Anomali ‘Cuaca’ Perang Terhadap Narkoba


Oleh : Umar SyarifudinDirektur Pusat Kajian Data dan Analisis

Perang Boxer di Cina merupakan contoh nyata, sesuai isyarat Lin, Komisaris Lin Tse-Hsu diperintah oleh Kaisar guna memusnahkan candu ilegal di Guangzhou, menyatakan bahwa penduduk atau rakyat dikondisikan tak punya semangat juang, lemah daya tempurnya serta tak memiliki daya lawan atas penjajahan di negeri sendiri. Salah satu inti dan substansi statement Lin yang dijadikan acuan dalam Perang Panah ialah bahwa konsumsi opium selain akan menghabiskan kekayaan negara, juga membuat tak satupun lelaki mampu bertempur di medan perang.

Sebagaimana yang dilansir republika.co.id (29/7), Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN) Komjen Pol Budi Waseso menegaskan pihaknya akan memberikan saksi tegas kepada oknum petugas BNN yang terbukti membantu Freddy Budiman dalam melancarkan bisnis narkoba di Indonesia.

Hal itu diungkapkan Budi Waseso menyusul beredarnya pesan singkat yang mengatasnamakan aktivis KontraS, Harris Azhar, perihal pengakuan tereksekusi mati Freddy Budiman. Dalam tulisannya yang berjudul "Cerita Busuk dari Seorang Bandit" menyebutkan bahwa pejabat BNN menyalahgunakan kewenangan dan jabatannya guna membantu Freddy Budiman dalam melancarkan bisnis Narkoba. "Jika terbukti, maka BNN akan memberikan sanksi tegas dan keras sesuai dengan aturan hukum yang berlaku," ujarnya dalam keterangan tertulisnya, Jumat (29/7).

Diketahui, pasca telah diekskusinya empat terpidana mati yakni Freddy Budiman, Seck Osmane, Michael Titus dan Humprey Ejike pada Jumat (29/7) dini hari, beredar tulisan pengakuan dari Haris Azhar terkait Freddy Budiman. Dalam tulisan tersebut, diceritakan pengakuan sepak terjang Freddy Budiman selama menjadi bandar peredaran Narkoba. 

Namun yang menarik dalam cerita tersebut, Freddy memberikan pengakuan bahwa selama menyelundupkan Narkoba ke Indonesia, ia sudah menyetorkan uang sebesar Rp 450 miliar ke BNN dan Rp 90 miliar ke pejabat di Mabes Polri untuk memuluskan Narkoba di Indonesia. Selain itu, pengakuan Freddy oknum petugas dari BNN juga meminta agar pihak Lapas Nusakambangan mencopot kamera pengawas CCTV untuk mempermudah Freddy mengendalikan bisnis peredaran narkoba dari Lapas.

Baik, Sekarang Bicara Keadilan…

Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN) Budi Waseso (Buwas) mengatakan, saat ini narkotika dan obat-obatan terlarang (narkoba) yang masuk ke Indonesia jumlahnya sudah dalam ukuran ton. "Barang narkoba yang masuk jumlahnya sudah dalam ukuran ton. Dari hasil penelusuran yang jelas informasi didapatkan dari data intelijen yang kami terima," kata Budi Waseso berdasarkan pemberitaan politikindonesia.com (28/05).

"Penjara Penuh Napi Narkoba", tulis Harian Kompas sebagai headlinenya (26/4) menginformasikan data per 25/4/2016, jumlah tahanan dan narapidana  tercatat 187.701 penghuni; 17.827 karena kasus kekerasan kepada anak dan 29.552 kasus pencurian, tapi kasus narkoba tembus angka 81.360.  

Korban narkoba, yang 2015 saja menembus angka 4.5 juta orang dengan belanja narkoba Rp 63 T. dengan kenyataan yang ada, penulis mengharapkan kepada pemerintah dan aparat hukum (polisi, kejaksaan, dan pengadilan) hendaknya ‘satu hati’ dalam memberantas peredaran narkoba di Republik Indonesia ini. Jika tidak, pelaku narkoba tidak pernah jera, bahkan cenderung bermunculan pemain baru. Ini akibat rendahnya tuntutan terhadap pelaku dan tidak ketatnya pengawasan peredaran narkoba. Padahal tindakan mereka telah merugikan masyarakat luas, khususnya generasi muda bangsa ini.

Bila ada satu saja warga negara menjadi korban sehingga ia tak bisa memastikan masa depannya, itu adalah dosa konstitusi kita. Negara harus melindungi warga negaranya dari ancaman narkoba yang sedah menembus benteng-benteng pertahanan terakhir kita. Sekali lagi rakyat tak boleh kalah.

Peringanan hukuman bagi pecandu, pengedar bahkan bandar narkoba sering menggunakan dalih kemanusiaan. Hakim MA dalam membatalkan vonis mati dua gembong narkoba beralasan bahwa hukuman mati bertentangan hak hidup yang dijamin oleh UUD 1945 Pasal 28 dan melanggar HAM. Sementara itu sejumlah LSM yang menolak vonis hukuman mati beralasan bahwa vonis hukuman mati terbukti tidak menyurutkan angka kejahatan narkoba.

Semua itu bertentangan dengan prinsip keadilan. Seorang pecandu narkoba jelas berbuat kriminal. Sebab dengan sadar ia membeli, memiliki dan menggunakan narkoba, bukan karena dipaksa. Jika ia mengkonsumi narkoba karena diancam akan dibunuh atau dianiaya pantas bila dikatakan sebagai korban. Selain itu pecandu atau pengkonsumsi narkoba tak jarang juga mengajak atau mempengaruhi orang lain untuk juga mengkonsumsinya, jelas berbahaya.

Alasan karena hak hidup juga dipaksakan. Bila pengedar dan bandar narkoba dilindungi hak hidupnya lalu bagaimana dengan hak hidup para korban yang tewas atau terkapar akibat narkoba yang mereka jajakan? Bagaimana pula dengan hak hidup masyarakat banyak yang setiap saat terancam oleh peredaran narkoba? Aneh hak hidup bandar narkoba yang telah turut berperan merampas hak hidup para korban narkoba dan mengancam hak hidup masyarakat banyak justru lebih diutamakan.

Anggapan bahwa vonis mati tidak memberikan efek jera tidak didukung bukti. Justru fakta yang ada, hukuman  sekadar penjara beberapa tahun jelas tidak ampuh sama sekali. Malah, di penjara pun mereka bisa mengendalikan peredaran narkoba. Terlebih lagi vonis mati yang sudah dijatuhkan ternyata hampir belum ada yang dieksekusi. Saat ini masih ada 50 terpidana mati kasus narkoba yang belum dilaksanakan. Disamping, kalaupun dilaksanakan, masyarakat tidak pernah mengetahuinya. Wajar saja efek jeranya belum terasa, sebab memang belum dilakukan.

Mau dibawa Kemana (Generasi) Indonesia?

Menurut studi yang dilakukan oleh Peter Dale Scott, perdagangan narkoba di kawasan ini pada era Perang Dingin, juga mendapat dukungan dari para operator intelijen Amerika Serikat CIA. Di Burma Myanmar misalnya, akibat campur tangan CIA tahun 1950 mampu meningkatkan produksi narkoba dari 40 ton (1939) menjadi 600 ton (1970). Di Thailand pun demikian, dari sebelumnya hanya 7 ton (1939) naik menjadi 200 ton (1968). Luar biasa! Di Laos tidak mau ketinggalan, dari produksi 15 ton tahun 1939 menjadi 50 ton pada tahun 1973. 

Tesis Scott sebenarnya bisa diambil asumsi lagi, bahwa Perang Candu sebagai modus penjajahan diyakini akan senantiasa melekat dalam ragam dan bentuk kolonialisme yang dikembangkan oleh AS dan sekutu di berbagai negara. Ini yang mutlak diwaspadai. Satu hal lagi yang perlu diwaspadai, dalam perspektif kolonialisme, Perang Opium bukan sekedar alternatif strategi tapi merupakan strategi inti. Artinya entah hard power (aksi-aksi militer) ataupun smart power (gerakan asimetris/non militer), bahkan Perang Candu itu sendiri dapat berjalan masing-masing, serentak, atau bergantian dengan intensitas berbeda.

Studi kasus, saat Amerika di bawah kepresidenan George W Bush menginvasi Afghanistan dengan dalih Taliban dan al Qaeda telah terlibat dalam aksi terror pemboman gedung World Trade Center dan Pentagon pada September 2001. Ketika AS menginvasi Afghanistan, sebenarnya Pentagon punya daftar 25 laboratorium dan gudang obat bius, tetapi ia menolak menghancurkan gudang-gudang tersebut dengan alasan milik CIA dan sekutu lokalnya. Bahkan James Risen mencatat, penolakan untuk menghancurkan laboratorium narkoba justru dari pentolan Neo-Konservatif yang menguasai birokrasi Keamanan Nasional di AS seperti Douglas Feith, Paul Wolfowitz, Zalmay Khalilzad, dan sang patron Donald Rumsfeld. Berarti, peredaran dan penjualan narkoba bukan saja didukung oleh eselon puncak pemerintahan Bush di Gedung Putih, melainkan telah menjadi bagian integral dari strategi pelumpuhan Afghanistan dari dalam negeri.

Tak heran ketika itu muncul berbagai pemberitaan mengenai meningkatnya produksi obat-obatan terlarang seperti Narkotika dan Opium di Afghanistan. Mari kita lihat fakta-fakta berikut ini. Kala pasukan multinasional pimpinan Bush Jr menyerbu Afghanistan (2001) berdalih menumpas al-Qaeda dan terorisme pasca WTC, produksi opium seketika meningkat dari 165.000 ton (2006) menjadi 193.000 ton (2007). Kendati dekade 2008-an terdapat penurunan sekitar 157.000 ton semata-mata karena over produksi, barang tidak terserap oleh pasar.

Fakta-fakta ini dengan jelas menggambarkan bahwa sejak Perang Dunia II usai dan Perang dingin antara Kapitalis Liberal versus Komunis semakin memanas, CIA menggunakan para pedagang narkoba sebagai aset dalam berbagai operasi terselubung di berbagai negara. Artinya selain melindungi para pengedar dari jerat hukum, ada kecenderungan produksi dan arus perdagangan narkoba malah meningkat ketika Amerika meningkatnya intervensinya di negara-negara target. Sebaliknya bila ia menurunkan intervensinya maka perdagangan dan  produksi narkoba pun menurun.

Secercah Solusi…Go!

Ketika syariat Islam diterapkan, maka peluang penyalahgunaan akan tertutup. Landasan akidah Islam mewajibkan negara membina ketakwaan warganya. Ketakwaan yang terwujud itu akan mencegah seseorang terjerumus dalam kejahatan narkoba. Disamping itu, alasan ekonomi untuk terlibat kejahatan narkoba juga tidak akan muncul. Sebab pemenuhan kebutuhan pokok setiap individu rakyat (papan, pangan dan sandang) dan kebutuhan dasar masyarakat (pendidikan, layanan kesehatan dan keamanan) akan dijamin oleh negara. Setiap orang juga memiliki kemungkinan untuk memenuhi kebutuhan sekundernya sesuai kemampuan masing-masing.

Secara hukum, dalam syariah Islam narkoba adalah haram. Ummu Salamah ra menuturkan:

« نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ كُلِّ مُسْكِرٍ وَمُفَتِّرٍ»

Rasulullah saw melarang setiap zat yang memabukkan dan menenangkan (HR Abu Dawud dan Ahmad)

Mufattir adalah setiap zat relaksan atau zat penenang, yaitu yang kita kenal sebagai obat psikotropika dan narkoba. Al-‘Iraqi dan Ibn Taymiyah menukilkan adanya kesepakatan (ijmak) akan keharaman candu/ganja (lihat, Subulus Salam, iv/39, Dar Ihya’ Turats al-‘Arabi. 1379).

Sebagai zat haram, siapa saja yang mengkonsumsi, mengedarkan dan memproduksinya berarti telah melakukan jarîmah (tindakan kriminal) yang termasuk sanksi ta’zir. Pelakunya layak dijatuhi sanksi dimana bentuk, jenis dan kadar sanksi itu diserahkan kepada ijtihad Khalifah atau Qadhi, bisa sanksi diekspos, penjara, denda, jilid bahkan sampai hukuman mati dengan melihat tingkat kejahatan dan bahayanya bagi masyarakat.

Terhadap pengguna narkoba yang baru sekali, selain harus diobati/direhabilitasi oleh negara secara gratis, mungkin cukup dijatuhi sanksi ringan. Jika berulang-ulang (pecandu) sanksinya bisa lebih berat. Terhadap pengedar tentu tak layak dijatuhi sanksi hukum yang ringan atau diberi keringanan. Sebab selain melakukan kejahatan narkoba mereka juga membahayakan masyarakat. Gembong narkoba (produsen atau pengedar besar) sangat membahayakan masyarakat sehingga layak dijatuhi hukuman berat bahkan sampai hukuman mati.

Mustahil mewujudkan masyarakat bersih dari narkoba dalam sistem demokrasi transaksional sekarang ini. Hal itu hanya bisa diwujudkan melalui penerapan syariat Islam secara total dengan segenap kesungguhan untuk mewujudkannya. [VM]

Posting Komentar untuk "Anomali ‘Cuaca’ Perang Terhadap Narkoba "