Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Puncak Kenikmatan

Nikmat adalah anugerah yang diberikan oleh Allah SWT kepada setiap hamba-Nya. Tapi, sayang, tidak sedikit hamba-Nya yang terperdaya dengan anugerah yang diberikan kepadanya. Nikmat itu membuat kita lupa, lupa diri, bahkan melupakan Dzat Maha Pemberi nikmat.

ilustrasi
Kita seringkali lupa, bahwa semua kenikmatan yang diberikan oleh Allah SWT di dunia ini hanya sementara. Kecantikan, ketampanan, kekuatan, kekayaan, kedudukan, kecerdasan, ilmu, jabatan, isteri, anak, rumah, mobil, dan semua yang melekat pada diri kita tidak ada yang abadi. Satu per satu datang dan pergi. Semuanya akan diambil oleh Dzat Maha Pemberi.

Kita lupa, bahwa semua kenikmatan itu sewaktu-waktu bisa diambil oleh yang memberi. Karena semua kenikmatan itu tak lebih dari nikmat ‘ariyah, yang dipinjamkan oleh Pemilik Hakiki, Allah Dzat yang Maha Abadi. Dialah yang meminjamkan kecantikan, ketampanan, kekuatan, kekayaan, kedudukan, kecerdasan, ilmu, jabatan, isteri, anak, rumah, mobil, dan semua yang melekat pada diri kita itu untuk kita nikmati.

Sayang, justru kita sering mengejar nikmat semu, nikmat pinjaman yang fana ini, seolah semuanya itu abadi. Kita juga sering lupa, bahwa seluruh kenikmatan yang kita pinjam ini kelak harus kita pertanggungjawabkan di hadapan Pemiliknya:

ثُمَّ لَتُسْأَلُنَّ يَوْمَئِذٍ عَنِ النَّعِيْمِ

“Kemudian kamu pada hari itu pasti akan dimintai pertanggungjawaban atas seluruh kenikmatan (yang telah diberikan kepadamu).” (Q.s. at-Takatsur [102]: 8)

Untuk apa umur, waktu, harta, jabatan, kecantikan, kecerdasan, ilmu dan sebagainya yang kita miliki? Apakah kita gunakan untuk melakukan ketaatan kepada-Nya, atau justru kita gunakan untuk melawan titah-Nya? Itulah, sebagian bentuk pertanggungjawaban yang harus kita lakukan di hadapan Sang Pemilik nikmat.

Iya, semua kenikmatan itu harus kita pertanggungjawabkan di hadapan Sang Pemilik nikmat. Saat telinga, mata dan hati kita dimintai pertanggungjawaban (Q.s. al-Isra’: 36), mulut kita pun dikunci, tak bisa berkata sepatah kata pun. Tangan kita berbicara, dan kaki-kaki kita menjadi saksi di hadapan-Nya atas seluruh tindakan yang pernah kita lakukan di dunia (Q.s. Yasin: 65).

Ketika seluruh kenikmatan semu dan fana di dunia itu diambil satu per satu oleh Sang Pemilik nikmat, kelak kita pun harus mempertanggungjawabkan semuanya kepada-Nya, justru ada kenikmatan hakiki nan abadi yang kita lupakan. Nikmat itu tak lain adalah kerinduan yang membuncah tuk berjumpa dengan-Nya saat di dunia, dan nikmat melihat wajah-Nya saat di surga. Nabi saw. pun menyelipkan itu dalam doanya:

اللَّهُمَّ بِعِلْمِكَ الْغَيْبَ، وَقُدْرَتِكَ عَلَى الْخَلْقِ، أَحْيِنِيْ مَا عَلِمْتَ الْحَيَاةَ خَيْرًا لِيْ، وَتَوَفَّنِيْ إِذَا كَانَتْ الْوَفَاةُ خَيْرًا لِيْ، اللَّهُمَّ وَأَسْأَلُكَ خَشْيَتَكَ فِي الْغَيْبِ وَالشَّهاَدَةِ، وَأَسْأَلُكَ كَلِمَةَ الْحَقِّ فِي الْغَضَبِ وَالرِّضَا، وَأَسْأَلُكَ الْقَصْدَ فِي الْفَقْرِ وَالْغِنَى، وَأَسْأَلُكَ نَعِيْمًا لاَ يَنْفَدُ، وَأَسْأَلُكَ قُرَّةَ عَيْنٍ لاَ تَنْقَطِعُ، وَأَسْأَلُكَ الرِّضَا بَعْدَ الْقَضَاءَ، وَأَسْأَلُكَ بَرْدَ الْعَيْشِ بَعْدَ الَمْوتِ، وَأَسْأَلُكَ لَذَّةَ النَّظْرِ إِلَى وَجْهِكَ، وَأَسْأَلُكَ الشَّوْقَ إِلَى لِقَائِكَ، فِيْ غَيْرِ ضَرَّاءٍ مُضِرَّةٍ، وَلاَ فِتْنَةٍ مُضِلَّةٍ، اللَّهُمَّ زَيِّنَّا بِزِيْنَةِ الإِيْمَانِ وَاجْعَلْنَا هُدَاةً مُهْتَدِيْنَ.

“Ya Allah, dengan Kemahatahuan-Mu akan perkara yang gaib, dan Kemahakuasaan-Mu atas makhluk, maka hidupkan hamba jika Engkau tahu hidup ini lebih baik bagi hamba. Wafatkanlah hamba, jika Engkau tahu kematian ini lebih baik bagi hamba. Ya Allah, hamba juga memohon kepada-Mu rasa takut kepada-Mu, di kala sendiri maupun bersama orang lain. Hamba mohon kepada-Mu kata-kata yang haq, di kalan marah maupun senang. Hamba mohon kepada-Mu bersikap wajar, di kalan miskin maupun kaya. Hamba mohon kepada-Mu nikmat yang tidak pernah habis. Hamba mohon kepada-Mu kesenangan yang tidak terputus. Hamba mohon kepada-Mu hati yang ridha setelah menerima keputusan-Mu. Hamba mohon kepada-Mu kehidupan yang sejuk setelah kematian. Hamba mohon kepada-Mu kenikmatan melihat wajah-Mu. Hamba mohon kepada-Mu kerinduan yang membuncah tuk berjumpa dengan-Mu, bukan di kala susah yang luar biasa. Ya Allah, hiasilah hamba dengan hiasan iman. Jadikanlah hamba sebagai penyuluh yang selalu mendapat hidayah.” (Hr. Ahmad, Ibn Hibban dan al-Hakim)

Maka, baginda saw. pun memohon nikmat yang tak pernah sirna itu dalam doanya. Nikmat rindu yang membuncah tuk berjumpa dengan-Nya saat di dunia. Namun, kita tak kan pernah mereguknya, jika tidak kita pernah mencintai-Nya. Karena, perasaan rindu kepada-Nya itu hadir di kala kita benar-benar mencintai-Nya dengan sepenuh jiwa dan raga. Hanya orang yang dimabuk cinta kepada-Nya, tanpa sadar mulutnya selalu menyebut nama dan sifat kekasihnya. Begitulah Nabi saw. yang selalu membasahi bibir dan batin sucinya dengan mengigat-Nya.

Orang yang dimabuk cinta kepada-Nya, tidak pernah terlelap lama dalam tidurnya, karena cinta-Nya membuatnya terjaga. Nabi saw. terjaga di tengah malam tuk bermesraan dengan kekasihnya, di kala isteri dan sahabatnya masih belum terjaga. Saat ‘Aisyah merabanya di tempat tidur, baginda saw. pun sedang khusyu’ dalam munajat cintanya, tuk memenuhi titah kekasih abadinya, Allah SWT. Bahkan, sampai kakinya bengkak pun baginda saw. tak terasa. “Ya Rasul, apa yang Engkau lalukan terhadap dirimu? Bukankah semua dosamu yang lalu dan yang akan datang telah diampuni oleh Allah?” tanya ‘Aisyah, ketika melihat begitu rupa kesungguhan Nabi dalam munajat kepada Rabb-nya. Dalam riwayat lain Nabi saw bertutur, “Ingat, sesungguhnya barang perniagaan Allah itu mahal. Ingat, sesungguhnya perniagaan Allah itu adalah surga.” (Hr. at-Tirmidzi dan al-Hakim).

Karena cinta dan rindu yang membuncah, sakit sekujur badan pun tak dirasa. Lihatlah, bagaimana Sumayyah, isteri Yasir, ibunda ‘Amar bin Yasir, saat disiksa oleh kaum Kafir Quraisy dengan siksaan luar biasa. Sampai-sampai kemaluannya ditusuk dengan tombak pun tak menyurutkan imannya. Sungguh luar biasa wanita mulia ini. Simaklah kata-kata indah, saat Nabi saw. bersabda kepadanya, “Bersabarlah wahai keluarga Yasir, karena sesungguhnya janji (dari Allah) untuk kalian adalah surga.” Wanita tua itu pun menjawab penuh kerinduan, “Ya Rasulullah, demi Allah, surga itu benar-benar tampak di depanku.” Wanita mulia dan luar biasa ini pun akhirnya menemui kekasih abadinya, sebagai syahidah pertama.

Kerinduan yang membuncah tuk bertemu dengan Rabb-nya itulah yang membuat Nabi saw. dan para sahabat ra. tak pernah takut menghadapi kematian. Karena mati adalah perjumpaan hamba dengan Rabb-nya yang pertama saat di dunia. Simaklah surat Nabi kepada para raja dan penguasa di luar sana, “Masuk Islamlah, maka kalian akan selamat. Sesungguhnya akan datang kepada kalian suatu kaum, yang mencintai kematian, sebagaimana kalian mencintai kehidupan.”

Lihatlah, untaian indah kata-kata Ja’far saat Perang Mu’tah, “Duhai surga, alangkah dekatnya. Sungguh indah semerbak baunya, dan sejuk minumannya..” Itulah ungkapan rindu Ja’far. Karena kerinduannya yang membuncah, dia pun mengarungi peperangan dahsyat itu dengan sepenuh jiwa dan raganya. Saat tangan kanannya terpenggal, bendera yang ada di tangannya dia sambar dengan tangan kirinya. Saat tangan kirinya pun terpenggal, bendera itu pun disambar dengan sisa-sisa lengannya. Sampai akhirnya, dia pun gugur sebagai syahid di medan laga. Nabi pun menyematkan gelar nan indah kepadanya, Dzu al-janahain (orang yang mempunyai dua sayap). Setelah itu, Nabi saw. pun menuturkan, “Tadi malam aku masuk surga. Aku telah melihat Ja’far terbang bersama para malaikat, sementara kedua sayapnya masih berlumuran darah.” (Hr. al-Hakim)

Apa yang membuat Handhalah sanggup meninggalkan tempat tidurnya, di saat menikmati bulan madunya, bersama isteri tercinta yang baru saja dinikahinya? Karena cinta, dan kerinduannya untuk bertemu Rabb-Nya. Dia pun berangkat meninggalkan isterinya menyambut seruan Perang Uhud. Dia akhirnya gugur sebagai syahid. Jasadnya yang mulia itu pun diangkat oleh para malaikat ke langit, dan dimandikan, sehingga dia mendapatkan gelar, Handhalah al-Ghasil (Handhalah yang dimandikan malaikat).

Iya, nikmat hakiki dan abadi itu memang tak terperi. Bahkan, saat nikmat itu diberi, seluruh kenikmatan abadi yang lain di surga pun tak kuasa menandingi. Nabi saw. menuturkan:

ثُمَّ يُنَادِي مُنَادٍ: يَا أَوْلِيَاءَ اللهِ هَلْ بَقِيَ مِمَّا وَعَدَكُمُ اللهُ (رَبُّكُمْ) شَيْءٌ؟ فَيَقُوْلُوْنَ: لاَ وَقَدْ أَنْجَزَنَا مَا وَعَدَنَا فَماَ بَقِيَ شَيْءٌ إِلاَّ النَّظْرَ إِلَى وَجْهِهِ، فَتَتَجَلَّى لَهُمُ الرَّبُّ تَباَرَكَ وَتَعاَلَى فِي حُجُبٍ، فَيَقُوْلُ: ياَ جِبْرِيْلُ اِرْفَعْ حِجَابِي لِعِبَادِيْ كَيْ يَنْظُرُوْنَ إِلَى وَجْهِيْ. قَالَ: فَيَرْفَعُ الْحِجَابَ الأَوَّلَ فَيَنْظُرُوْنَ إِلَى نُوْرٍ مِنَ الرَّبِّ فَيَخِرُّوْنَ سُجَّدًا فَيُنَادِيْهِمُ الرَّبُّ أَنْ اِرْفَعُوْا رُؤُوْسَكُمْ إِنَّهاَ لَيْسَتْ بِدَارِ عَمَلٍ، إِنَّمَا هِيَ دَارُ ثَوَابٍ فَيَرْفَعُ الْحِجَابَ الثَّانِيَ فَيَنْظُرُوْنَ أَمْرًا هُوَ أَعْظَمُ وَأَجَلُّ فَيَخِرُّوْنَ للهِ حَامِدِيْنَ سَاجِدِيْنَ، فَيُنَادِيْهِمُ الرَّبُّ أَنْ اِرْفَعُوْا رُؤُوْسَكُمْ إِنَّهَا لَيْسَتْ بِدَارِ عَمَلٍ، إِنَّمَا هِيَ دَارُ ثَوَابٍ وَنَعِيْمٌ مُقِيْمٌ، فَيَرْفَعُ الْحِجَابَ الثَّالِثَ فَعِنْدَ ذَلِكَ يَنْظُرُوْنَ إِلَى وَجْهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ، فَيَقُوْلُوْنَ حِيْنَ يَنْظُرُوْنَ إِلَى وَجْهِهِ: سُبْحَانَكَ مَا عَبَدْنَاكَ حَقَّ عِبَادَتِكَ، فَيَقُوْلُ: كَرَامَتِيْ أَمْكَنَتْكُمْ مِنَ النَّظْرِ إِلَى وَجْهِيْ وَأَحْلَتْكُمْ دَارِيْ، فَيَأْذِنَ اللهُ لِلْجَنَّةِ أَنْ تُكَلِّمِيْ فَتَقُوْلُ: طُوْبَى لِمَنْ سَكَنَنِيْ، وَطُوْبَى لِمَنْ يَخْلُدُ فِيّ، وَطُوْبَى لِمَنْ أَعْدَدْتُ لَهُ.

“Kemudian ada yang memanggil: Wahai para kekasih Allah, apakah masih ada yang telah dijanjikan Tuhanmu (Allah) belum ditunaikan? Mereka menjawab, “Tidak. Semua yang telah Dia janjikan telah ditunaikan, kecuali melihat wajah-Nya.” Maka, Allah Tabaraka Wa Ta’ala pun menampakkan kepada mereka di balik beberapa tabir. Lalu berfirman, “Wahai Jibril, angkatlah tabir-Ku untuk hamba-Ku, agar mereka bisa melihat wajah-Ku. Bersabda Nabi, “Jibril pun mengangkat tabir-Nya yang pertama, mereka pun bisa melihat cahaya dari Tuhannya. Mereka bersimpuh sujud kepada-Nya. Allah pun memanggil mereka, “Angkat kepala kalian. Ini bukanlah tempat beramal, tetapi tempat pahala.” Maka, Jibril pun mengangkat tabir yang kedua, sehingga mereka bisa melihat sesuatu yang lebih agung. Mereka pun bersujud sambil bersyukur. Allah pun memanggil mereka, “Angkat kepala kalian. Ini bukanlah tempat beramal, tetapi tempat pahala dan nikmat yang kekal.” Jibril pun mengangkat tabir yang ketiga, sehingga mereka bisa melihat wajah Tuhan semesta alam. Ketika mereka melihatnya, mereka berkata, “Maha Suci Engkau ya Allah, kami selama ini belum menyembah-Mu dengan sesungguhnya.” Allah berfirman, “Kemuliaan-Ku yang memungkinkan kalian melihat wajah-Ku. Kemuliaan-Ku pula yang menempatkan kalian dalam surga-Ku.” Allah lalu mengizinkan surga untuk berbicara, “Berbicaralah.!“ Maka, surga pun berbicara, “Beruntunglah bagi siapa saja yang mendiamiku. Beruntunglah bagi siapa saja yang kekal di dalamku. Beruntunglah bagi siapa saja yang aku telah dipersiapkan untuknya.” (Tahdzib ad-Tahdzib, Juz IX/222; Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah, Raudhatu al-Muhibbin, hal. 297-298).

Itulah nikmat puncak, melihat wajah Allah SWT di surga. Ketika nikmat yang tak terperi itu diberi, maka seluruh nikmat yang lain pun tak teringat lagi. Maka, siapa saja yang ingin merengkuhnya, dia pun sanggup mengabaikan nikmat yang fana. Nikmat pinjaman yang hanya sementara. Semoga kita bisa meraihnya. [KH. Hafidz Abdurrahman] [www.visimuslim.com]

Posting Komentar untuk "Puncak Kenikmatan"

close