Nikah Beda Agama: Menyerang Islam, Membuka Pintu Pemurtadan
Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI) Anbar Jayadi
bersama empat orang temannya menggugat UUPernikahan ke MK. Menurut dia,
Pasal 2 ayat 1 UU No. 1/1974 yang berisi “Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaan itu” telah menyebabkan ketidakpastian hukum bagi yang akan melakukan perkawinan beda agama di Indonesia (Kompas.com, 4/9).
“Kita kan tidak tahu akan bertemu dengan siapa ke depannya;
akan suka sama siapa; akan kawin dengan siapa. Makanya, ketika melakukan
perkawinan, negara harus menjamin hak-hak kita agar punya status hukum
yang jelas,” kata Anbar di Gedung MK, Kamis (4/9/2014).
Menyasar Islam
Peneliti Human Right Watch (HRW), Andreas Harsono, menyatakan sangat
mendukung upaya itu. Ia menyebutkan, salah satu prinsip dasar dalam
perkawinan adalah kerelaan dari kedua orang yang terlibat dalam
pernikahan. Hal ini sudah ditegaskan dalam International Covenant on Civil and Political Rights.
Ketua Moderate Muslim Society, Zuhairi Misrawi, mengatakan bahwa
orang-orang yang melakukan pernikahan beda agama seharusnya mendapat
pengakuan dari negara.Komnas HAM juga mendukung upaya uji materi itu untuk melegalkan pernikahan beda agama (Kompas.com, 5/9).
Semua itu menjadi isyarat yang jelas bahwa orang-orang sekular dan
liberal terus menyasar Islam dan syariahnya. Tentu kita masih ingat
kasus counter legal draft Kompilasi Hukum Islam, yang salah
satunya adalah tuntutan pelegalan nikah beda agama ini. Apa yang terjadi
ini makin menegaskan, bahwa sekularisme dan HAM adalah alat untuk
menyerang Islam.
Jika pernikahan beda agama ini dilegalkan MK, maka dengan alasan HAM
dan sebagainya akan banyak lagi pihak yang menuntut agar ragam
pernikahan yang dilarang Islam itu dilegalkan. Pernikahan sedarah,
pernikahan sejenis dan praktik perzinaan lain akan minta dilegalkan.
Ilustrasi |
Jika nikah beda agama itu disahkan maka akibatnya: Pertama,
pengesahan ini akan menjadi pintu untuk meruntuhkan banyak ketentuan
Islam, terutama yang berkaitan dengan akibat dari pernikahan seperti
hukum waris, perwalian, nafkah, hubungan pria-wanita di dalam pernikahan
dan sebagainya. Kedua, pengesahan ini juga akan membuka pintu
lebar dan legal bagi upaya permurtadan. Selama ini, meski nikah beda
agama tidak dilegalkan, motif cinta dan pernikahan seperti itu banyak
digunakan untuk pemurtadan. Apalagi jika nanti dilegalkan, upaya
pemurtadan itu justru akan makin gencar dan meluas karena telah
dilegalkan oleh negara. Tentu semua itu amat berbahaya bagi umat.
“Cinta Buta”
Diakui atau tidak, latar belakang tuntutan mereka agar nikah beda
agama disahkan sesungguhnya adalah “cinta buta”. Cinta, yang merupakan
manifestasi dari naluri seksual, sebenarnya lahir karena adanya stimulus
(pemicu) berupa lawan jenis dan pandangan seseorang terhadap lawan
jenisnya. Dengan alasan nanti tidak tahu akan suka dengan siapa, dan
bisa saja menyukai orang beda agama, sementara cinta mereka anggap
sebagai bagian dari HAM dan tidak boleh dikekang, mereka pun menuntut
agar menikahi siapa saja dibolehkan. Itu artinya, cinta atau naluri
seksual itu dianggap harus dipenuhi. Jadilah manusia dikendalikan oleh
naluri seksualnya, bukan sebaliknya; manusia yang mengendalikan naluri
seksual itu.
Pola pikir seperti itu tidak mempunyai standar halal-haram. Rasa
cinta itu mereka biarkan tanpa kendali. Akibatnya, mereka tidak lagi
bisa membedakan: kepada dan dengan siapa mereka bercinta.Karena mereka
tidak menggunakan standar berpikir yang benar sebagai Muslim, mereka pun
menabrak rambu-rambu yang dilarang. Bahkan bagi mereka, jika perlu
rambu-rambu yang melarang itu harus dihilangkan.
Pola pikir demikian tentu tidak selayaknya dimiliki oleh seorang
Muslim. Seorang Muslim seharusnya menjadikan halal-haram sebagai
standar.
Nikah Beda Agama Haram!
Berkaitan dengan nikah beda agama, Allah SWT berfirman:
﴿وَلَا تَنكِحُوا الْمُشْرِكَاتِ حَتَّىٰ
يُؤْمِنَّ وَلَأَمَةٌ مُّؤْمِنَةٌ خَيْرٌ مِّن مُّشْرِكَةٍ وَلَوْ
أَعْجَبَتْكُمْ وَلَا تُنكِحُوا الْمُشْرِكِينَ حَتَّىٰ يُؤْمِنُوا
وَلَعَبْدٌ مُّؤْمِنٌ خَيْرٌ مِّن مُّشْرِكٍ وَلَوْ أَعْجَبَكُمْ
أُولَٰئِكَ يَدْعُونَ إِلَى النَّارِ وَاللَّهُ يَدْعُو إِلَى الْجَنَّةِ
وَالْمَغْفِرَةِ بِإِذْنِهِ … ﴾
Janganlah kalian menikahi para wanita musyrik sebelum mereka
beriman. Sesungguhnya budak wanita Mukmin lebih baik dari wanita musyrik
walaupun dia menarik hati kalian. Jangan pula kalian menikahkan kaum
musyrik (dengan para wanita Mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya
budak Mukmin lebih baik dari orang musyrik walaupun dia menarik hati
kalian. Mereka mengajak ke neraka, sedangkan Allah mengajak ke surga dan
ampunan dengan izin-Nya…(TQS al-Baqarah [2]: 221).
Syaikh Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah di dalam Taysîr fî Ushûl at-Tafsîr (hlm. 293-297) menjelaskan, bahwa larangan ayat ini dikaitkan dengan qarinah yang menunjukkan larangan itu bersifat tegas (jazim) yaitu: ulâika yad’ûna ila an-nâr (mereka
mengajak ke neraka). Jadi, ayat ini mengharamkan perkawinan pria Mukmin
dengan wanita kafir dan perkawinan wanita Mukmin dengan pria kafir.
Hanya saja, keumuman itu di-takhshish oleh firman Allah SWT:
﴿الْيَوْمَ أُحِلَّ لَكُمُ الطَّيِّبَاتُ
وَطَعَامُ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حِلٌّ لَّكُمْ وَطَعَامُكُمْ حِلٌّ
لَّهُمْ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الْمُؤْمِنَاتِ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ
الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِن قَبْلِكُمْ﴾
Pada hari ini dihalalkan bagi kalian yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi al-Kitab
itu halal bagi kalian dan makanan kalian pun halal bagi mereka. (Halal
pula menikahi) wanita yang menjaga kehormatan di kalangan para wanita
yang beriman dan para wanita yang menjaga kehormatan di kalangan
orang-orang yang diberi al-Kitab sebelum kalian(TQS al-Maidah [5]: 5).
Dengan demikian, perkawinan wanita Mukmin dengan pria kafir adalah
haram secara mutlak. Perkawinan pria Mukmin dengan wanita musyrik
(selain Yahudi dan Nasrani) baik Budha, Hindu, Konghucu, aliran
kepercayaan dan lainnya juga haram.
Adapun perkawinan pria Mukmin dengan wanita Ahlul Kitab (Nasrani atau
Yahudi) adalah halal/boleh, namun dibatasi hanya dengan wanita Ahlul
Kitab yang muhshanât yaitu ‘afîfât (yang senantiasa menjaga kesucian dan kehormatannya).
Di tengah dunia yang didominasi oleh kebebasan berperilaku, perempuan
mengumbar aurat, pergaulan bebas merajalela, perbuatan mendekati zina
bahkan zina terjadi di mana-mana, rasanya sulit memenuhi sifat afîfât itu. Apalagi harus disadari bahwa meski dibolehkan, perkawinan pria Muslim dengan wanita Ahlul Kitab yang muhshanat tetap bisa mendatangkan banyak persoalan di kemudian hari.
Khalifah Umar bin Khathab ra. menghendaki agar itu tidak dijadikan
pilihan pertama, melainkan terakhir; artinya tetap mendahulukan untuk
menikahi wanita Mukmin. Ibn Jarir meriwayatkan bahwa Hudzaifah pernah
menikahi seorang wanuta Ahlul Kitab. Lalu Umar menulis surat kepada dia,
“Ceraikan dia!”
Hudzaifah lalu membalas surat itu, “Apakah engkau menganggap itu haram sehingga aku harus menceraikan dia?”
Umar berkata, “Aku tidak menganggap itu haram. Namun, aku takut kalian menjauhi wanita Mukmin.”
Konsekuensi Nikah Beda Agama
Nikah beda agama dan pernikahan yang dilakukan dengan akad yang menyalahi syariah Islam seperti di catatan sipil, secara syar’i,
adalah batil. Meski mungkin sah secara administratif dan dilegalkan
negara, dalam pandangan Islam pernikahan itu tetap batil, tidak sah.
Ada beberapa konsekuensi dari pernikahan batil semacam ini. Pertama: hubungan suami-istri menjadi tidak sah dan dianggap layaknya berzina. Kedua:
pertalian nasab bapak biologis dengan anaknyaterputus. Bapak
biologisnya tidak diakui sebagai walinya karena nasabnya terputus. Ketiga: hukum nafkah bagi bapak biologisnya juga tidak ada. Keempat: antara bapak biologis dan anak biologisnya tidak ada hubungan waris. Kelima:
jika bapak biologis itu menjadi wali anaknya yang merupakan hasil nikah
beda agama, maka status kewaliannya juga tidak sah. Dampaknya, akad
pernikahan anak itu juga tidak sah, dan hubungan suami-istrinya pun
tidak sah.
Karena semua itu, jika gugatan ini sampai dikabulkan MK, dan bahkan
nikah beda agama yang diharamkan oleh Islam itu dilegalkan, maka hanya
ada satu kata, “Tunggulah kehancuran.”
Solusi Mendasar
Pangkal dari semua itu karena Islam tidak dijadikan pedoman dalam
kehidupan. Islam tidak dijadikan kaidah berpikir. Islam tidak lagi
dijadikan sumber hukum dan keputusan. Akibatnya, pada level individu,
lahir generasi liberal seperti mereka, yang tidak mau terikat dengan
Islam. Bahkan mereka menuntut supaya pelanggaran mereka dilegalkan. Pada
level negara, karena negara tidak menggunakan Islam sebagai sumber,
pedoman dan hukum positif, maka penistaan dan penggerogotan terhadap
kehidupan beragama umat Islam dan terhadap Islam sendiri akan terus
terjadi.
Maka dari itu, untuk menyelesaikan semua itu dengan tuntas, hanya ada satu kata: kembali pada hukum Islam secara kaffah di
bawah naungan Khilafah. Dengan itu, semua masalah yang dihadapi umat
Islam saat ini akan selesai, tentu dengan izin dan pertolongan Allah
SWT. [Al-Islam edisi 721, 17 Dzulqa’dah 1435 H-12 September 2014 M]
Posting Komentar untuk "Nikah Beda Agama: Menyerang Islam, Membuka Pintu Pemurtadan"