Jalan Sesat Demokrasi
Tolak Pesta Demokrasi |
Pada hakikatnya setiap Muslim yang masih
sehat akidahnya tentu menginginkan Islam tegak dalam seluruh aspek
kehidupan. Dari situlah berbagai jalan dirumuskan untuk menegakkan
Islam. Mengingat latar belakang gerakan Islam yang beragam, aneka jalan
yang mereka tempuh pun bermacam-macam. Ini menjadi realitas yang tak
terhindarkan.
Ada yang mengambil metode secara
revolusioner. Ada pula yang menempuh jalan parsial (gradual). Sebagian
masih memegang teguh syariah. Sebagian lagi melenceng dari syariah meski
tetap menjadikan syariah sebagai alat legimitasi.
Salah satu jalan paling populer di
kalangan umat Islam untuk menegakkan sistem Islam adalah jalan
demokrasi. Di kalangan umat Islam masih banyak yang memandang perjuangan
melalui mekanisme demokrasi sebagai cara paling relevan. Padahal jalan
ini acapkali menjadikan para aktivisnya terjerumus dalam sikap
pragmatis.
Kelompok dakwah yang bergelut dalam kubangan demokrasi ini lambat-laun mengalami pergeseran manhaj. Contohnya manhaj
Ikhwanul Muslimin saat ini ataupun gerakan lain yang seafiliasi tampak
berbeda dibandingkan dengan generasi awal mereka seperti pada masa Hasan
Al-Banna, Abdul Qadir Audah, dan Sayyid Qutb. Ini adalah akibat mereka
terus-menerus terlibat dalam kekuasaan dan menduduki jabatan di berbagai
instansi pemerintahan sekular (Lihat: Abu Mushab, Perjalanan Gerakan Jihad 1930-2002: Sejarah, Eksperimen dan Evaluasi).
Doktrin pragmatisme tersebut merujuk pada teori pemikir Niccolo Machiavelli. Dalam bukunya, The Prince, ia mengatakan, “The end justifies the means
Tujuan boleh menghalalkan segala cara)”. Islam jelas menolak teori ala
Machivelli ini. Syariah Islam mengajarkan, tujuan tidak boleh dicapai
dengan menghalalkan segala cara. Sebagaimana dijelaskan oleh Taqiyuddin
An-Nabhani dalam Muqaddimah ad-Dustur: Al-Ghayah la tubarrir al-wasithah (Tujuan tidak boleh menghalalkan segala cara).
Menurut Taqiyuddin An-Nabhani, tujuan
dan metode, keduanya ialah perbuatan manusia. Yang menjadikan perbuatan
manusia itu sah hanyalah dalil syariah, bukan hasil atau manfaat yang
akan dihasilkan dari perbuatan itu. (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustur, hlm. 405).
Dengan demikian, meski memiliki tujuan
yang baik, cara untuk mencapai tujuan tersebut juga harus benar. Bila
jalannya salah, niscaya takkan mampu mengantarkan pada tujuan, bahkan
dapat mengarah pada kenestapaan. Manakala sudah melenceng dari track
yang benar, akan tergelincir dari arah perjuangan. Jika itu terjadi,
nasihat terhadap sesama Muslim adalah penting untuk terus dilakukan.
Jalan Demokrasi: Jalan Menuju Kegagalan
Fakta empiris menunjukkan, demokrasi
bukanlah jalan hakiki untuk menegakkan Islam. Bisa dilihat semisal pada
kasus FIS (Front Islamic du Salut) di Aljazair. Partai ini juga dikenal
sebagai partai yang tetap teguh dengan pendiriannya untuk menjadi
partai berideologi Islam. FIS sama sekali tak tertarik melakukan
kamuflase politik dengan memilih menjadi partai terbuka atau melakukan
berbagai sandiwara politik guna menyenangkan penguasa maupun kolega
politiknya demi meraih kekuasaan. Ia tetap menunjukkan identitas dirinya
sebagai partai Islam.
Hasilnya mengejutkan. Pada Pemilu
Aljazair (1991) FIS menang mutlak dengan mendapatkan 81 persen kursi di
parlemen. Hal ini membuat masyarakat menyambut kemenangan FIS dengan
antusiasme tinggi. Harapan untuk keluar dari sekularisme menuju sitem
Islam sudah di depan mata.
Namun, narasi sejarah berbicara lain.
Mantan Presiden Benjenid, presiden yang terguling pasca kemenangan FIS
tak tinggal diam. Ia menggalang kekuatan untuk berkoalisi dengan
kekuatan militer negara. Muncullah Muhammad Boudiaf mewakili militer
untuk mendirikan Dewan Tinggi Negara. Entah apa alasannya, melalui
keputusan sepihak dari Dewan Tinggi Negara, diumumkan bahwa Aljazair
dalam keadaan darurat. Tak lama setelah itu FIS diberangus. Boudiaf pun
mengambil-alih kepemimpinan. Pupus sudah harapan umat Islam Aljazair
untuk diatur dengan aturan Islam.
Kisah serupa terjadi dengan Hamas di
Palestina. Hamas (2006) juga berhasil memenangkan Pemilu di Palestina
dengan mengakhiri hegemoni Partai Fatah. Hamas berhasil memperoleh 74
dari 132 kursi legislatif dengan mengantongi 60% suara pemilih.
Kemenangan ini juga mengejutkan banyak kalangan. Bahkan media Barat
seperti CNN (02/02/06) menyebut kemenangan ini sebagai Political Earthquake.
Namun, kembali lagi kemenangan atas nama Islam ideologis ini direcoki
oleh Barat bersama antek-anteknya dengan menganulir kemenangan Hamas.
Setitik asa kembali mengemuka ketika
Partai Kebebasan dan Keadilan (FJP) memenangkan Pemilu di Mesir (2012).
Partai yang bernaung di bawah Ikhwanul Muslimin ini berhasil meraup 235
kursi dari 498 kursi di Majelis Rakyat Mesir. Kemenangan FJP dibayangi
oleh Partai an-Nur. Partai yang juga dikenal islamis ini menjadi
pemenang kedua di parlemen dengan meraih 29 persen kursi. Namun,
lagi-lagi sejarah terus berulang dalam jalur demokrasi. Kalangan militer
melalui restu Barat kembali menganulir kemenangan partai islamis.
Jenderal Abdul Fatah al-Sisi memimpin kudeta militer pada 3 Juli 2013
dan mengumumkan pelengseran Presiden Moursi serta penangguhan konstitusi
Mesir. Ikhwan pun ditetapkan sebagai organisasi teroris yang
terlarang. Semua peristiwa ini menunjukkan bahwa harapan itu tidak ada
dalam demokrasi.
Jalan Sesat Demokrasi
1. Perjuangan lewat demokrasi bersifat lemah dan penuh tipudaya.
Meskipun sudah banyak pelajaran berharga
dari jalan ini, ironisnya sebagian umat pemilih demokrasi itu tidak
berpaling ke jalan lain yang lebih baik. Pesona kursi dan jabatan yang
menggiurkan seakan menutup hati nurani penikmat demokrasi bahwa jalan
ini bermasalah.
Inilah di antara penipuan besar oleh
Barat. Saat umat Islam berada dalam kubangan demokrasi, sebenarnya
mereka telah terjebak dalam permainan Barat. Sang wasit (Barat)—yang
telah membuat peraturan permainan ini—sekali-kali tidak membenarkan
kemenangan kepada umat Islam. Jika sampai umat Islam menang dan ada
indikasi ingin menerapkan syariah, sang wasit siap menganulir kemenangan
itu.
Kemenangan dalam Pemilu demokrasi belum
bisa disebut sebagai kemenangan Islam meski yang menang adalah partai
Islam. Kasus kemenangan FIS, Hamas, maupun FJP adalah sebuah pelajaran
berharga bagi umat Islam. Di situ pemenang sejatinya tidak memegang
kekuasaan secara penuh. Sebagaimana dalam The Spirit of Laws,
Montesquieu, demokrasi membagi kekuasaan menjadi tiga bagian, yakni:
eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Implikasinya, kemenangan ini
merupakan kemenangan yang keropos karena mudah sekali digugat dan
digulingkan.
2. Perjuangan lewat demokrasi menjerumus-kan.
Masalah mendasar pada sistem demokrasi ialah kedaulatan (as-siyadah) yang berkaitan dengan sumber hukum. Sistem ini menetapkan kedaulatan ada di tangan rakyat (as-siyadah li asy-sya’bi).
Rakyat kemudian mewakilkan kepada wakil rakyatnya di parlemen untuk
membuat hukum. Lalu lahirlah hukum-hukum buatan manusia. Padahal dalam
sistem Islam, kedaulatan berada di tangan syariah (as-siyadah li asy-Syari), yang sumber hukumnya adalah al-Quran dan as-Sunnah.
Berjuang lewat parlemen dalam demokrasi
memaksa umat Islam untuk menandingi Allah SWT dalam membuat hukum.
Padahal hak membuat hukum adalah milik Allah SWT (QS al-An’am [6]: 57).
Jika para anggota parlemen tetap
melakukan legislasi undang-undang yang bukan berasal dari Allah SWT,
mereka bisa mendapat gelar kafir, fasik atau zalim (QS al-Maidah [5]:
44, 45, 47).
Ibnu Abbas mengatakan, “Siapa saja yang mengingkari apa saja yang Allah ‘Azza wa Jalla
turunkan, dia telah kafir. Siapa saja yang mengakui apa saja yang Allah
turunkan namun tidak berhukum dengannya (hukum Allah) maka dia zalim
dan fasik.” (Ath-Thabari, VI/257).
3. Perjuangan lewat demokrasi menjinakkan.
Pendekatan hard power oleh
Barat terhadap gerakan-gerakan Islam di Timur Tengah ternyata tak mampu
membendung arus Islam ideologis di kawasan itu. Justru gaung tuntutan
penegakkan Negara Islam semakin besar. Akhirnya, mereka mengefektifkan
cara soft (halus), yakni memancing gerakan-gerakan Islam untuk
ikut serta dalam demokrasi. Beberapa partai Islam mampu menang, atau
minimal mendapat suara signifikan di beberapa negara. Sebut saja Partai
Adalet ve Kalkinma Partisi (AKP) Turki, Partai An-Nahdhah (Tunisia),
Partai Keadilan (Maroko), Partai Keadilan dan Kebebasan, dan Partai
An-Nur (Mesir).
Sayang, gerakan-gerakan Islam yang
sebelumnya dikenal cukup lantang menyuarakan tegaknya sistem Islam itu
pun lambat-laun mulai kendur. Mereka cenderung berkomitmen pada
nilai-nilai demokrasi sekular di negaranya masing-masing dan hanya lebih
memfokuskan pada perbaikan ekonomi dan usaha stabilisasi negara.
Di Indonesia, beberapa partai Islam
makin tidak percaya diri dengan identitasnya. Sekadar contoh: Partai
Keadilan Sejahtera (PKS) yang berhasil meraih beberapa tampuk
kepemim-pinan tingkat daerah ini justru memilih untuk bermetamorfosis
menjadi partai terbuka. Di berbagai kesempatan para elit politik partai
yang sebelumnya bernama Partai Keadilan itu pun menyatakan tak ingin
mendirikan Negara Islam. Bahkan ada pula yang menyebut syariah Islam
merupakan agenda masa lalu.
Demokrasi Tak Berpihak kepada Umat
Demokrasi terbukti tak berpihak kepada
umat. Sistem ini sarat dengan kepentingan segelintir manusia sebagai
pembuat hukum, terutama kepentingan para kapitalis yang memiliki
pengaruh besar dalam pembuatan undang-undang. Slogan kedaulatan di
tangan rakyat itu hanyalah ilusi belaka. Nyatanya, para pemilik modal
yang berdaulat, sementara umat semakin menderita.
Jalan demokrasi takkan mampu mengantarkan partai Islam pada penegakan syariah Islam secara kaffah. Alasannya di antaranya: Pertama, jalan ini tidak sesuai dengan jalan Rasulullah saw. dan para sahabat. Kedua,
kemenangan umat Islam dalam demokrasi tak memiliki pondasi yang kuat
untuk menerapkan syariah Islam secara keseluruhan; mudah sekali digoyang
oleh kaum liberal dan sekular atas nama demokrasi. Ketiga, jalan ini di-setting oleh Barat untuk dapat melumpuhkan perjuangan Islam.
Sebaik-baik suri teladan ialah
Rasulullah saw., termasuk dalam menegakkan Islam. Beliau menolak ketika
diberi kekuasaan oleh kaum Quraisy sebab itu bukanlah kekuasaan Islam.
Beliau memilih metode paling tepat dengan melakukan tahapan dakwah yang
bisa mengantarkan untuk sampai tujuan. Pertama: melakukan kaderisasi. Kedua: melakukan penyadaran umat. Ketiga: Penerapan sistem Islam melalui thalabun-nushrah
kepada pemilik kekuatan di tengah umat—tentu setelah sebelumnya mereka
didakwahi dan diyakinkan—untuk menerapkan syariah Islam secara kaffah dalam institusi negara Khilafah. WalLahu a’lam. [Ali Mustofa Akbar; Maktab I’lami HTI Soloraya]
Posting Komentar untuk "Jalan Sesat Demokrasi"