Khilafah
adalah negara kaum Muslim di seluruh dunia. Umat Islam, dengan berbagai
suku, bangsa dan bahasa pun hidup di dalamnya sebagai satu umat, satu
agama dan satu bendera. Mereka hidup selama 14 abad dalam satu negara
yang dipimpin oleh seorang Khalifah. Kondisi mereka memang mengalami
pasang surut, seiring dengan maju dan mundurnya taraf berpikir mereka.
Islam telah mengajarkan kesatuan dan persatuan di tengah-tengah kaum
Muslim. Karena itu, menjaga kesatuan dan persatuan ini pun hukumnya
wajib bagi mereka. Hukum ini pun termasuk perkara yang sudah ma’lûmun
min ad-dîn bi ad-dharûrah (diketahui urgensinya dalam ajaran Islam).
Allah berfirman, “Dan berpegang teguhlah kamu semuanya kepada tali
(agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai. Ingatlah akan nikmat
Allah kepadamu, ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan,
kemudian Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena
nikmat-Nya orang-orang yang bersaudara, dan (ingatlah ketika) kamu telah
berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu darinya.
Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat
petunjuk.” (Q.s. Ali ‘Imran [3]: 103)
Ayat ini bukan hanya
berisi perintah untuk menjaga kesatuan dan persatuan, tetapi juga
melarang bercerai berai. Menjaga kesatuan dan persatuan di sini bukan
hanya terkait dengan individu, tetapi juga kesatuan dan persatuan
wilayah. Ini ditegaskan oleh Nabi SAW, “Jika telah dibaiat dua khalifah,
maka bunuhlah yang terakhir di antara keduanya.” (HR. Muslim dari Abî
Sa’îd al-Khudrî, no 3444).
Satu Akidah, Satu UUD dan UU
Di satu sisi, Islam menjaga kesatuan dan persatuan, dan melarang
perpecahan, pada saat yang sama, Islam tidak mengacuhkan potensi
perbedaan dan perselisihan yang bisa menghancurkan kesatuan dan
persatuan. Karena itu, Islam menetapkan akidah Islam sebagai dasar
negara. Dari akidah Islam inilah, UUD dan UU yang digunakan untuk
menyelenggarakan negara dibangun.
Dalam penyusunan UUD dan UU,
Islam menetapkan sebagai hak Khalifah. Hukum syara’ yang diadopsi oleh
Khalifah ini sekaligus untuk menghilangkan perselisihan yang berpotensi
merusak kesatuan dan persatuan. Kaidah fiqih menyatakan, “Perintah imam
(Khalifah) bisa menghilangkan perselisihan.” Karena itu, dengan adanya
tabanni Khalifah dalam penyusunan UUD dan UU ini, berarti potensi
perselisihan, akibat perbedaan pendapat, dengan sendirinya bisa
diselesaikan.
Selain itu, Islam juga menetapkan, “Jika kalian
berselisih dalam suatu perkara, maka kembalikanlah kepada Allah dan
Rasul.” (QS an-Nisa’ [4]: 59). Ketetapan ini berlaku, jika perselisihan
tersebut terjadi antara rakyat dengan Khalifah (negara), dan antara
rakyat dengan rakyat. Semuanya ini dikembalikan kepada Allah dan Rasul,
atau Alquran dan Sunnah. Teknisnya kembali kepada hukum syara’. Untuk
kembali kapada hukum syara’ membutuhkan institusi, yaitu mahkamah, baik
Khushûmât maupun Madzâlim.
Untuk menjaga keberlangsung dalam
pelaksanaan UUD dan UU agar tetap dalam rel syariah, maka Khalifah
dibaiat untuk menjalankan Kitab Allah dan Sunah Rasulullah (hukum
syara’). Inilah yang menjadi dasar ketaatan rakyat kepada Khalifah.
Ubadah bin Shamit menuturkan, “Kami dibaiat oleh Rasulullah untuk taat
dan mendengar (titah baginda)..” (HR Muslim). Nabi juga menegaskan,
“Tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam melakukan maksiat kepada Khaliq
(Allah).” (HR at-Tirmidzi dan Ahmad)
Larangan Bughat dan Merebut Kekuasaan
Persatuan dan kesatuan negara dijaga oleh Islam, antara lain, dengan
ditetapkannya larangan melakukan makar (bughat) dan memisahkan diri dari
kekhilafah. Nabi bersabda, “Siapa saja mencabut ketaatan (kepada
imam/khalifah), maka dia akan menghadap Allah tanpa hujah (yang bisa
mendukungnya).” (HR Muslim)
Bahkan, “Larangan merebut kekuasaan
dari pemangkunya” ini telah dijadikan syarat oleh Nabi dalam menerima
baiat kaum Muslim. Ubadah bin Shamit menuturkan, “Hendaknya kami tidak
merebut kekuasaan dari pemangkunya.” Kecuali, kata Nabi, “Jika kalian
menyaksikan kekufuran yang nyata, yang bisa kalian buktikan di hadapan
Allah.” (HR Muslim)
Jika larangan tersebut dilanggar, maka
Islam menetapkan sanksi yang tegas bagi siapa saja yang melakukan
tindakan makar terhadap negara (bughat). Al-Muhâmî al-‘Alim Syaikh
‘Abdurrahman al-Mâliki, dalam kitabnya Nidzâm al-‘Uqûbât, menjelaskan
bahwa sanksi bagi mereka adalah had. Sanksi had ahl al-baghy adalah
diperangi, sebagai pelajaran (qitâl ta’dîb) bagi mereka, bukan diperangi
untuk dihabisi (qitâl harb) (al-Mâliki, Nidzâm al-‘Uqûbât, hal. 79).
Jika mereka adalah non-Muslim (ahli dzimmah), maka mereka akan
diperangi untuk dihabisi (qitâl harb). Hukum memerangi mereka ini pun
statusnya sama dengan jihad fi sabilillah, karena kelompok yang
diperangi adalah orang-orang kafir, meski asalnya adalah ahli dzimmah.
Dengan tindakan mereka ini, dengan sendirinya, mereka juga telah
kehilangan dzimmah-nya dari kaum Muslim (negara Khilafah).
Qadhiyyah Mashîriyyah
Menjaga persatuan dan kesatuan Khilafah adalah kewajiban, dan
memisahkan diri dari Khilafah adalah keharaman yang telah dinyatakan
dengan tegas dalam Islam. Karena itu, tidak hanya sanksi yang tegas,
Islam bahkan menetapkan masalah ini sebagai qadhiyyah mashîriyyah bagi
negara dan kaum Muslim.
Qadhiyyah mashîriyyah yang dimaksud di
sini adalah permasalahan yang harus diselesaikan dengan taruhan hidup
dan mati (ijrâ’ al-hayâh aw al-maut). Inilah menjadi alasan terjadinya
Perang Shiffin, ketika Khalifah yang sah, yaitu Sayyidina ‘Ali ra
mengerahkan pasukannya untuk memerangi Mu’awiyah, yang ketika itu
berstatus sebagai Wali Syam.
Khalifah al-Mu’tashim, pada zaman
Khilafah Abbasiyyah, juga melakukan hal yang sama. Setelah menaklukkan
Amuriyah, al-Mu’tahsim mengerahkan pasukannya untuk memerangi
Abdurrahman ad-Dakhil di Spanyol. Karena dianggap memisahkan Spanyol ini
dari wilayah Khilafah Abbasiyyah.
Hanya saja, tindakan militer
dalam menjaga keutuhan wilayah Khilafah ini bukan satu-satunya tindakan
yang harus diambil oleh negara. Karena itu, Khalifah harus
memperhatikan aspek lain, yaitu pendekatan politik. Tindakan tegas
negara memang diperlukan, tetapi jika tidak disertai pendekatan politik,
maka justru yang terjadi bisa sebaliknya. Contohnya lepasnya wilayah
Balkan pada zaman Khilafah Utsmaniyyah.
Gerakan separatisme di
Balkan saat itu terjadi karena provokasi dari negara-negara kafir Eropa.
Menghadapi tindakan tersebut, Khilafah Utsmaniyyah menindaknya dengan
tindakan militer. Padahal, seharusnya saat itu negara bisa membongkar
rencana jahat kaum kafir terhadap penduduk setempat, dan
mempropagandakan bahasa separatisme kepada mereka. Menggunakan pengaruh
ahl al-halli wa al-‘aqdi setempat untuk memadamkan api separatisme.
Tetapi itu tidak dilakukan, karena lemahnya pemikiran penyelenggara
negara saat itu. Karena itu, begitu diambil tindakan militer, bukannya
api separatisme padam, justru semakin berkobar.
Hizbut Tahrir
mempunyai pengalaman, saat Yaman menghadapi skenario Amerika di tahun
1990-an. Ketika Amerika hendak memisahkan Yaman Utara dengan Selatan.
Saat itu, Hizbut Tahrir membongkar rencana jahat ini, dan menyerukan
kepada ahl al-halli wa al-‘aqdi setempat untuk memadamkan api ini.
Alhamdulillah, dengan izin dan pertolongan Allah, upaya itu berhasil.
Yaman pun tetap utuh hingga sekarang.
Pengalaman berbeda
terjadi di Sudan, ketika Sudah Selatan terus-menerus diprovokasi untuk
memisahkan diri dari Sudan. Meski berbagai upaya telah dilakukan oleh
Hizbut Tahrir di sana, tetapi mereka tidak hirau. Akhirnya terjadilah
apa yang terjadi, sebagaimana yang kita saksikan hari ini. Hal yang sama
juga terjadi di Indonesia, saat Timor Timur lepas dari pangkuan negeri
ini. Semua ini terjadi, karena lemahnya kesadaran politik penyelenggara
negara, dan rakyatnya.
Menutup Pintu
Semuanya tadi
terkait dengan tindakan kuratif yang bisa dilakukan oleh negara. Namun,
selain tindakan kuratif, Islam juga menetapkan berbagai upaya preventif
untuk mencegah terjadinya tindakan sparatisme ini:
1-
Memata-matai Kafir Harbi fi’lan: Mereka adalah warga negara kafir yang
terlibat peperangan atau memusuhi kaum Muslim. Keberadaan mereka di
negeri kaum Muslim hanya diperbolehkan dengan visa khusus, meski tidak
menutup kemungkinan mereka memanfaatkan izin tinggalnya untuk melakukan
berbagai kontak dan memprovokasi penduduk setempat. Mereka wajib
dipantau, bahkan dimata-matai.
2- Memata-matai ahli
ar-Raib: Mereka ini adalah warga negara Khilafah yang berinteraksi
dengan warga negara Kafir Harbi fi’lan, dan diduga melakukan tindakan
yang bisa membahayakan negara, termasuk separatisme.
3-
Menutup kedutaan negara-negara Kafir Harbi hukman yang dijadikan untuk
memata-matai Khilafah. Adapun kedutaan negara-negara Kafir Harbi fi’lan,
seperti AS, Inggris, Perancis, Rusia, Israel, dan lain-lain, sama
sekali tidak boleh ada. Karena status mereka yang sedang berperang
dengan kaum Muslim.
4- Menutup kontak, hubungan dan kerja
sama warga negara Khilafah dengan pihak luar negeri. Dalam hal ini,
Khilafah akan menerapkan kebijakan satu pintu, yaitu Departemen Luar
Negeri.
Inilah beberapa ketentuan Islam yang bersifat preventif terhadap berbagai gerakan separatisme. Wallahu a’lam. [Hafidz Abdurrahman]
Berbagi :
Posting Komentar
untuk "Cara Khilafah Menjaga Keutuhan Wilayah"
Posting Komentar untuk "Cara Khilafah Menjaga Keutuhan Wilayah"