Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Retakan Imperialisme di Jalur Sutera


Oleh : Umar syarifudin – Syabab HTI (praktisi politik)

Pertumbuhan terbaru telah mengandalkan ledakan pertumbuhan konstruksi yang didorong oleh kenaikan harga real estate, dan menunjukkan semua tanda-tanda klasik dari akan pecahnya sebuah gelembung. Ada pertumbuhan kredit yang amat cepat – dengan banyak dari pertumbuhan yang terjadi tidak dilakukan melalui perbankan tradisional melainkan dilakukan oleh “perbankan bayangan” yang tidak mengikuti pengawasan pemerintah dan tidak juga didukung oleh jaminan pemerintah. Sekarang gelembung ini meledak – dan ada alasan yang sesungguhnya akan ketakutan krisis keuangan dan ekonomi. cerita tentang Cina terdengar sudah nyaring terdengar seperti retakan yang telah kita lihat di tempat-tempat lain. Dan ekonomi dunia sudah menderita dari kekacauan yang terjadi di Eropa, kita benar-benar tidak membutuhkan sebuah pusat krisis baru. (Paul Krugman - The New York Times)

People Daily’s (Harian Rakyat) Cina, melaporkann tentang ketimpangan di Cina, yang semakin melebar antara yang kaya dengan yang miskin. Angkanya terus meningkat rata-rata diatas 0,47 persen. Ini akan membawa situasi ketidakstabilan sosial. Dalam beberapa dekade Cina mengalami pertumbuhan ekonomi yang luar biasa, yang menyebabkan kesenjangan besar dalam masalah upah antara kaya dan miskin, di perkotaan dan pedesaan. Pada tahun 2009, orang terkaya di Cina hanya 10 persen, tapi mengendalikan 45 persen dari kekayaan negara.

Akhir-akhir ini muncul beberapa pengamat yang kritis terhadap apa yang terjadi di Cina dan memanfaatkan data-data ekonomi yang lebih detail. Ini diwakili sebuah buku yang amat kontroversial, tulisan Gordon Chang, The Coming Collapse of China (2001). Buku ini menunjukkan sederetan masalah yang dihadapi Cina saat ini, yang semua ini akan mendorong keruntuhan Cina.

Yang pertama diangkat Chang adalah terjadinya suasana tidak puas terhadap rezim yang berkuasa sekarang, baik di kalangan petani maupun di kalangan buruh. Dicatatkan kasus-kasus yang tersebar di seluruh Cina, petani-petani yang marah terhadap kader-kader di desa. Sedemikian marah sehingga petani-petani itu tidak ragu-ragu untuk menyerang, memukul, bahkan membakar kantor-kantor pejabat desa. Ini terjadi hampir setiap minggu di seluruh Cina.

Ketidakpuasan serupa juga muncul di kalangan buruh yang mengalamipemutusan hubungan kerja di kota. Memang, privatisasi perusahaan milik negara masih jauh dari selesai, tetapi dari sejumlah perusahaan yang telah mengalami privatisasi, buruh-buruh benar marah dan mengadakan aksi-aksi destruktif seperti para petani.

Mereka menuduh pemerintah hanya mementingkan para kapitalis, kelompok yang semestinya dilawan Partai Komunis Cina, partai yang berkuasa kini. Demonstrasi yang disusul kerusuhan marak di hampir semua kota di seluruh Cina.

Belum lagi bila menghitung angka pengangguran, baik di desa maupun di kota. Karena itu, munculnya ketidakpuasan yang merata di seluruh Cina saat ini sungguh mudah dipahami. Meski demikian, Chang tidak hanya bersandar pada satu data ini saja untuk menunjukkan kerapuhan Cina.

Saat ini, strategi Cina paling urgen adalah mengamankan ‘jalur kehidupan’-nya melalui String of Pearls, strategi handalnya di perairan, terutama upaya membangun pelabuhan-pelabuhan laut sepanjang daratan yang sebelah-menyebelah pada Garis Hidup Imperialisme (Jalur Sutera). Sekali lagi, pantaslah bila syahwat kolonialismenya berdiri keras manakala ia ditawari membangun Poros Maritim Dunia (Tol Laut) oleh Indonesia.  

Sementara di internalnya sendiri, Cina cenderung menggunakan ‘pendekatan naga’ (hard power) daripada ‘pendekatan panda’ (smart power). Ia menutup akses masuk atas pengaruh asing di Hongkong dan Xinjiang, kenapa? Meski Hongkong tidak punya SDA sama sekali, tapi status ekonomi sebagai sepuluh pelabuhan tersibuk di dunia sungguh menggiurkan. Inilah sumberdaya menggiurkan bagi kaum kapitalis dalam perspektif geopolitik, sehingga membuatnya diperebutkan oleh para adidaya. Estimasinya, apabila jebol di Hongkong maka kolonialisme asing dalam ujud sphere of influence akan sulit dibendung. Tidak boleh dipungkiri, Hongkong ialah bagian ‘Geostrategi (pertahanan) Naga’ dan salah satu sumber bagi pertumbuhan ekonomi Cina.

Pendekatan naga di Xinjiang berbeda lagi, ketika suku (Uigur) asli yang mendiami Xinjiang adalah mayoritas muslim, maka seperti halnya perilaku kolonialisme Barat di dunia muslim, Cina pun ‘menciptakan konflik’ di daerah yang memiliki potensi besar atas minyak ini. Ia drop dan mobilisir suku Han dalam jumlah besar guna meminggirkan suku (asli) Uigur. Konflik komunal pun pecah berlarut hingga kini, mengapa? Oleh karena konflik merupakan modus geostrateginya dalam rangka mengendalikan Xinjiang agar tidak seliar Hongkong. Ya, dalam perspektif pendekatan naga, Hongkong dinilai “liar” serta agak sulit dikendalikan akibat lama bergabung dengan Barat (Inggris). Selanjutnya, tujuan konflik itu sendiri --- adalah upaya Cina mereduksi pengaruh asing di Xinjiang, khususnya pengaruh negara-negara muslim dari (perbatasan) Asia Tengah.   

Dalam pendekatan naga, kebijakan Cina terhadap Islam dan Muslim Uighur merupakan tindakan berkelanjutan untuk secara sistematis menghapus identitas Islam. Ketegangan antara kaum Muslim Uighur dan Han Cina telah ada sejak Tentara Pembebasan Rakyat memasuki wilayah itu 64 tahun lalu. Kaum Muslim secara historis hidup di Turkistan Timur sejak Mongol menaklukkan dunia yang diakhiri oleh kaum Muslim. Setelah itu banyak orang Mongol yang memeluk Islam. Provinsi ini kemudian dihuni oleh umat Islam yang juga berasal dari Kazakhstan, Kirgiztan dan Tajikistan. Xinjiang berukuran empat kali lebih besar dari Jerman, tetapi hanya memiliki 22 juta penduduk. Uighur Muslim merupakan sekitar 45% dari penduduk di wilayah ini. Namun, mereka selalu mengalami diskriminasi dan kekerasan politik oleh Han Cina yang dulu hanya merupakan 6% dari penduduk Xingjian.

Beijing mempromosikan migrasi besar-besaran pemukim Han Cina sebagai bagian dari kebijakan yang berkelanjutan untuk mendukung daerah terpencil dan terbelakang Xinjiang dan Tibet yang kini menyamakan dengan 39% dari jumlah penduduk. Pada kenyataannya migrasi ini adalah upaya untuk melemahkan konsentrasi etnis Muslim dan sebaliknya menguatkan status mereka sebagai kelompok mayoritas.

Mengingat banyak kendala dalam membangun aliansi dengan negara-negara di sekitar Laut Cina, maka solusi terbaik dari beberapa alternatif buruk lainnya ialah ‘menciptakan konflik’. Harap maklum, jika beberapa accident di perairan baik dengan Jepang , Philipina, Vietnam maupun melawan AS sendiri - Cina terlihat sangat agresif. Ingin segera berlaga. Di satu sisi, apakah keberaniannya melawan AS karena didukung dua aliansi (BRICS dan SCO)? Sedang pada sisi lain, merika Serikat (AS) terkesan menghindari benturan secara langsung dengan Cina di perairan. Bisa jadi menunggu lengkapnya 60% armada laut (2020)-nya, atau Paman Sam hendak membenturkan Cina dengan para negara proxy-nya, atau karena faktor besarnya utang AS kepada Cina.  

Disamping upaya Amerika untuk membatasi perluasan militeristik Cina, Amerika juga berupaya kuat membangun kemampuan India, baik sipil maupun militer untuk menghadapi Cina. Politik inilah yang digunakan Amerika dengan seluruh pemerintahan di India hingga yang loyal kepada Inggris sekalipun dan bukan loyal kepada Amerika seperti pemerintahan partai Kongres. Obama dihadapan sidang umum parlemen India mengatakan: “Saya berdiri di depan Anda hari ini karena saya yakin bahwa kepentingan Amerika Serikat dan kepentingan bersama kami dengan India adalah sebab terbaik untuk kerjasama … Amerika Serikat bukan hanya menyambut India sebagai kekuatan global akan tetapi kami sangat mendukung hal itu dan kami mendukung kesejahteraan bersama, menjaga perdamaian dan keamanan, memperkuat pemerintahan demokratis dan Hak Asasi Manusia. Ini adalah tanggungjawab kepemimpinan. Dan kerjasama gobal antara Amerika Serikat dengan India ini bisa menciptakan kemajuan di abad 21. Dan kami sekarang siap untuk memulai pengimplementasian kesepakatan nuklir sipil… Kami perlu membangun kerjasama di bidang teknologi modern seperti pertahanan dan bidang peradilan sipil. (Amerika Serikat mendukung India sebagai kekuatan global, online 8 November 2010).

Kembali ke anatomi BRICS. Masuknya India di BRICS dipersepsikan memiliki motif uniq dan latarbelakang tersendiri. Secara histori, bergabungnya India dalam BRICS merupakan ulangan atas “Triangle Strategic”-nya Yevgeni Primakov, PM Rusia di era Perang Dingin. Memang (dulu) ada aliansi antara Moskwa, Beijing dan Dehli untuk membendung pengaruh Washington melalui penciptaan common enemy (musuh bersama). Sedang keuniqan motifnya adalah, bukankah India bagian Commonwealt ---eks jajahan Inggris--- semacam Malaysia dan Singapura? Mereka adalah “anak-anak” yang lahir dari rahim kolonialisme Inggris. Ilustrasi lain --- seperti halnya Israel, Inggris adalah sekutu tradisionalnya Paman Sam. Menjadi keniscayaan bila terdapat jalinan strategi di antara mereka.

Alasan pokok bergabungnya India dalam BRICS selain faktor kedekatan geografi, juga dilatarbelakangi perseteruan (diplomasi) dengan AS. Sedang ramalan seandainya berkonflik melawan Cina, ia tidak akan berkutik sebelum Pakistan dan Iran lemah. Embrio konflik serta konfrontasi antara Cina versus India memang telah berlangsung lama terkait perbatasan.

Sampai kapanpun, perang antarkawasan (Cina-India) mustahil terjadi akibat hambatan alamih yaitu Gunung Himalaya. Dalam logika perang modern, dropping logistik dalam skala besar pada peperangan relatif lama akan mengendala dengan kondisi medan semacam itu. Bahkan jika kelak timbul clash pun, pertempuran-pertempuran kecil justru lebih efektif. Kedua adidaya sudah “saling mengancam”, jangan coba-coba membangun kekuatan militer di sekitar pegunungan, atau mencoba saling menyeberangi Himalaya.

Pakistan akan mengambil manfaat situasi jika terjadi konflik antara India versus Cina. Di satu sisi, ada dua wilayah Cina yang masih dinilai rawan (Tibet dan Xinjiang) karena gigih menentang “pendudukan” suku Han yang dimobilisir oleh pusat. Lepasnya kedua daerah ini bisa menimbulkan gangguan terhadap kedaulatan Cina. Misalnya, ancaman India melalui utara Himalaya selain dapat membesarkan radikalisme Islam di Xinjiang, juga geliat Tibet pun --- yang didukung India--- berpotensi membuat “kegaduhan” sendiri di internal Negeri Tirai Bambu. 

Maka kecil peluang bagi India mengobarkan perang melawan Cina sebelum Iran dan Pakistan jatuh. Ini sekedar catatan kecil soal  India, kenapa ia (India) bergabung dalam BRICS. Kita ke Beruang Merah, sebutan lain Rusia. Ya. Selain Putin aktif melebarkan jangkauan  di luar kawasan, namun ia tidak melupakan lingkungan sekitar --- para (negara) tetangga. Inilah sisa kebijakan “Nearby Abroad”-nya Andre Kozyrev yang dilestarikan oleh Putin, berupa penegasan atas peran strategis regional Rusia di kawasan. Putin enggan melepas pengaruhnya di semua sektor terutama pangan dan energi baik di Kazaktan, Kirgistan, Turkistan, dst di Asia Tengah maupun di Kawasan Caucasus seperti Azerbaijan, Georgia, Armaenia, dan lain-lain. 

Belarusia pun coba dirangkul untuk menjadi provinsi Rusia selain ia mendukung kelompok tertentu dalam konflik di Ukraina. Dan konflik di Ukraina itu sendiri, hakikinya adalah proxy war antara BRICS cq Rusia melawan Barat cq AS dan NATO. Dengan kata lain, manuver Rusia meluaskan pengaruh, mendapat respon langsung oleh AS. Misalnya, ketika Rusia pro Victor Yanukovic, maka Barat mendukung Victor Yusmencho, dsb. Akar masalahnya tidak lain adalah berebut kepentingan, dalam hal ini adalah kepentingan atas “takdir geopolitik” Ukraina yang berupa geopolitical of pipeline dan geostrategy position. Tanya kenapa?

Betapa takdir Ukraina sejalan dengan ajaran geopolitik Halford Mackinder, British (1861-1946) dalam buku “The Geographical Pivot of History” (1904):“Who rules East Europe, command the Heartland; Who rules the Heartland, command the World Islands; Who rules the world islands, command the world” (Terjemahan bebas: “Siapa mengatur Eropa Timur, akan mengendalikan jantung dunia [Asia Tengah]; Siapa mengatur jantung dunia/Asia Tengah, maka akan mengendalikan Pulau Dunia [Timur Tengah]; Siapa mengatur Timur Tengah akan memimpin dunia.”)

Inti pokok ajaran Mackinder merekomendasi, kuasai Eropa Timur dahulu sebelum menguasai kawasan Heartland dan World Island ---sebagaimana ruh teori Mackinder--- pintu masuknya pengaturan ada di Ukraina. Tak boleh dielak memang, selain faktor geopolitical of pipeline (minyak dan gas) seperti halnya takdir geografi Syria, yang tidak kalah penting adalah ‘posisi geografi’-nya. Inilah takdir (strategis) geopolitik Ukraina di panggung global. Dan hal ini pula yang kini tegah berproses secara masif. Ya. Ukraina hanyalah sebagian kecil proxy war (medan tempur) yang digelar akibat friksi antara Timur versus Barat, kenapa? Karena Ukraina adalah lintasan Jalur Sutera yang menuju Eropa.

Kembali membahas Islam, secara empiris, Cina sama paronoidnya dengan AS, Islam ideologis dianggap ancaman atas kepentingan-kepentingan strategis negara kapitalis seperti halnya Cina. Inilah fakta bahwa sesungguhnya Islam Ideologis akan mampu menggantikan kapitalisme global dan menciptakan tatanan ekonomi dan politik yang rahmatan lil ‘alamin.

Secara historis, Keberhasilan Khilafah Islam, di zaman al-Walid bin ‘Abdul Malik, menaklukkan wilayah Wara’ Nahr, atau Asia Tengah, di bawah panglimanya Qutaibah bin Muslim, yang dimulai sejak tahun 86 H/705 M, mempunyai dampak politik yang luar biasa. Khususnya setelah wilayah Kirgistan berhasil ditaklukkan tahun 95 H/714 M.

Qutaibah tidak berhenti sampai di sana, tetapi terus merangsek ke depan hingga sampai di perbatasan Cina. Qutaibah meninggalkan Murwa menuju ke Kashgir, kota paling ujung menuju ke Cina. Ketika sampai di Kashgir, Kekaisaran Cina saat itu mengirim delegasi untuk menemui Qutaibah, dan menyampaikan hasrat Kaisar agar Qutaibah bersedia mengirimkan delegasi ke ibukota Cina untuk diajak berunding.

Qutaibah pun mengirimkan utusan yang dipimpin oleh Hubairah bin al-Masymaraj, yang bertujuan melakukan pembahasan dengan pihak Kekaisaran Cina. Kekaisaran Cina sendiri berusaha untuk menghentikan penaklukan Islam yang mengarah ke wilayahnya. Qutaibah memanfaatkan momentum ini untuk memastikan jalur perdagangan di Asia Tengah aman, serta melindungi kafilah dagang ke wilayah Cina. Dari sana perdagangan Timur dan Barat pun berlangsung dengan aman. [VM]

Posting Komentar untuk "Retakan Imperialisme di Jalur Sutera"

close