Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Sejarah Sebab Lemahnya Daulah Khilafah Islamiyah

sejarah lemahnya daulah khilafah

Lemahnya aspek pemikiran dalam Daulah Islam muncul pertama kali sejak abad kelima H, yaitu ketika sebagian ulama menyatakan bahwa pintu ijtihad telah tertutup. Ini adalah pernyataan yang memperlemah negara. Padahal setelah itu masih banyak dijumpai para mujtahid.

Lemahnya pemikiran itu telah menciptakan kondisi kritis. Keadaan itu mempengaruhi institusi negara, sehingga perpecahan menggerogoti tubuhnya dan kelemahan menimpanya. Kondisi ini terus berlangsung hingga pecah Perang Salib. Pada waktu itu negara dalam kondisi tidak berdaya menghadapi pasukan Salib. Kedudukan negara goyah dan dalam kegoyahannya negara terlibat dalam serangkaian Perang Salib yang terjadi secara berturut-turut. Kira-kira dua abad lamanya.

Kemenangan pertama diraih pasukan gabungan Salib. Mereka berhasil menguasai sebagian wilayah negeri Islam. Namun dalam peperangan berikutnya kaum Muslim berhasil membebaskan wilayah negeri Islam yang dikuasai mereka. Sayangnya, semenjak pemerintahan Islam berpindah ke tangan Disnasti Mamalik, bahasa Arab, aspek pemikiran dan penyusunan undang-undang mulai disia- siakan. Berikutnya pintu ijtihad ditutup, yang akhirnya membawa efek lemahnya pemahaman terhadap Islam. Para penguasa ini mewajibkan Ulama bertaklid dan itu berarti kelemahan semakin parah di tubuh negara. Kemudian muncul serangan pasukan Tartar yang semakin memerosotkan dan memperlemah negara. Keadaan ini hanya berpengaruh di dalam negeri dan tidak mempengaruhi aspek luar negeri. Kedudukan Daulah Islam dalam percaturan antar negara juga tidak melemah dan negara Islam tetap memiliki harga diri yang kuat dan menggentarkan negara lain. Daulah Islam masih menempati posisi adidaya di dunia, bahkan negara Utsmaniyah berhasil mengambil alih permerintahan sebagian besar dunia Islam pada abad ke-9 H bertepatan dengan abad ke-15 M. Pada abad ke- 10 H bertepatan dengan abad ke-16 M, kekuasaan baru ini cukup berhasil menggabungkan negeri Arab ke dalam wilayahnya, lalu kekuasaannya meluas dan melebar. Pemerintahannya memiliki kewibawaan, didukung dengan kekuasaan yang kuat, pengaturan pasukan yang sistematis dan disiplin. Dalam perkembangan berikutnya, negara Utsmaniyah bergerak keluar dan sibuk dengan berbagai pembebasan, sementara bahasa Arab diabaikan. Padahal, bahasa Arab merupakan kebutuhan dasar untuk memahami Islam dan menjadi salah satu syarat ijtihad. Sungguh sayang, Daulah Utsmaniyah yang kuat tidak serius mengurusi Islam dalam aspek pemikiran dan pembuatan perundang-undangan. Akibatnya, tingkat pemikiran dan perundang-undangan merosot tajam. Saat itu, negara memang kuat secara kasat mata, namun pada hakikatnya benar- benar lemah. Kelemahan itu dikarenakan lemahnya pemikiran dan pembuatan perundang-undangan. Hanya saja, kelemahan tersebut belum terdeteksi oleh Daulah Islam saat itu, karena sedang berada di puncak kemuliaan, keagungan, dan kekuatan militernya. Juga karena dikiaskan pemikiran, perundang-undangan, dan peradabannya kepada pemikiran, perundang-undangan, dan peradaban Eropa, sehingga mereka mendapati dirinya memiliki pemikiran, perundang- undangan, dan peradaban yang lebih baik dari Eropa. Kenyataan ini membuat mereka senang sehingga rela dengan kelemahan ini. Perbandingan semacam itu jelas tidak proporsional karena Eropa ketika itu masih terpuruk dalam kegelapan, kebodohan, kekacauan dan kegoncangan; tertatih-tatih dalam upaya-upaya kebangkitan dan gagal dalam setiap perbaikan yang dilakukan. Karena itu, membandingkan keadaan Daulah Utsmaniyah dengan keadaan Eropa yang dilihatnya seperti ini, sudah tentu Daulah Utsmaniyah dalam posisi yang lebih baik, memiliki sistem yang handal dan peradaban yang lebih tinggi. Sementara di sisi lain, negara tidak mampu melihat kondisi internal, yang sebenarnya sedang mengalami goncangan yang sangat kuat; tidak mampu menyadari kebekuan pemikiran, kebekuan perundang-undangan dan terpecahnya kesatuan umat. Kemenangannya atas Eropa dan keberhasilannya menguasai sebagian tenggara wilayah Balkan menyilaukan pandangannya sehingga tidak mampu menyaksikan kelemahan di dalam negerinya. Hal itu memang memunculkan ketakutan seluruh negara Eropa terhadap Daulah Utsmaniyah pada posisinya sebagai Daulah Islam. Akibatnya di dalam benak mereka terbentuk persepsi bahwa pasukan Islam tidak bisa dikalahkan. Mereka yakin bahwa tidak ada satu pun pasukan yang mampu menghadapi kaum Muslim.

Kemudian muncul masalah ketimuran. Ketika itu maknanya diartikan sebagai ketakutan Eropa terhadap serangan pasukan besar Utsmaniyah yang terus merayap di bawah kendali Muhammad al- Fatih pada abad ke-9 H (abad ke-15 M), juga para Sultan sesudahnya. Ekspansi besar-besaran terus berlangsung hingga akhir abad ke- 11 H di tangan Sulaiman al-Qanuniy. Dia berhasil mengokohkan kekuatan hingga pertengahan abad ke-12 H bertepatan dengan abad ke-18 M. Pada periode ini, potensi keberlangsungan di dalam negara Islam menjadi faktor dominan dalam memberikan kekuatan negara. Kekuatan akidah pada diri kaum muslimin dan keberadaan pemahaman mereka yang khas terhadap kehidupan yang belum begitu berkembang dalam benak mereka serta keberadaan sistem Islam dalam kehidupan yang penerapannya buruk, seluruhnya masih menjadi sandaran negara dan menjadikannya tetap bertahan dan kuat.

Keadaan ini masih diperburuk oleh kondisi kacaunya pemikiran dan perundang-undangan di Eropa. Keadaan-keadaan semacam ini sebenarnya sangat memungkinkan bagi negara untuk mengubah pemahaman Islam dengan pemahaman yang benar, meningkatkan perhatiannya terhadap bahasa Arab, menyemarakkan ijtihad dan memperhatikan aspek-aspek pemikiran dan perundang- undangan; hingga upaya itu berhasil mengokohkan negara menjadi semakin kuat, menyempurnakan penguasaannya terhadap dunia, melanjutkan pembebasan-pembebasan dengan Islam terhadap bagian dunia lainnya dengan mengemban Islam kepada mereka. Dengan demikian, negara akan berhasil mengokohkan dirinya, membentuk dunia dengan peradaban Islam dan menyelamatkan umat manusia dari kerusakan dan kejahatan.

Hanya saja, tidak ada satu pun hal itu yang terjadi, yaitu belum berhasil menyemarakkan bahasa Arab, selain memberikan kesempatan kepada orang Arab dalam pengajaran dan keilmuan semata. Tentu saja hal ini tidak memberikan pengaruh apa pun dalam memperkuat bahasa, juga tidak mampu mengetuk pemikiran. Sebab, belum ada tindakan untuk menghidupkan bahasa Arab dan menjadikannya sebagai satu-satunya bahasa negara yang diwajibkan dalam Daulah Islam. Di samping itu, belum pula ada tindakan apa pun sehubungan dengan aspek pemikiran dan fiqih. Sehingga gerakan yang lemah dan simpang siur tersebut tidak berpengaruh dan keadaan masih berjalan di jalan yang berkelok.

Pada pertengahan abad ke-12 H (abad ke-18 M) keadaan berubah dan mulai terjadi kelemahan internal dalam negeri yang sangat luar biasa. Hal ini karena institusi negara berdiri di atas sisa-sisa sistem Islam yang buruk penerapannya, juga berlandaskan kepada pemikiran yang membingungkan, di antaranya ada yang Islami dan ada juga yang justru menggoyahkan Islam. Pemerintahan secara keseluruhan lebih banyak berada dalam nuansa sistem Islami daripada benar-benar dalam sistem Islam. Ini diakibatkan pemahaman yang simpang siur terhadap pemikiran Islam, buruknya penerapan sistem Islam dan tidak adanya ijtihad, gara-gara para mujtahid pun tidak ada.

Pada abad ke-13 H bertepatan dengan abad ke-19 M, neraca sejarah antara Daulah Islam dan negara-negara non Islam mulai berayun-ayun. Lalu neraca dunia Islam mulai melemah, sementara timbangan negara-negara Eropa sedikit demi sedikit mulai berat dan menguat. Di Eropa mulai muncul kebangkitan-kebangkitan dan hasil-hasilnya mulai tampak. Sementara di tengah kaum Muslim, akibat kejumudan pemikiran dan buruknya penerapan Islam juga mulai mencuat ke permukaan. Ini terjadi karena pada abad ke-19 M di Eropa muncul gerakan revolusi yang membahayakan dalam pemikiran Eropa, akibat dari upaya sungguh-sungguh yang luar biasa yang telah dilakukan oleh para filosof, para penulis dan pemikir. Terjadi pula perubahan menyeluruh yang mendorong pemikiran orang-orang Eropa untuk membangkitkan bangsanya. Sehingga muncullah berbagai gerakan yang memiliki pengaruh dalam memunculkan pendapat-pendapat baru tentang pandangan terhadap kehidupan. Di antara pemikiran tersebut yang paling penting adalah terjadi revisi pada sistem politik, perundang- undangan, dan semua sistem kehidupan. Bayangan-bayangan berbagai kerajaan lalim di Eropa lambat laun hilang, kemudian posisinya diduduki oleh sistem-sistem pemerintahan baru yang dibangun di atas prinsip pemerintahan perwakilan dan kedaulatan rakyat. Pengaruhnya sangat besar dalam mengarahkan kebangkitan Eropa. Pada abad ini, di Eropa juga terjadi revolusi industri yang membawa pengaruh sangat dominan. Dampaknya tampak dalam inovasi-inovasi baru yang banyak dan beragam. Semuanya mempunyai pengaruh yang sangat dominan dalam memperkuat Eropa dan memajukan pemikiran dan kekayaan materinya.

Kekuatan materi dan kemajuan ilmu pengetahuan ini mengakibatkan neraca dunia Eropa terhadap dunia Islam tampak lebih berat, lalu mengubah pemahaman tentang masalah ketimuran. Persoalan mempertahankan diri dari bahaya Islam tidak lagi melanda Eropa, yang ada adalah apakah harus mempertahankan keberadaan Daulah Utsmaniyah ataukah dipecah-belah. Ternyata negara-negara tersebut berbeda pendapat seiring dengan perbedaan kepentingan mereka masing-masing. Berubahnya pemahaman tentang masalah ketimuran dan beberapa kondisi baru yang muncul di Eropa berupa peningkatan taraf pemikiran, kemajuan ilmu dan revolusi industri; juga kelemahan dan perpecahan yang menghantam Daulah Utsmaniyah seluruhnya, mengantarkan terjadinya perubahan politik antara Daulah Islam dan negara-negara kufur tersebut secara mendasar. Bangsa Eropa semakin menguat dan kaum Muslim semakin melemah.

Penyebab revolusi politik di Eropa adalah upaya para pemikir yang bercita-cita untuk mencapai pembentukan tatanan kehidupan dan penggunaan arah pandangan tertentu dalam kehidupan mereka. Mareka memeluk akidah tertentu dan membangun sistem di atasnya. Inilah yang membalikkan pemahaman mereka sebelumnya tentang sesuatu, sekaligus menjungkirkan strata nilai-nilai yang ada pada diri mereka. Semuanya mengantarkan pada revolusi menyeluruh dalam kehidupan yang mendukung munculnya revolusi industri yang luar biasa.

Ini berbeda dengan kondisi di dunia Islam atau Daulah Utsmaniyah yang melakukan kekeliruan. Alih-alih mencoba untuk mengamati situasi kondisi yang ada dengan benar, memikirkan mabdanya dengan mendalam, menggerakkan pemikiran, dan berusaha mewujudkan kembali ijtihad, memecahkan problem- problemnya sesuai hukum-hukum yang terpancar dari akidahnya dan menerima ilmu serta teknologi; malahan seluruhnya menimpakan kebingungan dan kegoncangan sebagaimana yang pernah terjadi di Eropa. Karena kebingungan ini, aktivitasnya berhenti dan stagnan. Akhirnya Daulah Utsmaniyah meninggalkan aspek ilmu pengetahuan dan teknologi, sehingga tertinggal dalam kemajuan materi dari negara-negara lain. Memang ada sisi positif yang menggembirakan. Sisi positif itu terletak pada kenyataan bahwa Daulah Utsmaniyah adalah Daulah Islam dan bangsa-bangsa yang diperintahnya adalah bangsa-bangsa Muslim. Islam adalah akidah negara dan sistemnya. Pemikiran-pemikiran Islam adalah pemikiran negara dan arah pandangan Islam dalam kehidupan juga arah pandangannya. Bertolak dari hal ini, seharusnya negara memperhatikan pemikiran-pemikiran baru yang berkembang di Eropa, mengukurnya dengan kaidah pemikirannya, mengamati problem-problem baru dari sudut pandang Islam, lalu memberi ketetapan hukum tentang pemikiran-pemikiran dan problem- problem tersebut melalui ijtihad yang benar sesuai pandangan Islam, sehingga bisa dipisahkan mana yang benar dan yang rusak. Namun, sayang sekali negara tidak melakukannya.

Hal ini karena pemikiran-pemikiran Islam yang dimilikinya tidak jelas dan pemahaman-pemahamannya pun tidak murni. Demikian juga akidah Islam tidak lagi menjadi kaidah pemikiran tempat dibangunnya seluruh pemikiran, melainkan sekadar akidah yang diraih dengan taklid. Sehingga asas yang menjadi pijakan negara adalah akidah dan pemikiran yang tidak jelas bagi Daulah Utsmaniyah. Sistem yang dipakai pun stagnan karena tidak adanya ijtihad. Peradaban, yang merupakan kumpulan pemahaman tentang kehidupan, tidak berkembang dan tidak dikaitkan dengan aktivitas negara. Penyebabnya adalah kemunduran taraf pemikiran dan tidak adanya kebangkitan, sehingga mereka hanya bisa berdiri tercengang dan bingung ketika mereka menyaksikan revolusi pemikiran dan indrustri di Eropa. Mereka belum mampu memutuskan untuk mengambil atau meninggalkannya. Mereka juga tidak mampu membedakan antara apa yang boleh mereka ambil yaitu ilmu, teknologi, dan penemuan-penemuan; dengan yang tidak boleh mereka ambil, yaitu filsafat yang menentukan arah pandangan kehidupan dan peradaban yang merupakan kumpulan pemahaman tentang kehidupan. Karena itu, mereka stagnan dan tidak mampu bergerak. Kejumudan ini menjadi sebab terhentinya roda sejarah kejayaan mereka. Padahal pada waktu yang sama roda negara-negara Eropa sedang berputar. Seluruhnya disebabkan oleh tidak adanya pemahaman mereka terhadap Islam secara benar; ketidakpahaman mereka tentang perbedaan antara pemikiran-pemikiran Eropa dan pemikiran-pemikirannya dan tidak adanya kemampuan membedakan antara ilmu, teknologi dan penemuan-penemuan yang dianjurkan Islam untuk diambil, dengan filsafat, peradaban dan pemikiran-pemikiran yang dilarang Islam untuk mereka ambil.

Memang benar, Islam tidak dapat dilihat oleh bangsa Utsmaniyah, sehingga mereka tidak mampu memahami Islam dengan pemahaman yang benar. Kebutaan inilah yang menjadikan umat dan negara hidup menurut hasil kesepakatan, tanpa memperhatikan sistem yang dimilikinya. Padahal dalam waktu yang sama, musuh-musuh negara berpegang teguh pada sistem yang jelas dan berjalan di atasnya. Dengan demikian, Eropa lah pemilik ideologi, apa pun akidah dan filsafatnya. Sementara umat Islam sebagai pemilik ideologi yang benar, hidup dalam angan-angan ideologi itu sendiri, yang berlangsung berabad-abad. Hal ini karena mereka hidup dalam buruknya penerapan ideologi mereka sendiri.

Padahal Rasul saw telah bersabda:

“Aku tinggalkan di tengah-tengah kalian yang selama kalian berpegang teguh kepadanya, kalian tidak akan sesat, yaitu Kitabullah dan Sunahku”

Padahal juga, negaranya adalah Daulah Islam, umatnya adalah umat Islam, dan semua kekayaan pemikiran maupun fiqih berada di tangan mereka. Namun, negara tidak memahami makna hadits tersebut untuk kembali kepada Islam dalam perkara fondamental dengan persepsi bahwa Islam adalah akidah dan sistem. Negara juga tidak mampu mengambil manfaat dari kekayaan tersebut yang tidak pernah dimiliki oleh umat mana pun.

Memang benar, negara tidak memanfaatkan itu semua. Hal ini karena ketika ijtihad dan perkembangan pemikiran berhenti, maka pemahaman-pemahaman keislaman di kalangan kaum Muslim melemah. Mereka meninggalkan pengetahuan keislaman dan buku-buku serta kekayaan ilmiah tetap tersimpan di lemarinya. Tidak ada lagi ulama yang siap berpikir kecuali amat sedikit. Semangat dan cinta terhadap pengkajian dan penelitian tentang hakikat-hakikat sesuatu sangat sedikit. Berbagai pengetahuan berubah menjadi sekedar ilmu yang tidak dituntut untuk diamalkan di dalam negara dan dalam realitas kehidupan. Negara tidak menggerakkannya. Bahkan, para ulama yang menuntut ilmu dan tsaqafah hanya menjadikannya sebagai kekayaan intelektual. Mereka berpendapat bahwa mencari ilmu untuk ilmu atau mencari ilmu untuk memperoleh rejeki. Sangat sedikit dari mereka yang mencari ilmu untuk kemaslahatan umat dan negara.

Keadaan itu menyebabkan tidak adanya gerakan intelektual, tsaqafah, atau perundang-undangan sehingga memunculkan kekeliruan dalam memahami Islam. Kaum Muslim lebih banyak memahami Islam dalam aspek kerohanian daripada pemahaman secara intelektual, politik, dan perundang-undangan. Karena pemikirannya yang mendasar dan metode yang digunakan untuk melaksanakan pemikiran tersebut telah buta, sehingga mereka buta dalam memahami al-Quran dan as-Sunah, yang pada gilirannya mereka memahami Islam sekedar agama ritual. Mereka pun membandingkan antara agamanya dengan agama-agama lain berkenaan dengan perbedaan-perbedaan yang ada pada masing-masing agama tersebut, namun dalam kedudukan sebagai agama ritual, bukan sebagai akidah dan aturan untuk seluruh kehidupan.

Karena itu, tidak heran jika umat Islam di bawah kepemimpinan Daulah Utsmaniyah mengalami stagnasi, jumud, kebingungan, dan goncang ketika menghadapi revolusi yang terjadi di Eropa. Umat masih tetap terbelakang dan tidak tergugah sedikit pun oleh kemajuan ekonomi yang membanjiri Eropa. Tidak terpengaruh oleh banyaknya penemuan yang terjadi di Eropa dan tidak tergelitik dengan revolusi industri yang dipelopori Eropa. Memang ada pengaruhnya, namun amat sedikit dan sangat parsial. Itu pun masih diliputi kebimbangan dan kekacauan sehingga tidak melahirkan manfaat apa-apa. Hal itu tidak memungkinkan umat Islam memperoleh kemajuan materi, bahkan tidak memungkinkan mereka menghentikan roda kebekuan yang membawa serta ke arah kemunduran dan kelemahan. Faktor penyebabnya juga kembali pada kondisi mereka yang tidak mampu membedakan antara ilmu pengetahuan dan tsaqafah, antara peradaban dan madaniah. Mereka akhirnya tetap berdiri dalam kebingungan dan tidak bisa mengambil keputusan apakah mengambil atau meninggalkannya, banyak di antara mereka yang melihat bahwa semuanya bertentangan dengan Islam, sehingga mereka menyatakan haram mengambilnya. Bahkan, ketika percetakan menjadi fenomena baru dan negara bermaksud mencetak al-Quran, para ulama fiqih malah mengharamkan pencetakan al-Quran. Akibatnya, mereka memberi fatwa yang mengharamkan setiap hal baru dan mengkafirkan setiap orang yang belajar ilmu-ilmu alam dan mencap setiap pemikir sebagai zindiq dan atheis. Tetapi, di sisi lain ada sekelompok kecil umat yang melihat keharusan mengambil segala hal dari Barat, berupa ilmu pengetahuan, tsaqafah, peradaban maupun madaniah. Mereka ini adalah orang-orang yang belajar di Eropa atau di sekolah-sekolah misionaris yang telah menyusup ke negeri-negeri Islam. Pada mulanya mereka tidak memiliki pengaruh. Mayoritas masyarakat memiliki konsep pemikiran untuk melakukan kompromi antara Islam dengan tsaqafah, ilmu-ilmu, peradaban dan madaniah yang berasal dari Barat. Pada akhir masa pemerintahan Daulah Utsmaniyah, berkembang sebuah pemikiran yang mengklaim bahwa Barat telah mengambil peradabannya dari Islam dan Islam tidak mencegah mengambil dan mengamalkan sesuatu yang bersesuaian dengan Islam, selama tidak bertentangan dengannya. Barat rupanya berhasil menyebarkan pemikiran ini hingga mendominasi masyarakat Islam dan membawanya ke tengah masyarakat terutama kalangan intelektual. Sebagian besar dari mereka adalah fuqaha dan ulama lalu mereka menamakan diri sebagai ulama modern. Mereka juga menamakan diri sebagai kaum pembaharu.

Terdapat perbedaan yang mendasar antara peradaban Barat dan peradaban Islam. Demikian pula terdapat perbedaan yang jelas antara tsaqafah Barat berikut visi kehidupannya, dengan tsaqafah dan visi kehidupan Islam. Karena itu, tidak mungkin menyeleraskan atau mengkompromikan antara apa yang terdapat dalam Islam dan apa yang terdapat dalam pikiran-pikiran Barat. Mengkompromikan dua hal yang bertentangan akan mengantarkan umat jauh dari Islam dan mendekatkan mereka pada pemikiran-pemikiran Barat dengan pola yang kacau. Mereka menjadi lemah dalam memahami pemikiran-pemikiran Barat dan menjadi semakin jauh dari Islam.

Hal itu memiliki dampak yang sangat besar dalam pengabaian berbagai penemuan, ilmu dan teknologi. Juga berpengaruh sangat besar terhadap buruknya pemahaman Islam yang mengarahkan umat kepada kumpulan pemikiran yang saling bertentangan tersebut dan ketidakmampuan negara untuk tetap konsisten pada satu pemikiran tertentu saja. Seperti halnya menyebabkan umat berpaling dan tidak mau mengambil sarana-sarana kemajuan materi yang berupa ilmu, penemuan-penemuan dan terknologi. Akibatnya, negara benar-benar menjadi lemah hingga tidak mampu berdiri dan menjaga dirinya. Kelemahannya menimbulkan keberanian musuh-musuh Islam untuk mencabik-cabik negara Islam menjadi bagian-bagian kecil, sementara negara tidak kuasa menolak dan justru menerimanya dengan pasrah. Kelemahannya juga menimbulkan keberanian para misionaris untuk melancarkan serangannya terhadap Islam dengan mengatasnamakan ilmu pengetahuan. Mereka menyusupkan misinya ke dalam tubuh umat sehingga berhasil memecah belah barisan mereka dan menyalakan api fitnah di dalam negeri-negeri Islam.

Gerakan-gerakan yang beraneka ragam ini pada akhirnya berhasil merobohkan negara yang disusul dengan munculnya paham nasionalisme di seluruh bagian negara, yaitu di Balkan, Turki, negeri-negeri Arab, Armenia, dan Kurdistan. Saat tahun 1914 M tiba, negara berada di tepi jurang yang dalam, kemudian terseret ke dalam Perang Dunia I, lalu keluar sebagai pihak yang kalah dan akhirnya dihancurkan. Dengan demikian, hilanglah Daulah Islam dan Barat berhasil mewujudkan impiannya yang telah mengusik mereka selama berabad-abad. Barat berhasil menghancurkan Daulah Islam demi untuk menghancurkan Islam itu sendiri. Dengan lenyapnya Daulah Islam, maka pemerintahan di seluruh negeri-negeri Islam tidak lagi Islami dan kaum Muslim hidup di bawah naungan bendera kufur. Sehingga urusan mereka menjadi tercabik-cabik, keadaan mereka memburuk, dan akhirnya hidup dalam sistem kufur dan diperintah dengan hukum-hukum kufur. [Taqiyuddin an-Nabhani]

Sumber : Kitab Daulah Islam (Edisi Mu’tamadah) 1423 H/2002 M

Posting Komentar untuk "Sejarah Sebab Lemahnya Daulah Khilafah Islamiyah"

close