#KaburAjaDulu, Kekecewaan Generasi Terhadap Persoalan Negeri

 



Oleh: Ummu Rufaida ALB (Kontributor Media Suara Inqilaby)


Sebulan terakhir ramai #KaburAjaDulu di sejumlah sosial media terutama X. Tagar ini sebagai ungkapan keresahan hati netizen serta ajakan pindah ke negara lain, baik melalui beasiswa pendidikan, magang, lowongan pekerjaan dan lainnya. Tagar ini dicuitkan oleh generasi muda yang mayoritas berusia 19-29 tahun serta dibawah 18 tahun.

Mereka mengeluhkan tentang buruknya kondisi kehidupan di Indonesia, seperti sulitnya mencari pekerjaan, sulit memperoleh pendidikan yang tinggi, upah rendah, korupsi, kebijakan pemerintah dan lain-lain. Biaya pendidikan tinggi yang mahal, sementara upah kerja rendah, membuat tawaran kerja di luar negeri dengan upah tinggi terasa lebih menggiurkan. Akibatnya, keinginan untuk kabur ke negara maju menjadi sebuah alternatif.

Tagar ini menunjukkan kenyataan bahwa generasi muda banyak yang ingin meninggalkan Indonesia ke luar negeri agar kehidupannya lebih layak dan sejahtera. Bahkan banyak yang sudah menetap di luar negeri tanpa berniat untuk kembali. Artinya mereka memandang bahwa pemerintah Indonesia tidak mampu mewujudkan pendidikan berkualitas, lapangan pekerjaan yang memadai serta jaminan kualitas hidup.

Selain itu, melansir dari laman www.beautynesia.id (05/02/2025) #KaburAjaDulu tentu berkaitan dengan fenomena brain drain yang telah lama terjadi di Indonesia. Brain drain atau human capital flight adalah fenomena orang pintar dan berbakat memilih bekerja di luar negeri, hal ini biasa terjadi di negara berkembang. Alasannya untuk mencari keuntungan yang lebih tinggi di negara lain, standar dan kehidupan yang lebih baik hingga karena ketidakstabilan politik hingga penyimpangan norma dan agama.

Bahkan melansir dari laman www.kompas.com (05/02/2025), tagar ini sekilas hanya seperti tagar biasa namun kenyataannya banyak warga Indonesia yang benar-benar ingin pindah ke luar negeri. Terlihat dari data, lebih dari 100.000 orang tercatat mengikuti acara Study and Work Abroad Festival Juli-Agustus 2024, yang memberi informasi beasiswa ke luar negeri. Disisi lain, data Direktorat Jenderal Imigrasi Kemenkumham menunjukkan sebanyak 3.912 WNI usia 25-35 tahun memilih menjadi warga negera Singapura pada 2019-2022.

Indonesia sebagai negera berkembang tentu harus berupaya mewujudkan kesejahteraan bagi semua warga. Namun, sistem kapitalisme yang diterapkan di Indonesia justru memberikan kebebasan kepemilikan SDA sehingga kekayaan negara hanya dinikmati oleh para pemilik modal. Wajar jika akhirnya kesenjangan ekonomi semakin menganga antara orang kaya dan orang miskin.

Akibatnya negara tidak mampu menyediakan lapangan kerja di dalam negeri sehingga pengangguran melanda generasi muda. Jika pun bekerja, nyatanya upah yang diberikan rendah dan tidak cukup untuk membiayai hidup layak. Kondisi ini tentu mencerminkan gagalnya negara dalam kebijakan politik ekonomi di dalam negeri guna mewujudkan kesejahteraan hidup bagi setiap warga.

Disisi lain, warga Indonesia yang “kabur” ke luar negeri sangat menyadari biaya hidup serta pajak disana jauh lebih tinggi daripada di Indonesia. Namun, tinggal di negara maju tetap dirasa lebih dihargai, lebih layak serta lebih menyejahterakan sehingga mereka tetap bertahan disana bahkan enggan kembali. Jika pemerintah abai, tentu SDM unggul akan hilang dan hal ini akan sangat merugikan negara. Jadi, yang siapa sebenarnya yang menikmati bonus demografi Indonesia?

Kesenjangan ekonomi merupakan dampak logis diterapkannya sistem ekonomi kapitalisme sekular. Sangat berbeda dengan konsep ekonomi dalam pemerintahan Islam. Negara Islam memandang pemimpin adalah rain (pengurus) urusan rakyat, maka negara tidak boleh abai terhadap kebutuhan rakyatnya. Negara wajib memberi kesejahteraan berupa terpenuhinya kebutuhan pokok berupa sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan dan keamanan setiap rakyat. Ini merupakan realisasi politik ekonomi Islam.

Untuk mewujudkannya, negara yang berasaskan akidah Islam ini, akan melakukan beberapa mekanisme. Pertama, negara akan mengelola SDA milik umum seperti, tambang, minyak bumi, batu bara, laut, sungai, hutan, gunung dan lainnya. Jika negara langsung yang mengelola tentu akan sangat menguntungkan negara serta akan memberi ruang bagi generasi untuk berkontribusi memajukan negara. Hasil pengelolaan SDA akan dikembalikan kepada rakyat, baik berupa produk (BBM, gas, dan lain-lain) maupun layanan publik.

Kedua, negara akan membuka lapangan kerja selebar-lebarnya untuk setiap laki-laki, mengingat mereka yang wajib menanggung nafkah keluarga. Ketiga, negara akan mendukung industri dalam negeri dengan melakukan industrialisasi serta membebaskan pengusaha dari pungutan yang tidak syar’i. Negara juga tidak akan melakukan impor jika diduga akan membawa darar bagi industry dalam negeri.

Semua ini, Insya Allah, akan menyejahterakan rakyat. Jadi generasi muda tak perlu kabur hanya untuk mendapatkan fasilitas serta layanan yang berkualitas dengan biaya murah bahkan gratis. Negara juga akan menyediakan pendidikan berkualitas dan kesehatan secara gratis sehingga pendidikan bisa diakses oleh setiap rakyat dengan mudah.

Oleh karenanya, mari berupaya mewujudkan kembali kehidupan Islam dalam naungan institusi khilafah agar generasi muda betah di negeri sendiri sehingga tak perlu #KaburAjaDulu ke negara tetangga.


Posting Komentar untuk "#KaburAjaDulu, Kekecewaan Generasi Terhadap Persoalan Negeri"