Generasi Pluralis Mengokohkan Hegemoni Kapitalisme
Pluralisme Menguat
Beberapa waktu terakhir ini publik dikagetkan dengan perilaku sejumlah mahasiswa yang menggeramkan banyak pihak. Tanggal 28 hingga 30 Agustus lalu, Senat Mahasiswa (SEMA) Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Sunan Ampel Surabaya menggelar Orientasi Akademik dan Cinta Almamater (OSCAAR), dengan tema yang sangat kontroversial “Tuhan Membusuk: Rekonstruksi Fundamentalisme Menuju Islam Kosmopolitan”. Sebelumnya, hal yang sama juga dilakukan di oleh mahasiswa dari jurusan Aqidah Filsafat Fakultas Ushuluddin IAIN (Institut Agama Islam Negeri) Sunan Gunung Djati Bandung dalam ta’aruf dengan mahasiswa baru September 2004 silam. Perkataan yang cukup menyentak diantaranya adalah “Selamat bergabung di area bebas tuhan”. Bahkan ada seorang mahasiswa mengepalkan tangan dan meneriakkan, “Kita berzikir bersama, anjinghu akbar.”
ilustrasi - Pluralism |
Klarifikasi yang datang untuk membenarkan tindakan itu menyatakan bahwa ini merupakan upaya untuk melakukan kritik keberagamaan atas matinya nilai-nilai spiritualitas dalam kehidupan beragama umat Islam. Sebab dalam pandangan mereka, berbagai tindakan destruktif, misalnya korupsi, kekerasan keberagamaan, dan segenap tindakan amoral yang lain, merupakan bentuk tidak mengagungkan terhadap Tuhan sebagai Zat Yang Maha Suci.
Meskipun sudah mendapat klarifikasi, tema ini tetaplah menunjukkan kualitas pemikiran mahasiswa yang berkembang beberapa tahun terakhir. Jelas kita miris dengan kualitas pemikiran mahasiswa yang ada di perguruan tinggi agama Islam ini. Jenis pemikiran seperti apakah yang selama ini mereka kaji sehingga muncul kalimat dan kata-kata yang tak layak muncul dari mulut seorang mahasiswa? Tentu ini menjadi pertanyaan besar yang harus segera terjawab sebelum datangnya generasi-generasi berikutnya yang bisa jadi semakin parah kualitas pemikirannya.
Namun ternyata, realitasnya hal ini tak hanya terjadi di kampus agama Islam saja. Fakta lain menyebutkan bahwa tanggal 6 September lalu 5 orang mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia menggugat UU Perkawinan ke Mahkamah Konstitusi. Mereka menggugat pasal 2 ayat 1 UU Nomor 1 tahun 1974 yang menyatakan bahwa “Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaan itu.” Intinya mereka menginginkan siapapun boleh menikah dengan siapa saja tanpa harus memperhatikan agama dan kepercayaannya, tak boleh disyaratkan pernikahan harus dengan kesamaan agama. Ini adalah sebuah bentuk pemikiran yang sungguh sangat meresahkan masyarakat. Sebab para mahasiswa ini adalah generasi penerus kehidupan. Bisa dibayangkan jika kualitas pemikirannya seperti ini ke arah manakah kira-kira masa depan umat ini?
Belum lagi jika sedikit menengok ke belakang saat seruan LGBT semakin santer diteriakkan. Bahkan disinyalir ada puskesmas di Jakarta yang berani memampang poster yang berisi ajakan LGBT sebagaimana dalam retweet https://twitter.com/B_The_Truth/status/480204808817614848/photo/1
Fakta-fakta ini semua menunjukkan bahwa opini santer yang berkembang di kalangan generasi muda, baik kalangan mahasiswa atau non mahasiswa, mengarah pada satu bentuk kebebasan baik kebebasan berperilaku, kebebasan beragama dan kebebasan berpendapat. Kebebasan ini berujung pada tuntutan untuk bersikap toleran terhadap setiap perbedaan yang ada, tak boleh ada upaya menghakimi atau menyalahkan orang lain. Intinya generasi muda harus memahami keberagaman, tepatnya mereka harus menjadi pejuang pluralis.
Opini ini terus bergulir dan nampak perkembangannya dalam berbagai peristiwa di tanah air. Sengaja atau tidak, yang pasti opini semacam ini masuk ke Indonesia melalui berbagai kesepakatan dengan negara Barat atau kesepakatan beberapa negara dengan badan Internasional yang lainnya. Realitas yang tak terelakkan dapat terlihat dalam hasil pertemuan Forum Global UNAOC (United Nations Alliance of Civilizations) ke-6 di Bali tanggal 29-30 Agustus yang lalu.
Forum global yang mengusung tema “Persatuan dalam Keberagaman” itu mendiskusikan sejumlah isu global yang menjadi perhatian Aliansi Peradaban yaitu pemuda, pendidikan, media, dan migrasi.Dalam isu pemuda, forum global ini merekomendasikan para pemuda dunia untuk memiliki kegiatan yang berguna bagi masyarakat mereka sehingga terhindar dari sifat intoleransi, ekstrimisme, dan ketakutan terhadap orang-orang dari negara lain (xenophobia). (http://indonesia.ucanews.com/2014/09/01/forum-unaoc-bali-tegaskan-persatuan-dalam-keberagaman/). Terkait Isu media, forum ini merekomendasikan agar masyarakat memahami dan menghargai kekuatan besar yang dimiliki media dan kerusakan yang dapat disebabkannya, menyadari bahwa materi yang dipublikasikan, apapun bentuknya, dapat menghasilkan kerusakan secara bersama-sama. Pada isu pendidikan, forum itu merekomendasikan pendidikan antar-agama dalam kurikulum sekolah dasar dan sekolah menengah sebagai upaya untuk lebih memahami antar-individu dari latarbelakang budaya yang berbeda.
Dengan demikian, penguatan arus pluralisme dalam negeri ini berjalan seiring dengan arus dari luar negeri. Tujuannya menginginkan perubahan sikap dan standar hidup masyarakat Indonesia sehingga menjadi lebih inklusif, toleran, dan pluralis. Dan bisa jadi hal ini dapat menghilangkan sebagian ajaran Islam yang selama ini dianggap eksklusif, intoleran dan penuh dengan kekerasan. Selanjutnya akan menghilangkan peran Islam sebagai mafahim(pemahaman), maqayyis(standar) dan qonaah(perasaan) masyarakat Indonesia yang mayoritas muslim.
Mendudukkan Kembali Pluralisme
Pluralitas adalah sebuah realitas alamiah. Pluralitas dalam artian adanya keanekaragaman ras, suku, golongan, dan seterusnya, – baik secara fisik maupun non fisik- , merupakan sunatullah sebagaimana firman Allah SWT dalam QS Al Hujurat ayat 13.
Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa – bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.
Islam mengajarkan umatnya agar senantiasa menghormati orang lain, sekalipun berbeda agama dan keyakinan. Islam juga menganjurkan umatnya untuk bekerjasama dan tolong menolong dengan umat lain sebagaimana disebutkan dalam QS Al Mumtahanah ayat 8, dalam batas-batas yang telah ditentukan. Rasulullah SAW bahkan mencela orang-orang yang menghina dan merendahkan kafir dzimmi. Selain itu kaum muslim tidak dibenarkan memaksa umat lain untuk menjadi penganut Islam seperti apa yang tertuang dalam QS Al Kaafirun. Sejarah justru membuktikan banyak umat lain yang berbondong-bondong masuk Islam setelah mereka merasakan sendiri keagungan Islam dan kesejahteraan hidup di bawah naungan pemerintahan Daulah Islam. Inilah gambaran pluralitas yang diakui Islam.
Namun hal ini tidak boleh diartikan bahwa Islam memiliki paham pluralisme. Sebab pluralisme adalah paham yang mentoleransi adanya ragam pemikiran, agama, kebudayaan, peradaban dan lain-lain. Kemunculan ide pluralisme didasarkan pada sebuah keinginan untuk melenyapkan ‘klaim keberanan’ (truth claim) yang dianggap menjadi pemicu munculnya sikap ekstrem, radikal, perang atas nama agama, konflik horisontal, serta penindasan atas nama agama. Pluralisme akan menjamin terciptanya keharmonisan dan menghindari klaim kebenaran mutlak dari salah satu kelompok dalam masyarakat. Karena menurut paham ini, rasa benar sendiri dan ekslusivisme merupakan biang terjadinya berbagai tindak kekerasan dan diskriminasi di tengah-tengah masyarakat. Inilah hakikat ide pluralisme yang saat ini dipropagandakan di dunia Islam melalui berbagai cara dan media.
Dalam perkembangannya, ada faktor lain yang mempercepat penyebaran pluralisme ini. Yakni faktor kepentingan ideologis dari Kapitalisme untuk melanggengkan dominasinya di dunia. Selain isu-isu demokrasi, hak asasi manusia dan kebebasan serta perdamaian dunia, pluralisme telah menjadi sebuah gagasan yang terus disuarakan Kapitalisme global yang digalang Amerika Serikat untuk menghalangi kebangkitan Islam. Karena itu, jika ditinjau dari aspek sejarah, faktor pertama (upaya untuk menghilangkan truth claim/klaim kebenaran) bolehlah diakui sebagai alasan awal munculnya gagasan pluralisme. Namun selanjutnya, faktor dominan yang memicu maraknya isu pluralisme adalah niat Barat untuk makin mengokohkan dominasi Kapitalismenya, khususnya atas dunia Islam.
Dalam buku A New Religion America : How A ”Christian Country” Has Become The World’s Most Religiuosly Diverse Nation (2002) karya Diana L Eck dikatakan bahwa pluralisme bukan saja berbicara pada perbedaan, tapi juga pada komitmen, keterlibatan, dan partisipasi antar pemeluk agama dalam aktifitas keagamaan. Pluralisme juga pertukaran, dialog, dan perdebatan dalam masalah teologi. Jadi pluralisme tidak hanya terbatas sekedar pada toleransi. Bahkan dalam buku yang lain “The challenge of pluralism,” Diana L Eck menggandengkan pluralitas dengan pluralisme. Sebab, menurutnya, pluralitas saja tidak cukup, seorang pluralis harus terlibat intens. Artinya mengakui pluralitas agama tidak cukup, mestinya mengakui realitas kebenaran agama-agama. Itulah target program pluralisme.
Bahaya Pluralisme dalam Pandangan Islam
Ide pluralisme yang berasal dari Barat ini menyimpan bahaya untuk Islam. Bahaya itu diantaranya adalah Pertama, mengaburkan konsep Islam sebagai ajaran keyakinan sekaligus solusi total setiap permasalahan kehidupan. Semua agama/pemahaman/doktrin/ ideologi dianggap hanya berbeda secara kulit, tapi tidak dengan isi (substansi). Selain membahayakan aqidah, pemahaman seperti ini dapat menggiring kaum muslim untuk bersikap ”moderat” dalam memahami dan mengamalkan Islam. Ketika mereka harus terbuka dan mau menerima ajaran lain sebagai sebuah kebenaran, maka telah terjadi pencampuran antara yang haq dan yang bathil. Shalat dan puasa tetap dikerjakan, do’a bersama, nikah beda agama antara perempuan muslim dengan laki-laki non muslim juga dilakukan. Bahkan, di Yogyakarta ada satu tempat ibadah yang diperuntukkan bagi seluruh agama.
Kedua, munculnya agama-agama baru yang diramu dari berbagai agama yang ada. Munculnya sejumlah aliran sesat di Tanah Air seperti Ahmadiyah pimpinan Mirza Ghulam Ahmad, Jamaah Salamullah pimpinan Lia Eden, al-Qiyadah al-Islamiyah pimpinan Ahmad Mosadeq, adalah beberapa contohnya. Lalu dengan alasan pluralisme pula, pendukung pluralisme agama menolak pelarangan terhadap berbagai aliran tersebut, meski itu berarti penodaan terhadap Islam.
Ketiga, pluralisme tidak bisa dilepaskan dari agenda penjajahan Barat. Ini merupakan upaya Barat untuk mengglobalkan nilai-nilai Kapitalismenya. Karena itu, jika kita menerima pluralisme agama berarti kita harus siap menerima Kapitalisme itu sendiri.
Inilah bahaya pemahaman pluralisme yang telah dan sedang mengancam kaum Muslimin saat ini, ketika kaum Muslimin kehilangan Kepemimpinan yang berfungsi sebagai “perisai/junnah” (baca: Khilafah Islamiyah) hampir satu abad lalu. . Khilafah Islamiyah adalah kepemimpinan umum bagi kaum Muslim yang menerapkan Islam, melindungi akidah Islam serta menjaga kemuliaan Islam dari berbagai penodaan, termasuk oleh pluralisme. [Buletin Shalihah] [www.visimuslim.com]
Posting Komentar untuk "Generasi Pluralis Mengokohkan Hegemoni Kapitalisme"