Kewajiban Menegakkan Khilafah
مَنْ خَلَعَ يَدًا مِنْ طَاعَةٍ لَقِيَ الله يَوْمَ الْقِيَامَةِ لاَ
حُجَّة لَه وَمَنْ مَاتَ وَلَيْسَ فِي عُنُقِهِ بَيْعَةٌ مَاتَ مِيْتَةً
جَاهِلِيَّةً
Siapa saja yang melepaskan tangan dari ketaatan
(kepada Khalifah), niscaya ia akan menemui Allah kelak pada Hari Kiamat
tanpa memiliki hujjah. Siapa saja yang mati, sementara tidak ada baiat
(kepada Khalifah) di pundaknya, maka ia mati seperti kematian jahiliah
(HR Muslim).
Imam Muslim meriwayatkan hadis ini di dalam
Shahih-nya dari dua jalur. Pertama: dari ‘Ubaidullah bin Mu’adz
al-‘Anbari, dari Muadz al-‘Anbari, dari ‘Ashim bin Muhamamd bin Zaid,
dari Zaid bin Muhammad. Kedua: dari Ibn Numair, dari Yahya bin Abdullah
bin Bukair, dari Laits, dari ‘Ubaidullah bin Abi Ja’far, dari Bukair bin
Abdullah bin al-Asyaj. Keduanya (Zaid bin Muhammad dan Bukair) dari
Nafi, dari Ibn Umar ra.
Adapun Imam al-Baihaqi meriwayatkan hadis ini di dalam Sunan al-Kubra dari jalur Nafi’ dan Salim dari Ibn Umar.
Al-Hakim di dalam al-Mustadrak meriwayatkan hadis senada dari jalur Nafi’ dari Ibn Umar. Disebutkan bahwa Rasul saw. bersabda:
مَنْ خَرَجَ مِنَ الْجَمَاعَةِ قَيَدَ شِبْرٍ فَقَدْ خَلَعَ رِبْقَةَ
الْإِسْلاَمِ مِنْ عُنُقِهِ حَتَّى يُرَاجِعَهُ وَمَنْ مَاتَ وَلَيْسَ
عَلَيْهِ إِمَامُ جَمَاعَةٍ فَإِنَّ مَوْتَتَهُ مَوْتَةً جَاهِلِيَّةً
Siapa saja yang keluar dari jamaah sejengkal saja maka ia telah
menanggalkan ikatan Islam dari tengkuknya hingga ia kembali. Siapa saja
yang mati, sementara tidak ada atasnya imam jamaah (khalifah) maka
kematiannya laksana kematian jahiliyah.
Makna Hadits
Sabda
Rasul saw., “Man khala’a yad[an] min thâ’at[in] laqiyalLâh yawm
al-qiyâmah lâ hujjatan lahu.” Kalimat ini dinyatakan dalam redaksi
berita. Meski demikian, maknanya adalah tuntutan untuk meninggalkan
(thalab at-tarki), artinya merupakan larangan; yakni larangan untuk
melepaskan tangan dari ketaatan kepada Imam/Khalifah. Kalimat
“laqiyallâh yawm al-qiyâmah lâ hujjatan lahu (niscaya bertemu Allah pada
Hari Kiamat tanpa memiliki hujjah)”merupakan qarinah (indikasi) jazim
(tegas). Maknanya, siapa saja yang melepaskan tangan dari ketaatan
kepada Khalifah maka pada Hari Kiamat kelak di hadapan Allah ia tidak
memiliki hujjah (alasan) yang bisa dibenarkan atau diterima sebagai
dasar atau justifikasi perbuatannya itu. Itu artinya, perbuatan
melepaskan tangan dari ketaatan kepada Imam atau Khalifah merupakan
kemaksiatan.
Dengan demikian melepaskan tangan dari ketaatan
kepada Imam/Khalifah hukumnya haram. Bentuknya di antaranya bisa berupa
menyatakan tidak taat kepada Imam/Khalifah, menyatakan keluar dari
jamaah kaum Muslim yang dipimpin Imam/Khalifah (seperti dinyatakan dalam
riwayat al-Hakim di atas), keluar menentang Imam/Khalifah,
memecah-belah jamaah kaum Muslim, dan lainnya. Semua itu tentu saja pada
kondisi jika sudah ada imam (khalifah).
Sabda Rasul saw., “wa
man mâta wa laysa fî ‘unuqihi bay’at[un] mâta mîtat[an] jâhiliyyat[an]”
dijelaskan oleh riwayat yang lain, dari Mu’awiyyah. Ia berkata bahwa
Nabi saw. pernah bersabda:
مَنْ مَاتَ وَلَيْسَ عَلَيْهِ اِمَامٌ مَاتَ مِيْتَةً جَاهِلِيَّةً
Siapa saja yang mati, sementara tidak ada imam atasnya, maka ia mati seperti kematian jahiliyah (HR ath-Thabrani).
Dalam riwayat Imam Ahmad dari Muawiyah digunakan redaksi:
مَنْ مَاتَ بِغَيْرِ إِمَامٍ مَاتَ مِيتَةً جَاهِلِيَّةً
Siapa saja yang mati tanpa imam (khalifah), ia mati seperti kematian jahiliyah.
Dari semua riwayat tersebut, makna sabda Rasul saw “laysa fî ‘unuqihi
bay’at[un]” adalah “laysa ‘alayhi imam (tanpa imam atas dirinya)”. Ini
seperti dijelaskan dalam riwayat al-Hakim dari Ibn Umar dan riwayat
ath-Thabrani dari Muawiyah. Bisa pula bermakna “bi ghayri imâm (tanpa
imam)”. Ini menurut riwayat Ahmad dari Muawiyah di atas.
Adapun
makna sabda Rasul saw “mâta mîtatan jâhiliyyat[an]”, menurut Ibn Hajar
al-‘Ashqalani, adalah kondisi kematian seperti kematian orang jahiliah
di atas kesesatan, dan tidak ada untuk dirinya seorang imam yang ditaati
sebab mereka tidak mengenal yang demikian. Maksudnya, bukan berarti dia
mati dalam keadaan kafir, tetapi mati dalam keadaan sedang bermaksiat.
Dimungkinkan bahwa itu merupakan tasybîh (penyerupaan) menurut
zhahir-nya; maknanya, dia mati seperti kematian orang jahiliah meski ia
bukan orang jahiliah; atau bahwa hal itu dinyatakan sebagai larangan dan
peringatan/celaan.
Sabda Rasul itu, meski dalam redaksi berita,
maknanya adalah thalab (tuntutan) agar seseorang tidak mati seperti
kematian jahiliah. Kematian seperti kematian jahiliah itu terjadi ketika
seseorang mati tanpa ada baiat kepada Khalifah di tengkuknya, yakni
mati tanpa ada imam atas dirinya. Jadi sabda beliau itu merupakan
perintah untuk mengadakan baiat di atas tengkuk setiap orang yakni agar
mengadakan seorang imam/khalifah yang dibaiat itu.
Sabda Rasul
saw. mîtat[an] jâhiliyyat[an] itu, sesuai dengan ketentuan ushul,
merupakan qarinah yang tegas sehingga perintah tersebut adalah wajib.
Dengan demikian hadis ini menyatakan kewajiban ada baiat di pundak
setiap Muslim. Secara syar’i baiat itu hanya diberikan kepada Khalifah.
Semua nash syariah mengaitkan baiat itu hanya kepada Imam, yakni
Khalifah. Jadi yang diwajibkan adalah adanya baiat kepada Khalifah di
pundak setiap Muslim, bukan agar setiap Muslim membaiat khalifah secara
langsung. Dengan kata lain, yang wajib adalah adanya baiat di pundak
setiap Muslim, yakni adanya khalifah. Dengan adanya khalifah itu akan
terealisasi adanya baiat di pundak setiap Muslim, baik secara praktis ia
membaiat khalifah itu maupun tidak. Dengan demikian hadis ini merupakan
dalil tentang kewajiban mengangkat khalifah dan kewajiban adanya baiat
di pundak setiap Muslim. Hadis ini bukan dalil atas kewajiban baiat.
Pasalnya, yang dicela oleh Rasul adalah kosongnya pundak seorang Muslim
dari baiat sampai ia mati.
Saat ini belum ada imam/khalifah
sehingga belum ada baiat di atas tengkuk setiap Muslim. Karena itu,
untuk menyelamatkan diri dari kematian jahiliah itu, setiap Muslim wajib
berusaha serius untuk mewujudkan adanya khalifah itu, yakni dengan
menegakkan Khilafah, tentu melalui dakwah secara berjamaah menggunakan
metode yang telah digariskan dan dijelaskan oleh Rasul saw. dalam sirah
beliau. WalLâh a’lam bi ash-shawâb. [Yoyok Rudianto]
Posting Komentar untuk "Kewajiban Menegakkan Khilafah"