Pragmatisme Politik – Menistakan Politik
Sejumlah anggota DPR yang kembali maju menjadi calon anggota
legislatif mengaku prihatin dengan pragmatisme warga masyarakat terkait
politik uang jelang pemilu 2014. Ketua Fraksi PPP di MPR, Irgan Chairul
Mahfiz, mengaku dirinya menyiapkan Rp1 miliar lebih untuk sosialisasi
dirinya sebagai caleg di 2014. Dan itu pun masih kurang. Dia mengaku
banyak dimintai uang oleh warga masyarakat. “Hal tersebut untuk kondisi
pemilu 2014 kayaknya demikian. Masyarakat semakin pragmatis dan
transaksional,” kata Irgan. (Beritasatu.com, 10/3)
Diajari oleh Politisi
Kecenderungan perubahan pola pikir masyarakat pemilih dari idealis ke
pragmatis seperti fenomena yang terjadi dalam pilkada dan pemilu,
disinyalir karena reaksi atas kenyataan yang terjadi. Kasus korupsi yang
menjerat sejumlah wakil rakyat dan kepala daerah selama ini, baik di
tingkat pusat, provinsi maupun di tingkat kabupaten, mengubah pola pikir
masyarakat bahwa jabatan wakil rakyat itu diperebutkan untuk meraih
kekayaan.
Masyarakat sudah paham betul, setelah jabatan di tangan, janji
tinggal janji dan slogan-slogan manis pun menguap tanpa bekas sejak hari
pertama. Nama dan kepentingan rakyat diperalat demi kepentingan
sendiri, parpol dan cukong yang mengongkosi. Tidak cukup, jabatan,
kekuasaan dan pengaruh pun diperalat untuk secepat mungkin balik modal,
tambah kekayaan dan memupuk modal. Korupsi, kolusi, manipulasi, rekayasa
proyek dan sejenisnya pun mengisi berita harian. Itulah fakta ibarat
mendorong mobil mogok. Ketika mobil berhasil hidup, orang yang mendorong
pun ditinggalkan dan hanya diberi asap. Seperti itulah nasib rakyat
selama ini.
Ditambah lagi, seiring ketatnya persaingan berebut kursi, masyarakat
dipikat dengan berbagai iming-iming, bantuan bahkan uang. Masyarakat
akhirnya merasa, suaranya memiliki “harga” dan bisa dijual.
Masyarakat merasa tidak mendapat manfaat yang semestinya dari para
politisi. Masyarakat juga merasa selama ini hanya diperalat, dijadikan
obyek dan komoditas politik bahkan alat tawar demi mendapat “harga”
(baca manfaat finansial) tinggi. Maka ketika ada kesempatan, sebagian
masyarakat pun menjadikan suaranya yang ber-“harga” untuk mendapat
manfaat. Siapa pun yang datang memberikan uang akan diterima, tanpa
peduli siapa sebenarnya yang didukung. Ungkapannya “kapan lagi
mendapatkan uang dari para politisi kalau tidak pada momen pemilu?”
Pragmatisme Politik Berbahaya
Pragmatisme berarti ajaran yang menekankan bahwa pemikiran itu
menuruti tindakan. Kriteria kebenaran dalam paham pragmatisme adalah
seberapa besar “faedah” atau “manfaat”. Suatu ide dianggap benar apabila
membawa suatu hasil, dengan kata lain, suatu teori adalah benar if it works.
Pragmatisme tolok ukurnya adalah asas manfaat, sejauh mana manfaat
yang bisa diperoleh. Jadi yang baku dalam pragmatisme adalah manfaat.
Jika ide, gagasan, konsep, sikap, atau sesuatu tidak bisa memberikan
manfaat atau hanya memberikan manfaat kecil maka buat apa dipertahankan,
meski hal itu bersifat ideologis dan idealis.
Faktanya, manfaat itu dalam pandangan manusia bersifat subyektif,
bergantung pada individu dan kelompoknya. Manfaat itu juga bersifat
situasional, bisa berubah sesuai situasi dan kondisi. Apa yang saat ini
dipandang manfaat dan diambil, lain waktu tidak lagi dinilai manfaat dan
ditinggalkan. Pragmatisme itu pada akhirnya berujung pada sikap machiavelis, menghalalkan segala cara – the end justifies the means-. Pragmatisme itu melahirkan sikap plin-plan dan membentuk manusia hipokrit.
Karena itu, pragmatisme berbahaya jika menjangkiti individu. Lebih
berbahaya lagi jika pragmatisme itu menjadi laku dalam berpolitik.
Pragmatisme politik itu menempatkan kepentingan politik dan kekuasaan
sebagai the end (tujuan).
Pragmatisme dalam politik membuat idealisme dan ideologi menjadi
sesuatu yang basi. Politisi atau parpol yang menganut pragmatisme ini
menjadikan politik sebagai panggung sandiwara. Yang ada akhirnya hanya
basa-basi politik. Dalam politik pun biasa dilakukan propaganda plain folk,
yaitu mengidentifikasi diri dengan sesuatu yang ideal, terlepas dari
apakah ia memang demikian atau tidak. Di sinilah sering terdengar slogan
“atas nama rakyat”, “untuk kepentingan rakyat”, “demi wong cilik”,
“demi kebenaran dan keadilan”, “demi kesejahteraan dan kemakmuran
rakyat” dan slogan-slogan sejenis. Tujuannya jelas, agar diidentifikasi
seperti itu sehingga memikat perhatian konstituen. Namun semuanya hanya
basa-basi, tidak ada janji yang hakiki, dan kenyataannya jauh panggang
dari api.
Pragmatisme juga membuat politisi dan parpol tuna identitas. Yang
kemarin menjadi lawan, hari ini bisa menjadi kawan. Jika kemarin tampak
berseteru, hari ini bisa dengan penuh senyum berangkulan dan
bergandengan erat. Koalisi pun bisa dijalin dengan siapapun, tidak lagi
memperhatikan visi dan ideologi, selama semuanya dipertemukan oleh
manfaat bersama.
Menistakan Politik, Dikokohkan oleh Sistem
Pragmatisme dalam politik itu pada akhirnya justru menistakan
politisi, parpol dan politik itu sendiri. Politik hanya dijadikan alat
demi meraih kedudukan dan kekuasaan dan berikutnya mempertahankannya.
Politik juga dijadikan sebagai alat tawar untuk mendapatkan keuntungan
meski jangka pendek. Sementara, kepentingan rakyat hanya menjadi
komoditas.
Pragmatisme termasuk pragmatisme politik, menjadi subur dan kokoh
akibat sistem dan ideologi sekuler kapitalisme yang eksis saat ini.
Dalam kapitalisme asas manfaat menjadi nafas sekaligus tolok ukurnya.
Pragmatisme itu juga mendapatkan justifikasi dari doktrin politik
dalam kapitalisme yang memang fokus pada kekuasaan. Yaitu berfokus pada
bagaimana memperoleh kekuasaan dan mempertahankannya, atau di sisi lain
mempengaruhi kekuasaan ketika berposisi sebagai oposisi. Di atas semua
itu kepentingan individu, partai dan kapitalis pemodal politik menjadi
yang diutamakan. Kebijakan dan sikap oposan pada akhirnya untuk
memperbesar diraihnya kepentingan itu, atau untuk menaikkan posisi tawar
guna meminimalkan kehilangan.
Semua itu makin sistemik ketika dibingkai dengan sistem politik
demokrasi yang di mana-mana selalu berbiaya tinggi. Politisi, parpol dan
siapa pun yang masuk, terjun atau terlibat dalam proses politik itu
harus mengeluarkan biaya dan tidak jarang “membeli” suara baik langsung
maupun tidak langsung. Konsekuensi logisnya, pragmatisme atau bahkan
politik uang menjadi sesuatu yang pasti terjadi. Dampak lebih buruknya,
terjadilah siklus uang untuk politik dan politik untuk uang. Dalam semua
itu rakyat lah yang menjadi korban.
Politik Luhur Hanya dengan Islam
Semua itu bertentangan dengan Islam. Dalam pandangan Islam, politik
merupakan aktifitas yang mulia. Sebab pada hakikatnya, politik (siyâsah) dalam pandangan Islam adalah ri’yah asy-syu`ûn al-ummah (pemeliharaan urusan ummat). Rasulullah saw menegaskan hal itu dalam sabda beliau:
« كَانَتْ بَنُو إِسْرَائِيلَ
تَسُوسُهُمُ الأَنْبِيَاءُ، كُلَّمَا هَلَكَ نَبِىٌّ خَلَفَهُ نَبِىٌّ،
وَإِنَّهُ لاَ نَبِىَّ بَعْدِى، وَسَيَكُونُ خُلَفَاءُ فَيَكْثُرُونَ.
قَالُوا فَمَا تَأْمُرُنَا قَالَ فُوا بِبَيْعَةِ الأَوَّلِ فَالأَوَّلِ،
أَعْطُوهُمْ حَقَّهُمْ، فَإِنَّ اللَّهَ سَائِلُهُمْ عَمَّا اسْتَرْعَاهُمْ
»
“Dahulu Bani Israel urusan mereka dipelihara oleh para nabi,
setiap kali seorang nabi meninggal digantikan oleh nabi lainnya. Dan
sesungguhya tidak ada nabi sesudahku, tetpai akan ada para khalifah dan
jumlah mereka banyak.” Mereka (pada sahabat) berkata: “lalu apa yang
engkau perintahkan kepada kami?” Rasul menjawab: “penuhilah baiat yang
pertama lalu yang pertama, beri mereka hak mereka, karena sesungguhnya
Allah akan menanyai mereka atas keadaan rakyat mereka.” (HR al-Bukhari, Muslim, Ahmad)
Dalam hadits ini Rasul menyebutkan bahwa politik (siyâsah mashdar dari sasa-yasûsu-siyâsatan), merupakan aktifitas para nabi dan khalifah. Dan sabda Rasul “ ‘ammâ istar’âhum”
menunjukkan bahwa politik itu berkaitan dengan pemeliharaan urusan
rakyat, yang nanti akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah SWT. Dari
situ, imam an-Nawawi dalam Syarh Shahîh Muslim menjelaskan bahwa politik itu adalah mengatur sesuatu dengan apa yang membuatnya baik (al-qiyâm ‘alâ asy-syay’ bi mâ yushlihuhu). Dan itulah sesungguhnya aktifitas seorang politisi yang sesungguhnya.
Dan tugas politik yaitu memelihara urusan dan kepentingan rakyat, merupakan tugas pemimpin dan negara. Rasul menegaskan:
«فَالإِمَامُ الَّذِى عَلَى النَّاسِ
رَاعٍ وَهْوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ» وفي رواية مسلم: « الأَمِيرُ
الَّذِى عَلَى النَّاسِ رَاعٍ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ»
“Imam (khlaifah) adalah pemelihara dan dia bertanggungjawab atas (urusan) rakyatnya” (HR al-Bukhari) –Dalam
riwayat Muslim-: “dan amir yang memimpin masyarakat adalah pemelihara
dan dia bertanggungjawab atas (urusan) rakyat yang dipimpinnya.” (HR Muslim)
Hadits ini sekaligus mengisyaratkan bahwa tugas politik yaitu
pemeliharaan urusan rakyat yang menjadi tugas dan tanggungjawab
khalifah, negara dan para pemimpin termasuk politisi itu, akan sempurna
jika dijalankan dalam sistem kekuasaan dan negara. Dan tentu saja
kekuasaan dan negara yang dimaksud adalah yang menerapkan syariah
Islamiyah. Sebab hukum (sistem) Islam lah yang terbaik dan itulah yang
diperintahkan untuk kita ambil dan diterapkan. Allah berfirman:
﴿أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ حُكْمًا لِّقَوْمٍ يُوقِنُونَ﴾
“Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum)
siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang
yakin?” (TQS al-Maidah [5]: 50)
Wallâh a’lam bi ash-shawâb.[]
Sejumlah anggota DPR yang kembali maju menjadi calon anggota
legislatif mengaku prihatin dengan pragmatisme warga masyarakat terkait
politik uang jelang pemilu 2014. Ketua Fraksi PPP di MPR, Irgan Chairul
Mahfiz, mengaku dirinya menyiapkan Rp1 miliar lebih untuk sosialisasi
dirinya sebagai caleg di 2014. Dan itu pun masih kurang. Dia mengaku
banyak dimintai uang oleh warga masyarakat. “Hal tersebut untuk kondisi
pemilu 2014 kayaknya demikian. Masyarakat semakin pragmatis dan
transaksional,” kata Irgan. (Beritasatu.com, 10/3)
Diajari oleh Politisi
Kecenderungan perubahan pola pikir masyarakat pemilih dari idealis ke
pragmatis seperti fenomena yang terjadi dalam pilkada dan pemilu,
disinyalir karena reaksi atas kenyataan yang terjadi. Kasus korupsi yang
menjerat sejumlah wakil rakyat dan kepala daerah selama ini, baik di
tingkat pusat, provinsi maupun di tingkat kabupaten, mengubah pola pikir
masyarakat bahwa jabatan wakil rakyat itu diperebutkan untuk meraih
kekayaan.
Masyarakat sudah paham betul, setelah jabatan di tangan, janji
tinggal janji dan slogan-slogan manis pun menguap tanpa bekas sejak hari
pertama. Nama dan kepentingan rakyat diperalat demi kepentingan
sendiri, parpol dan cukong yang mengongkosi. Tidak cukup, jabatan,
kekuasaan dan pengaruh pun diperalat untuk secepat mungkin balik modal,
tambah kekayaan dan memupuk modal. Korupsi, kolusi, manipulasi, rekayasa
proyek dan sejenisnya pun mengisi berita harian. Itulah fakta ibarat
mendorong mobil mogok. Ketika mobil berhasil hidup, orang yang mendorong
pun ditinggalkan dan hanya diberi asap. Seperti itulah nasib rakyat
selama ini.
Ditambah lagi, seiring ketatnya persaingan berebut kursi, masyarakat
dipikat dengan berbagai iming-iming, bantuan bahkan uang. Masyarakat
akhirnya merasa, suaranya memiliki “harga” dan bisa dijual.
Masyarakat merasa tidak mendapat manfaat yang semestinya dari para
politisi. Masyarakat juga merasa selama ini hanya diperalat, dijadikan
obyek dan komoditas politik bahkan alat tawar demi mendapat “harga”
(baca manfaat finansial) tinggi. Maka ketika ada kesempatan, sebagian
masyarakat pun menjadikan suaranya yang ber-“harga” untuk mendapat
manfaat. Siapa pun yang datang memberikan uang akan diterima, tanpa
peduli siapa sebenarnya yang didukung. Ungkapannya “kapan lagi
mendapatkan uang dari para politisi kalau tidak pada momen pemilu?”
Pragmatisme Politik Berbahaya
Pragmatisme berarti ajaran yang menekankan bahwa pemikiran itu
menuruti tindakan. Kriteria kebenaran dalam paham pragmatisme adalah
seberapa besar “faedah” atau “manfaat”. Suatu ide dianggap benar apabila
membawa suatu hasil, dengan kata lain, suatu teori adalah benar if it works.
Pragmatisme tolok ukurnya adalah asas manfaat, sejauh mana manfaat
yang bisa diperoleh. Jadi yang baku dalam pragmatisme adalah manfaat.
Jika ide, gagasan, konsep, sikap, atau sesuatu tidak bisa memberikan
manfaat atau hanya memberikan manfaat kecil maka buat apa dipertahankan,
meski hal itu bersifat ideologis dan idealis.
Faktanya, manfaat itu dalam pandangan manusia bersifat subyektif,
bergantung pada individu dan kelompoknya. Manfaat itu juga bersifat
situasional, bisa berubah sesuai situasi dan kondisi. Apa yang saat ini
dipandang manfaat dan diambil, lain waktu tidak lagi dinilai manfaat dan
ditinggalkan. Pragmatisme itu pada akhirnya berujung pada sikap machiavelis, menghalalkan segala cara – the end justifies the means-. Pragmatisme itu melahirkan sikap plin-plan dan membentuk manusia hipokrit.
Karena itu, pragmatisme berbahaya jika menjangkiti individu. Lebih
berbahaya lagi jika pragmatisme itu menjadi laku dalam berpolitik.
Pragmatisme politik itu menempatkan kepentingan politik dan kekuasaan
sebagai the end (tujuan).
Pragmatisme dalam politik membuat idealisme dan ideologi menjadi
sesuatu yang basi. Politisi atau parpol yang menganut pragmatisme ini
menjadikan politik sebagai panggung sandiwara. Yang ada akhirnya hanya
basa-basi politik. Dalam politik pun biasa dilakukan propaganda plain folk,
yaitu mengidentifikasi diri dengan sesuatu yang ideal, terlepas dari
apakah ia memang demikian atau tidak. Di sinilah sering terdengar slogan
“atas nama rakyat”, “untuk kepentingan rakyat”, “demi wong cilik”,
“demi kebenaran dan keadilan”, “demi kesejahteraan dan kemakmuran
rakyat” dan slogan-slogan sejenis. Tujuannya jelas, agar diidentifikasi
seperti itu sehingga memikat perhatian konstituen. Namun semuanya hanya
basa-basi, tidak ada janji yang hakiki, dan kenyataannya jauh panggang
dari api.
Pragmatisme juga membuat politisi dan parpol tuna identitas. Yang
kemarin menjadi lawan, hari ini bisa menjadi kawan. Jika kemarin tampak
berseteru, hari ini bisa dengan penuh senyum berangkulan dan
bergandengan erat. Koalisi pun bisa dijalin dengan siapapun, tidak lagi
memperhatikan visi dan ideologi, selama semuanya dipertemukan oleh
manfaat bersama.
Menistakan Politik, Dikokohkan oleh Sistem
Pragmatisme dalam politik itu pada akhirnya justru menistakan
politisi, parpol dan politik itu sendiri. Politik hanya dijadikan alat
demi meraih kedudukan dan kekuasaan dan berikutnya mempertahankannya.
Politik juga dijadikan sebagai alat tawar untuk mendapatkan keuntungan
meski jangka pendek. Sementara, kepentingan rakyat hanya menjadi
komoditas.
Pragmatisme termasuk pragmatisme politik, menjadi subur dan kokoh
akibat sistem dan ideologi sekuler kapitalisme yang eksis saat ini.
Dalam kapitalisme asas manfaat menjadi nafas sekaligus tolok ukurnya.
Pragmatisme itu juga mendapatkan justifikasi dari doktrin politik
dalam kapitalisme yang memang fokus pada kekuasaan. Yaitu berfokus pada
bagaimana memperoleh kekuasaan dan mempertahankannya, atau di sisi lain
mempengaruhi kekuasaan ketika berposisi sebagai oposisi. Di atas semua
itu kepentingan individu, partai dan kapitalis pemodal politik menjadi
yang diutamakan. Kebijakan dan sikap oposan pada akhirnya untuk
memperbesar diraihnya kepentingan itu, atau untuk menaikkan posisi tawar
guna meminimalkan kehilangan.
Semua itu makin sistemik ketika dibingkai dengan sistem politik
demokrasi yang di mana-mana selalu berbiaya tinggi. Politisi, parpol dan
siapa pun yang masuk, terjun atau terlibat dalam proses politik itu
harus mengeluarkan biaya dan tidak jarang “membeli” suara baik langsung
maupun tidak langsung. Konsekuensi logisnya, pragmatisme atau bahkan
politik uang menjadi sesuatu yang pasti terjadi. Dampak lebih buruknya,
terjadilah siklus uang untuk politik dan politik untuk uang. Dalam semua
itu rakyat lah yang menjadi korban.
Politik Luhur Hanya dengan Islam
Semua itu bertentangan dengan Islam. Dalam pandangan Islam, politik
merupakan aktifitas yang mulia. Sebab pada hakikatnya, politik (siyâsah) dalam pandangan Islam adalah ri’yah asy-syu`ûn al-ummah (pemeliharaan urusan ummat). Rasulullah saw menegaskan hal itu dalam sabda beliau:
« كَانَتْ بَنُو إِسْرَائِيلَ
تَسُوسُهُمُ الأَنْبِيَاءُ، كُلَّمَا هَلَكَ نَبِىٌّ خَلَفَهُ نَبِىٌّ،
وَإِنَّهُ لاَ نَبِىَّ بَعْدِى، وَسَيَكُونُ خُلَفَاءُ فَيَكْثُرُونَ.
قَالُوا فَمَا تَأْمُرُنَا قَالَ فُوا بِبَيْعَةِ الأَوَّلِ فَالأَوَّلِ،
أَعْطُوهُمْ حَقَّهُمْ، فَإِنَّ اللَّهَ سَائِلُهُمْ عَمَّا اسْتَرْعَاهُمْ
»
“Dahulu Bani Israel urusan mereka dipelihara oleh para nabi,
setiap kali seorang nabi meninggal digantikan oleh nabi lainnya. Dan
sesungguhya tidak ada nabi sesudahku, tetpai akan ada para khalifah dan
jumlah mereka banyak.” Mereka (pada sahabat) berkata: “lalu apa yang
engkau perintahkan kepada kami?” Rasul menjawab: “penuhilah baiat yang
pertama lalu yang pertama, beri mereka hak mereka, karena sesungguhnya
Allah akan menanyai mereka atas keadaan rakyat mereka.” (HR al-Bukhari, Muslim, Ahmad)
Dalam hadits ini Rasul menyebutkan bahwa politik (siyâsah mashdar dari sasa-yasûsu-siyâsatan), merupakan aktifitas para nabi dan khalifah. Dan sabda Rasul “ ‘ammâ istar’âhum”
menunjukkan bahwa politik itu berkaitan dengan pemeliharaan urusan
rakyat, yang nanti akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah SWT. Dari
situ, imam an-Nawawi dalam Syarh Shahîh Muslim menjelaskan bahwa politik itu adalah mengatur sesuatu dengan apa yang membuatnya baik (al-qiyâm ‘alâ asy-syay’ bi mâ yushlihuhu). Dan itulah sesungguhnya aktifitas seorang politisi yang sesungguhnya.
Dan tugas politik yaitu memelihara urusan dan kepentingan rakyat, merupakan tugas pemimpin dan negara. Rasul menegaskan:
«فَالإِمَامُ الَّذِى عَلَى النَّاسِ
رَاعٍ وَهْوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ» وفي رواية مسلم: « الأَمِيرُ
الَّذِى عَلَى النَّاسِ رَاعٍ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ»
“Imam (khlaifah) adalah pemelihara dan dia bertanggungjawab atas (urusan) rakyatnya” (HR al-Bukhari) –Dalam
riwayat Muslim-: “dan amir yang memimpin masyarakat adalah pemelihara
dan dia bertanggungjawab atas (urusan) rakyat yang dipimpinnya.” (HR Muslim)
Hadits ini sekaligus mengisyaratkan bahwa tugas politik yaitu
pemeliharaan urusan rakyat yang menjadi tugas dan tanggungjawab
khalifah, negara dan para pemimpin termasuk politisi itu, akan sempurna
jika dijalankan dalam sistem kekuasaan dan negara. Dan tentu saja
kekuasaan dan negara yang dimaksud adalah yang menerapkan syariah
Islamiyah. Sebab hukum (sistem) Islam lah yang terbaik dan itulah yang
diperintahkan untuk kita ambil dan diterapkan. Allah berfirman:
﴿أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ حُكْمًا لِّقَوْمٍ يُوقِنُونَ﴾
“Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum)
siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang
yakin?” (TQS al-Maidah [5]: 50)
Wallâh a’lam bi ash-shawâb.[Al-Islam edisi 697, 12 Jumadul Awal 1435 H-14 Maret 2014 M]
Posting Komentar untuk "Pragmatisme Politik – Menistakan Politik"