuat bahwa bisa jadi ada pihak-pihak yang (memiliki kepentingan politis) sengaja memanfaatkan NU untuk melawan HT dengan jalan mempersoalkannya (mulai dari idenya, hingga insititusinya yang bukan berasal dari Indonesia).
Hal menonjol yang sering dipersoalkan adalah dimunculkannya istilah “Islam Nusantara”. Istilah ini belakangan sangat berkembang di kalangan jamaah NU. Islam Nusantara banyak mempersoalkan pada aspek tradisi dan akar budaya yang muncul. HT dianggap tidak memiliki sifat Islam Nusantara, karena asalnya bukan dari Indonesia. Juga, karena secara visi dan misi, HT dianggap membawa tradisi Islam Arab (tradisi orang Arab) misalnya konsep khilafah, dan sebagainya. Pada praktiknya, istilah “Islam Nusantara” ini banyak menyerang kelompok-kelompok Islam yang setuju dengan formalisasi syariat Islam oleh negara (bersifat politis).
Secara politis, NU tidak memiliki kepentingan sedikit pun dalam ide-ide yang dibangunnya. Ini karena sejak awal berdirinya, NU bukanlah lembaga politis. Justru sebaliknya, ruang kajian NU lebih fokus pada persoalan-persoalan fiqhiyah. Karena itu, di tingkat bawah (akar rumput), jamaah NU jarang yang bersinggungan “keras” dengan HT. Karena memang HT tidak memiliki persoalan apa pun dengan topik-topik fiqhiyah yang dibahas dalam NU. Justru singgungan keras itu seringkali terjadi, antara jamaah NU dengan jamaah selain HT, misalnya jamaah dari Majelis Tafsir Al-Quran (MTA), Wahabi, dan yang sejenisnya, yang jelas-jelas secara fiqhiyah bertentangan dengan amaliyah jamaah NU. Karena itu, di tingkat bawah, sangat jarang ditemukan persoalan antara jamaah HT dengan jamaah NU. Jadi, kalau mau mempersoalkan, “seharusnya” yang “dipersoalkan” itu bukan HT, melainkan kelompok-kelompok Islam yang pergerakannya berkisar pada persoalan fiqhiyah. Namun demikian, bukan bermaksud “mengadu domba”. Ini hanyalah sebuah logika yang dibangun berdasarkan realitas yang ada di depan mata. Terlepas dari semua itu, HT dengan NU adalah bersaudara yang disatukan oleh kalimat La ilaha illallah Muhammadur rasulullah. Sebagaimana HT dan NU juga bersaudara dengan jamaah Salafi, MTA, Muhammadiyah, dan lain sebagainya.
Wallahu a’lam. Akhukum, Agus Trisa. [www.visimuslim.com]
Posting Komentar untuk "Ada Apa Dengan Muktamar NU Sehingga Membicarakan HTI?"