Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Trump dan Cacat Demokrasi


Oleh : Retno Esthi Utami 
(MHTI Kab. Kediri)

“Dalam kebijakan politik, di bawah kepemimpinan Trump, Pemerintah AS juga tidak akan keluar dari khittah politik luar negeri. Mereka akan tetap menjaga dominasinya atas berbagai wilayah di dunia ini untuk kepentingan politik dan ekonomi AS. Jadi, Trump tidak akan berbeda dengan presiden sebelumnya. Pemerintah AS selalu berupaya melebarkan sayap mereka ke negara-negara lain. Dengan cara itulah, negara AS selalu mencari cara untuk mempertahankan dominasi di dunia dan terus melanjutkan agenda eksploitasi kapitalisnya.” Papar Ustadz Umar Syarifudin Lajnah Siyasiyah DPD HTI Jatim 

Amerika Serikat sebagai negeri kampiun demokrasi baru saja menghelat acara besar tanggal 8 November 2016 lalu. Pesta demokrasi ini menentukan siapa yang akan menjadi orang nomer satu  di Amerika Serikat selama empat tahun kedepan. Secara mengejutkan Donald Trump, kandidat dari Partai Republik terpilih menjadi Presiden Amerika Serikat mengalahkan calon dari Partai Demokrat, kandidat populer serta berpengalaman dalam dunia perpolitikan, Hillary Clinton.

Kemenangan Trump ini langsung memunculkan ketakutan dari dalam negeri mereka sendiri ataupun dari dunia internasional, terlebih dari kalangan kaum Muslimin. Dari beberapa slogan yang dilontarkan Trump pada masa kampanye, sebagian besar adalah hate speech, misalnya pelarangan warga muslim untuk masuk ke Amerika Serikat, juga adanya janji akan diberlakukannya ‘pemeriksaan ekstrim’ kepada para imigran dari negara-negara muslim, juga menghina imigran dari Meksiko sebagai kriminal dan lain sebagainya. Dengan slogan-slogan hate speech di masa kampanye ini secara tidak langsung meningkatkan angka kekerasan terhadap kaum muslimin yang tinggal di Amerika Serikat. Dan sepertinya hal itu tidak akan banyak berubah selepas terpilihnya Trump, walaupun dalam pidato kemenangannya Trump memberikan statement, ”Saya berjanji pada seluruh warga di tanah air ini bahwa saya akan menjadi presiden untuk seluruh rakyat Amerika. Seluruh ras, agama, latar belakang dan keyakinan.”

Sementara di dalam negeri Amerika Serikat, demo Anti-Trump masih terus berlangsung. Mulai dari New York, San Dioego, Miami, San Fransisco dan beberapa kota lain turut dalam aksi anti-Trump ini. Bahkan di beberapa daerah diwarnai aksi kekerasan. Poster-poster pada aksi anti Trump tersebut banyak yang bertuliskan Not My President (Bukan Presidenku), Dump Trump (Singkirkan Trump). Slogan-slogan ini menunjukkan gambaran kemarahan warga Amerika Serikat akan fakta terpilihnya Donald Trump sebagai presiden mereka.

Mengapa bisa terjadi aksi anti Trump di negara pengusung demokrasi ini? Bukankah semua mekanisme dari demokrasi telah dijalankan pada pemilihan presiden? Terpilihnya Trump juga menggunakan sistem yang sama, dengan demokrasi. Dimana demokrasi menyandarkan bahwa suara rakyat adalah Suara Tuhan. Apakah suara rakyat kini bukan lagi suara Tuhan sebagaimana didengung-dengungkan oleh pemuja sistem ini? Dr. Ahmad Sahide menulis, bahwa mereka tidak menerima hasil pemilihan yang demokratis itu menunjukkan adanya protes terhadap ‘suara Tuhan’ dan ini menjadi catatan tersendiri akan adanya cacat dari demokrasi Amerika yang terkenal sebagai negara kampiun demokrasi tersebut. Negara yang selama ini aktif mengajari dunia internasional untuk kehidupan yang demokratis. Demokrasi diyakini sebagai momentum bagi partisipasi rakyat untuk memilihi pemimpin terbaik.

Sepertinya masyarakat Amerika Serikat lupa, bahwa di dalam sistem Demokrasi siapapun dapat mengajukan diri sebagai seorang pemimpin. Tidak peduli siapa dia, bagaimana sikap perilaku dan moralnya, layak atau tidaknya dia dalam memimpin. Apalagi jika sang tokoh ini mendapatkan atau bahkan memiliki sokongan dana yang sangat besar. Maka kemenangannya tentu akan lebih mudah lagi. Fakta ini yang mungkin baru disadari oleh masyarakat Amerika Serikat. [VM]

Posting Komentar untuk "Trump dan Cacat Demokrasi"

close