Tangerang Raya 2030 Terancam Tenggelam: Tanda Murkanya Alam?

Oleh: Nur Saleha, S.Pd (Pendidik dan Pemerhati Remaja)

Alam Semakin Murka: Ancaman Tenggelamnya Tangerang Raya

Tangerang Raya, wilayah padat penduduk yang terdiri dari Kota Tangerang, Kota Tangerang Selatan, dan Kabupaten Tangerang, kini menghadapi ancaman besar: tenggelam pada tahun 2030. Ancaman ini bukan isapan jempol belaka. Menurut laporan aktivis lingkungan dalam *Tangerang Pos*, permasalahan lingkungan di wilayah ini sudah masuk kategori darurat. Mereka mendesak pengembalian zona hijau, normalisasi sungai, serta revitalisasi danau atau situ sebagai langkah penyelamatan. Namun, akankah semua itu cukup jika sistem yang menjadi akar masalahnya masih tetap dipertahankan? ( tangerangpos.id, 7 April 2024)

Krisis ini disebabkan oleh urbanisasi tanpa kendali, alih fungsi lahan hijau, pembangunan properti yang mengabaikan daya dukung lingkungan, serta sistem drainase dan tata air yang buruk. Ancaman tenggelam bukan hanya bencana alam, tapi juga bencana buatan manusia. Sayangnya, penyelesaiannya masih bersifat tambal sulam. Padahal, masalah sistemik seperti ini butuh pendekatan yang lebih menyeluruh dan menyentuh akar peradaban.

Akar Krisis: Kapitalisme dan Tata Kelola Lingkungan yang Gagal

Kondisi Tangerang Raya mencerminkan betapa buruknya tata kelola lingkungan dalam sistem kapitalisme. Hutan dan sawah dikorbankan demi proyek apartemen dan kawasan industri. Sungai-sungai dijadikan saluran limbah, dan situ-situ yang dahulu menjadi penampung air, kini berubah menjadi perumahan elit. Semua ini dilakukan demi pertumbuhan ekonomi yang semu, tanpa memperhatikan dampaknya terhadap generasi mendatang.

Data dari WALHI menyebutkan bahwa lebih dari 60% kawasan resapan air di Jabodetabek, termasuk Tangerang, sudah hilang karena alih fungsi lahan. Ini memperparah potensi banjir dan menyebabkan penurunan permukaan tanah. Bahkan, Badan Informasi Geospasial (BIG) menyatakan bahwa sebagian wilayah Tangerang mengalami penurunan permukaan tanah hingga 6 cm per tahun. (WALHI, “Krisis Lingkungan dan Hilangnya Resapan Air di Jabodetabek”, 2023)

Dalam sistem kapitalisme, pembangunan diukur dari seberapa banyak proyek yang bisa menghasilkan keuntungan. Tak ada pertimbangan keadilan ekologis. Pemerintah daerah pun seringkali tersandera kepentingan investor. Akibatnya, kebijakan lingkungan menjadi lemah, lambat, bahkan tumpul di hadapan kepentingan pemodal.

Solusi Islam: Tata Kelola Alam dalam Naungan Khilafah

Sejarah membuktikan bahwa Islam bukan hanya agama yang mengatur ibadah, tapi juga mengajarkan prinsip tata kelola lingkungan hidup yang adil dan berkelanjutan. Dalam sistem Khilafah Islam, alam diposisikan sebagai amanah dari Allah yang harus dijaga dan dimanfaatkan dengan bijak.

Islam menegaskan pentingnya menjaga zona hijau dan resapan air. Dalam *kitab Al-Amwal fi Dawlatil Khilafah*, disebutkan bahwa negara wajib memastikan fungsi tanah berjalan sesuai peruntukannya. Tanah pertanian tak boleh dialihfungsikan sembarangan. Sungai dan danau dipelihara dan dilarang dijadikan tempat pembuangan limbah.

Rasulullah SAW bersabda, “Kaum muslimin berserikat dalam tiga hal: air, padang rumput, dan api” (HR Abu Dawud). Ini menegaskan bahwa air dan lingkungan adalah milik umum yang tak boleh dimonopoli atau dirusak oleh segelintir orang demi keuntungan pribadi.

Dalam Khilafah, negara akan:

1. Melarang pengalihfungsian lahan hijau tanpa maslahat syar’i.

2. Membangun sistem drainase dan kanal air berbasis perencanaan ekologis jangka panjang.

3. Menghidupkan kembali fungsi situ dan hutan kota sebagai kawasan publik.

4. Mengedukasi masyarakat bahwa menjaga alam adalah bagian dari iman.

Dengan pendekatan sistemik seperti ini, kota seperti Tangerang bisa dibangun tanpa harus mengorbankan masa depan. Islam menyeimbangkan antara pembangunan dan keberlanjutan.

Saatnya Umat Sadar: Ganti Sistem, Selamatkan Masa Depan

Tangerang Raya tak sendiri. Banyak kota besar di Indonesia mengalami masalah yang sama. Selama sistem kapitalisme masih menjadi pondasi pembangunan, bencana ekologis akan terus mengintai. Umat Islam perlu membuka mata dan menyadari bahwa solusi tambal sulam tidak akan menyelamatkan generasi mendatang.

Solusi sejati adalah kembali pada Islam secara kaffah—bukan hanya dalam ibadah, tapi juga dalam tata kelola lingkungan dan pembangunan. Khilafah bukan sekadar sistem politik, tapi jalan hidup yang menjamin keharmonisan antara manusia dan alam. Ini bukan mimpi utopis, tapi visi realistis yang telah terbukti selama lebih dari 13 abad dalam sejarah peradaban Islam.

Saatnya umat memperjuangkan sistem alternatif yang menempatkan manusia sebagai hamba Allah dan khalifah di bumi, bukan sebagai perusak. Bukan hanya demi Tangerang, tapi demi seluruh bumi warisan anak cucu kita.

Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan perbuatan tangan manusia…” (QS. Ar-Rum: 41)

Posting Komentar untuk "Tangerang Raya 2030 Terancam Tenggelam: Tanda Murkanya Alam?"