Di Bawah Cengkraman Demokrasi : Masalah Tambah Ruwet


Oleh : Mahfud Abdullah – (Syabab HTI Kota Kediri)

Persoalan rakyat Indonesia makin hari makin menumpuk. Masalah ekonomi, pendidikan, kesehatan, penegakan hokum, korupsi, kriminalitas, dan lain sebagainya. Sejak kemerdekaan hingga lebih dari enam dekade, sekularisme mengatur Indonesia. Rakyat Indonesia terus-menerus hidup dalam berbagai krisis yang tidak berkesudahan. Kondisi ini tidak akan berubah jika Indonesia tetap mempertahankan sistem sekular. Sistem ini dalam bentuk diktatorianisme maupun demokrasi pasti gagal membawa kesejahteraan.

 Lebih dari setengah abad Indonesia merdeka dari penjajahan fisik. Namun, hingga kini mayoritas rakyatnya tidak hidup dalam kebaikan; kebanyakan mereka miskin, bodoh, dan teraniaya. Padahal negeri dengan populasi jumlah penduduk terbesar nomer empat di dunia (setelah Cina, India dan AS) ini memiliki potensi sumberdaya pertanian dan kekayaan mineral yang sangat melimpah.

Jika ditelaah secara jernih, semua persoalan yang tengah dihadapi Indonesia dan belahan Dunia Islam lainnya berpangkal pada penerapan sistem sekular-kapitalis dan tidak adanya kedaulatan syariah. Dengan kata lain, sistem Islam tidak diterapkan di tengah-tengah masyarakat. Inilah akar berbagai persoalan ikutan seperti kemiskinan, kebodohan, korupsi, kerusakan moral, kezaliman, disintegrasi serta penjajahan dalam segala bentuknya.

William Blum, penulis buku America’s Deadliest Export Democracy menyebut demokrasi adalah alat dominasi Amerika Serikat atas seluruh dunia. Menurutnya, demokrasi merupakan alat untuk menguasai dunia demi kepentingan ekonomi dan ideologi. Kata Blum, tidak ada hal yang lebih mereka sukai selain menciptakan ulang dunia sesuai dengan imaji Amerika, dengan perusahaan bebas, ‘individualisme’, apa yang disebut dengan ‘nilai-nilai Yahudi-Kristen’, dan hal-hal lain yang mereka sebut sebagai ‘demokrasi’ sebagai unsur utamanya.

Dalam menyorot problem ekonomi, selama ini malah usaha milik orang asing yang ditumbuhkan Pemerintah, bukan usaha dalam negeri; bukan pula usaha yang digeluti oleh sebagian besar masyarakat, tetapi usaha yang digeluti oleh para konglomerat.

Kalau kita menggunakan indikator makroekonomi yang diklaim Pemerintah sebagai keberhasilan perekonomian Indonesia, maka selama tahun lalu memang mengesankan. Begitu pula, semakin meningkatnya pendapatan perkapita Indonesia tidak menunjukkan bahwa penghasilan setiap warga negara Indonesia bertambah baik. Di dalam PDB terdapat milik orang asing yang konstribusinya cukup besar. Jadi, bagaimana mungkin PDB digunakan sebagai basis menghitung pendapatan perkapita warga negara Indonesia?

Pemerintah dan masyarakat harus menyadari bahwa kebijakan-kebijakan yang diterapkan di bidang ekonomi selama ini semakin kapitalistik. Faktanya, ia tidak memberikan kemaslahatan bagi masyarakat, tetapi penderitaan  yang berkepanjangan bagi mereka. 

Perekonomian seharusnya tegak berdiri di atas sektor real, bukan sektor nonreal. Sektor real yang dimaksud di sini adalah usaha produksi, perdagangan, dan jasa yang sesuai dengan syariah, bukan yang sesuai dengan hukum buatan manusia seperti Kapitalisme.

Selain itu, kewenangan presiden dalam sistem demokrasi sesungguhnya amat terbatas. Dengan sistem pemerintahan yang berbentuk trias politika, pemerintah harus berbagi wewenang dengan lembaga lain seperti legislatif dan yudikatif, termasuk lembaga independen lainnya seperti bank sentral dan otoritas jasa keuangan. Di bidang fiskal, Pemerintah harus tunduk pada otoritas Legislatif dalam menetapkan APBN yang disusun Pemerintah. Keberadaan partai oposisi juga kerap menjadi ‘batu sandungan’ Pemerintah dalam mengimplementasikan kebijakan-kebijakannya. Akibatnya, tawar-menawar politik antara Pemerintah dan anggota DPR tidak dapat dihindarkan. Alokasi anggaran tidak lagi disusun murni berdasarkan kepentingan rakyat, namun lebih mengakomo-dasi kepentingan elit-elit politik. Lebih dari itu, format APBN yang selama ini menjadi acuan seperti pendapatan yang mengandalkan pajak dan pembiayaan defisit melalui utang dan obligasi tetap akan berlangsung.

Di bidang moneter, kendali sepenuhnya berada di tangan Bank Indonesia. Kebijakan-kebijakan bank sentral dalam mengontrol nilai tukar rupiah melalui rezim nilai tukar mengambang dan mengendalikan inflasi melalui penetapan BI rate juga tidak akan berubah. Demikian pula dengan kebijakan di sektor keuangan seperti perbankan, pasar modal dan asuransi yang dikendalikan oleh Otoritas Jasa Keuangan. Dengan demikian Presiden mendatang juga tidak memiliki kemampuan untuk mengintervensi sektor tesebut seperti mengontrol suku bunga kredit atau membatasi arus investasi asing di pasar saham. Walhasil, pergantian presiden tidak akan menghilangkan potensi krisis moneter dan finansial khususnya jika terjadi gejolak eksternal.

Agar Indonesia maju, bagi umat Islam tidak ada pilihan kecuali kembali pada rahasianya, yaitu penerapan sistem (syariah) Islam secara kâffah. Islam harus menjadi ideologi yang melandasi semua bentuk interaksi kehidupan sosial, baik dalam negeri maupun luar negeri. Syariah Islam telah menyiapkan negara dengan ditopang oleh sejumlah struktur yang diperlukan, di antaranya adanya khalifah (kepala negara), para mu’âwin (pembantu khalifah), para wali (kepala daerah), hingga para qâdhi (hakim), petugas administrasi dan majelis umat.

Dalam sistem ekonomi Islam, terdapat berbagai ketentuan syariah yang berkaitan dengan tanah, kepemilikan, industri, perdagangan dalam dan luar negeri dan sistem lainya. Semua itu menjadi perangkat penting untuk menjamin terciptanya kemakmuran dan kesejahteraan.

Lalu terkait dengan politik luar negeri, ada ketentuan syariah mengenai kewajiban untuk membangun tentara yang kuat, bukan berdasarkan konsep tipuan Barat, yakni “minimum deterrence” (pertahanan minimal). Konsep ini hanyalah dimaksudkan untuk mematikan kekuatan militer Dunia Ketiga, khususnya Dunia Islam, dan demi melanggengkan kekuasan Barat atas negeri-negeri jajahannya.

Islam, dengan seperangkat konsepnya yang lengkap dan mudah diterapkan, akan menjadikan Indonesia berdaulat atas seluruh kekayaan dan potensi melimpah yang dimilikinya. Dengan menerapkan syariah Islam, Indonesia tidak akan menjadi negara yang mengabdi pada kepentingan asing, mengatur rakyatnya dengan undang-undang ataupun konsensus pihak asing (misal: Konsensus Washington) yang liberal dan menjadikan rakyat “kere” di negerinya sendiri yang subur, persis seperti pepatah: seperti unta yang mati karena kehausan, padahal ia memikul air di punggungnya. [VM]

Posting Komentar untuk "Di Bawah Cengkraman Demokrasi : Masalah Tambah Ruwet "