Thalabun-Nushrah: Kunci Perubahan
Pengantar
Banyak
pelajaran penting yang dapat dipetik dari perubahan politik Timur
Tengah belakangan ini. Dua pelajaran terpenting adalah: Pertama,
pembentukan opini umum berlandaskan kesadaran umum ternyata kurang
optimal. Perubahan yang ada tak konsepsional, tetapi cenderung
emosional. Dengan kata lain, perubahan lebih banyak didorong oleh opini
sesaat yang berlandaskan sentimen, bukan didorong oleh kesadaran akan
pentingnya syariah atau Khilafah. Maka dari itu, agenda mendesak ke
depan ialah bagaimana menggencarkan penyadaran di tengah-tengah umat
sebagai landasan opini umum yang mendukung Khilafah.
Kedua:
proses peralihan kekuasaan tidak menghasilkan kekuasaan baru sesuai
tuntutan Islam. Negara Khilafah tak kunjung lahir, sementara demokrasi
yang kufur tetap bercokol. Yang terjadi bukan pergantian sistem,
melainkan sebatas pergantian rezim melalui mekanisme pemerintahan
sementara untuk mempersiapkan Pemilu yang dipercepat di bawah kontrol
Barat sepenuhnya. Dengan kata lain, proses peralihan kekuasaan dalam
Islam melalui metode thalabun-nushrah tidak berjalan hingga kini. Ahlun Nushrah
(pihak yang mampu memberikan kekuasaan) dari kalangan militer pun belum
muncul, padahal eksistensi dan peran mereka mutlak untuk thalabun-nushrah, karena tanpa Ahlun Nushrah tak akan terjadi thalabun-nushrah. Maka dari itu, agenda mendesak ke depan ialah bagaimana melaksanakan thalabun-nushrah dari Ahlun Nushrah
yang mampu mengambil alih kekuasaan untuk menegakkan Khilafah. Tulisan
ini bertujuan menerangkan beberapa aspek terpenting yang terkait dengan thalabun-nushrah.
Pengertian dan Tujuan
Thalabun-nushrah
adalah aktivitas mencari perlindungan dan kekuasaan yang dilakukan
partai politik Islam pada penghujung tahapan kedua dakwah, yaitu tahapan
berinteraksi dengan umat (at-tafa’ul ma’a al-ummah). Thalabun-nushrah bukanlah suatu tahapan (marhalah) dakwah, melainkan suatu amal (aktivitas) dakwah dalam suatu tahapan dakwah.
Thalabun-nushrah mempunyai dua tujuan: Pertama, mendapatkan perlindungan (himayah) bagi para individu pengemban dakwah dan kegiatan dakwahnya. Misal, Rasulullah saw. mendapat perlindungan dari pamannya (Abu Thalib), atau Rasulullah saw. mendapat jaminan keamanan dari Muth’im bin Adi sepulangnya dari Thaif. Kedua, untuk mendapatkan kekuasaan (al-hukm) guna menegakkan hukum Allah dalam negara Khilafah. Misal, dulu Rasulullah saw. menerima kekuasaan dari kaum Anshar sehingga beliau kemudian dapat menegakkan Daulah Islamiyah di Madinah (Manhaj Hizbut Tahrir, 2009, hal. 49; M. Khair Haikal, Al-Jihad wa al-Qital, I/409).
Metode Mendirikan Khilafah
Thalabun-nushrah adalah thariqah (metode) yang tetap dan wajib dilaksanakan untuk menegakkan Khilafah. Jadi, thalabun-nushrah bukan uslub (cara) yang hukumnya mubah yang dapat berubah-ubah sesuai situasi dan kondisi. (Ahmad Al-Mahmud, Ad-Da’wah ila al-Islam, hlm. 34).
Kewajiban thalabun-nushrah
didasarkan pada teladan Rasulullah saw. dalam perjuangan beliau mencari
perlindungan dan kekuasaan dari para kepala kabilah (suku) saat itu.
Rasulullah saw. mulai melakukannya pada tahun ke-8 kenabian, khususnya
setelah wafatnya paman beliau Abu Thalib dan istri beliau Khadijah, dan
semakin meningkatnya gangguan fisik dari kaum Quraisy kepada beliau.
Rasulullah saw. melakukan thalabun-nushrah kepada banyak
kabilah, baik di kampung mereka maupun di tempat-tempat mereka saat
musim haji di Makkah. Ibnu Saad dalam kitabnya At-Thabaqat menyebutkan 15 kabilah yang didatangi Rasulullah saw. dalam rangka thalabun-nushrah,
di antaranya kabilah Kindah, Hanifah, Bani ‘Amir bin Sha’sha’ah, Kalb,
Bakar bin Wail, Hamdan, dan lain-lain. Kepada setiap kabilah Rasulullah
saw. mengajak mereka untuk beriman dan memberi nushrah kepada beliau untuk memberikan kekuasaan demi tegaknya agama Allah. (M. Abdullah Al-Mas’ari, Al-Mana’ah wa Thalab an-Nushrah, hlm. 3-8).
Sungguh,
upaya ini memang tidak mudah. Penolakan demi penolakan datang beruntun
silih berganti. Namun, Rasulullah saw. tidak mengubah cara ini dengan
cara lain dan terus memegang teguh cara ini dengan gigih walaupun sering
menghadapi kegagalan dan penolakan. Ini merupakan qarinah (indikasi) yang jazim (tegas) bahwa thalabun-nushrah yang dilakukan Rasulullah saw. adalah suatu kewajiban dan perintah syar’i,
yakni perintah dari Allah SWT, bukan inisiatif Rasulullah saw. sendiri
atau sekadar tuntutan keadaan. Alhamdulillah, akhirnya Rasulullah saw.
berhasil mendapatkan nushrah dari kaum Anshar pada tahun ke-12 kenabian yang menyerahkan kekuasaan mereka di Madinah kepada beliau (‘Atha bin Khalil, Taysir al-Wushul ila al-Ushul, hlm. 21; Ahmad al-Mahmud, Ad-Da’wah ila al-Islam, hlm. 35; M. Muhsin Radhi, Hizb at-Tahrir Tsaqafatuhu wa Manhajuhu, hlm. 311).
Jelaslah, satu-satunya metode yang sahih untuk mendapatkan kekuasaan dan mendirikan Khilafah adalah thalabun-nushrah;
bukan dengan cara-cara lain semisal mendirikan masjid, rumah sakit,
sekolah; atau menolong kaum fakir-miskin dan mengajak pada akhlaqul
karimah. Ini semua amal salih, tetapi bukan metode menegakkan Khilafah.
Metodenya bukan pula dengan mengangkat senjata memerangi penguasa, atau
dengan terjun ke politik praktis dengan masuk parlemen atau pemerintahan
sekular, atau dengan pengerahan massa (people power) untuk menggulingkan kekuasaan. Semua cara ini adalah penyimpangan (mukhalafah) dari teladan thalabun-nushrah yang dicontohkan Rasulullah saw. untuk menegakkan Daulah Islamiyah (Ahmad al-Mahmud, Ad-Da’wah ila al-Islam, hlm. 37).
Thalabun nushrah-tidaklah identik dengan kudeta militer (al-inqilab al-‘askari). Thalabun-nushrah adalah aktivitas politik, bukan aktivitas militer. Jadi keliru kalau ada yang berpendapat thalabun-nushrah sama saja dengan kudeta militer. Yang benar, kudeta militer hanyalah salah satu cara (uslub)—bukan satu-satunya cara—yang dapat dilaksanakan oleh Ahlun Nushrah. Sebagai metode, thalabun-nushrah adalah langkah prinsipil yang tunggal dan tetap yang dilakukan oleh jamaah/harakah dakwah kepada Ahlun Nushrah demi peralihan kekuasaan. Adapun teknis peralihan kekuasaannya bergantung sepenuhnya kepada Ahlun Nushrah; boleh jadi dengan kudeta militer atau dengan
cara lain yang damai, tergantung situasi yang ada. Bahkan dulu kaum
Anshar memberikan kekuasaan kepada Rasulullah saw. dengan cara damai,
karena memang saat itu kaum Anshar sendirilah yang sedang memegang
kekuasaan (Hazim ‘Ied Badar, Thariqah Hizb at-Tahrir fi at-Taghyir, hlm.18).
Seputar Ahlun Nushrah
Ahlun Nushrah atau disebut juga Ahlul Quwwah artinya adalah al-qadirun ‘ala i’tha’ al-hukm,
yaitu orang-orang yang berkemampuan untuk memberikan kekuasaan. Mereka
bisa jadi adalah orang-orang yang sedang memegang kekuasaan, misalnya
presiden atau panglima militer, atau bisa jadi tidak sedang memegang
kekuasaan, namun memiliki pengaruh yang kuat kepada masyarakat, misalnya
kepala kabilah, pimpinan partai politik, dsb (Abu Al-Harits, Thalab an-Nushrah, hlm. 1; M. Muhsin Radhi, Hizb at-Tahrir Tsaqafatuhu wa Manhajuhu, hlm. 312).
Berdasarkan Sirah Nabi saw., dapat disimpulkan beberapa poin penting terkait Ahlun Nushrah. Pertama: Ahlun Nushrah haruslah sebuah kelompok (jama’ah), bukan individu. Sebab, Rasulullah saw. hanya meminta nushrah
dari kelompok, bukan dari individu-individu, kecuali individu itu
adalah representasi dari sebuah kelompok. Dulu Rasulullah saw.
mendatangi kabilah Tsaqif di Thaif, yang kedudukan kabilah itu setara
dengan negara. Beliau juga mendatangi kabilah Kalb sebagai kelompok yang
kuat dalam sebuah negara. Beliau juga mendatangi Bani ‘Amir bin
Sha’sha’ah sebagai individu-individu yang merepresentasikan sebuah
negara (M. Muhsin Radhi, Hizb at-Tahrir Tsaqafatuhu wa Manhajuhu, hlm. 311-313).
Kedua: Ahlun Nushrah
haruslah kelompok yang kuat, yakni berkemampuan menyerahkan kekuasaan,
termasuk mampu mempertahan-kan Khilafah kalau sudah berdiri. Jadi thalabun-nushrah tak boleh berasal dari kelompok yang lemah. Dulu Rasulullah saw. pernah meminta nushrah dari kabilah Bakar bin Wail. Namun, Rasulullah
saw. kemudian membatalkannya setelah tahu kabilah itu tidak
berkemampuan. Rasulullah saw. bertanya kepada kabilah Bakar bin Wail,
“Berapa jumlah kalian?” Mereka menjawab, “Banyak, seperti butiran
tanah.” Rasulullah saw. bertanya lagi, “Bagaimana kekuatan kalian?”
Mereka menjawab, “Tak ada kekuatan (laa mana’ah). Kami
bertetangga dengan Persia, tetapi kami tak mampu melindungi kami dari
mereka…” Akhirnya Rasulullah saw. hanya mengajak mereka ingat kepada
Allah dan mengabarkan kerasulan beliau (M. Abdullah Al-Mas’ari, Al-Mana’ah wa Thalab an-Nushrah, hlm. 4; M. Khair Haikal, Al-Jihad wa al-Qital, I/411).
Ketiga: Ahlun Nushrah wajib orang-orang Muslim, tak boleh non-Muslim. Hal ini tampak jelas dari aktivitas Rasulullah saw. dalam thalabun-nushrah
kepada berbagai kabilah. Beliau meminta mereka beriman lebih dulu,
setelah itu baru meminta mereka memberikan perlindungan kepada
Rasulullah saw. Ini jika nushrah yang diminta berupa dukungan untuk memperoleh kekuasaan. Adapun jika untuk kepentingan perlindungan pribadi (himayah syakhshiyah),
boleh berasal dari non-Muslim, seperti halnya Rasulullah saw. yang
mendapat perlindungan dari paman beliau Abu Thalib yang non-Muslim (M.
Khair Haikal, Al-Jihad wa al-Qital, I/408).
Keempat: Ahlun Nushrah
haruslah orang-orang yang mendukung syariah dan Khilafah, bukan orang
yang memusuhi Islam seperti kaum sekular, liberal, dsb. Dulu Rasulullah
saw. mendapatkan nushrah dari kabilah Aus dan Khazraj setelah
kedua kabilah itu mendapatkan pengajaran agama Islam dari Mushab bin
Umair ra. di Madinah. Jadi, Ahlun Nushrah wajib mengikuti pembinaan lebih dulu sebagai pelajar (daris) dalam halqah untuk mempelajari Islam dalam partai politik yang melakukan thalabun-nushrah, meski tidak disyaratkan harus menjadi anggota partai politik itu (M. Muhsin Radhi, Hizb at-Tahrir Tsaqafatuhu wa Manhajuhu, hlm. 315).
Kelima: Ahlun Nushrah
harus berada sepenuhnya di bawah kendali partai politik yang mereka
dukung, bukan menjadi kekuatan terpisah di luar kontrol. Ini dapat
dilihat dari bagaimana Rasulullah saw. mengendalikan sepenuhnya kabilah
Aus dan Khazraj yang memberikan nushrah. Misalnya, Rasulullah
saw. meminta kabilah Aus dan Khazraj untuk memilih 12 orang dari mereka
sebagai wakil mereka untuk bermusyawarah dengan Rasulullah saw.
Rasulullah saw. juga melarang kabilah Aus dan Khazraj untuk memerangi
penduduk Mina. Ini menunjukkan semua urusan Ahlun Nushrah berada
sepenuhnya di bawah kendali Rasulullah saw. (M. Muhsin Radhi, Hizb at-Tahrir Tsaqafatuhu wa Manhajuhu, hlm. 315).
Keenam: Ahlun Nushrah tidak dibenarkan meminta kompensasi atau konsesi tertentu sebagai imbalan melakukan thalabun-nushrah,
misalnya meminta jabatan tertentu setelah Khilafah berdiri. Ini tampak
jelas dari penolakan Rasulullah saw. terhadap permintaan kabilah Bani
‘Amir bin Sha’sha’ah yang mensyaratkan agar setelah Rasululah saw.
meninggal kekuasaan diserahkan kepada mereka (M. Khair Haikal, Al-Jihad wa al-Qital, I/411).
Ketujuh: Ahlun Nushrah
disyaratkan tidak terikat dengan perjanjian internasional yang
bertentangan dengan dakwah, sementara mereka pun tak mampu melepaskan
diri dari perjanjian internasional itu. Jadi, tak diterima, misalnya, Ahlun Nushrah
yang masih terikat dengan perjanjian Camp David dengan AS untuk
melindungi Israel. Hal ini karena Rasulullah saw. dulu tidak jadi
meminta nushrah dari kabilah Bani Syaiban, karena mereka masih
terikat perjanjian dengan Kerajaan Persia untuk tidak saling menyerang,
sedang mereka pun tidak mampu melepaskan diri dari perjanjian itu (M.
Khair Haikal, Al-Jihad wa al-Qital, I/414)
Langkah Praktis Thalabun Nushrah
Thalabun-nushrah adalah aktivitas yang berat sekaligus berisiko. Tidak setiap anggota partai politik mampu memikul tugas mulia ini. Maka dari itu, thalabun-nushrah tak menjadi kewajiban umum untuk setiap anggota partai politik, namun hanya menjadi kewajiban sebagian anggotanya saja. Bisa jadi hanya diperlukan satu delegasi, atau bahkan satu orang, untuk melakukan thalabun-nushrah kepada seorang presiden, atau seorang jenderal pimpinan militer, atau seorang ketua partai politik, atau seorang pimpinan kelompok besar yang berpengaruh.
Jadi, thalabun-nushrah adalah aktivitas yang khusus dan rahasia. Sebab, tabiat thalabun-nushrah memang hanya menghendaki keterlibatan sejumlah kecil orang saja, bukan banyak orang (M. Muhsin Radhi, Hizb at-Tahrir Tsaqafatuhu wa Manhajuhu, hlm. 312).
Aktivitas
itu tentu berbeda dengan aktivitas umum yang menjadi kewajiban umum
yang mampu dijalankan oleh setiap aktivis partai politik, seperti
pembinaan dan pengkaderan dalam halqah murakkazah (intensif), atau aktivitas pembinaan umum seperti seminar, tablig akbar, masirah, dan sebagainya.
Aktivitas umum dan thalabun-nushrah ini akan saling melengkapi dan membutuhkan. Sebab, thalabun-nushrah
yang berhasil membutuhkan suasana yang kondusif, yaitu terwujudnya
opini umum berlandaskan kesadaran umum yang mendukung Syariah dan
Khilafah (M. Husain Abdullah, Ath-Thariqah asy-Syar’iyah li Isti’naf al-Hayah al-Islamiyah, hlm. 90).
Wallahu a’lam. [KH. Shiddiq Al-Jawi]
Daftar Bacaan
- Abdullah, Muhammad Husain, Ath-Thariqah asy-Syar’iyah li Isti’naf al-Hayah al-Islamiyah (Beirut: Dar Al-Bayariq), t.t.
- Al-Mas’ari, Muhammad Abdullah, Al-Mana’ah wa Thalab an-Nushrah (London: Lajnah al-Difa’ ‘an al-Huquq sy-Syar’iyah), 2002.
- Al-Syuwaiki, Muhammad, Ath-Thariq ila Dawlah Al-Khilafah (Baitul Maqdis: t.p.), 1411 H.
- Badar, Hazim ‘Ied, Thariqah Hizb at-Tahrir fi at-Taghyir Thariqah Hashriyah La Yujad Ghayruha La Syar’an wa La Waqi’an, www.shamela.ws.
- Haikal, Muhammad Khair, Al-Jihad wa al-Qital fi as-Siyasah asy-Syar’iyah (Beirut: Dar Al-Bayariq), 1992.
- Hasan, Mahmud Abdul Karim, At-Taghyir Hatmiyah ad-Dawlah al-Islamiyah (t.tp.: t.p.), Cet. II, 2004.
- Radhi, Muhammad Muhsin, Hizb at-Tahrir Tsaqafatuhu wa Manhajuhu fi Iqamah Dawlah al-Khilafah al-Islamiyah (Baghdad: t.p.), 2006.
Posting Komentar untuk " Thalabun-Nushrah: Kunci Perubahan"