Merindukan Peran Negara dalam Mewujudkan Generasi Berkarakter Terpuji

 




Oleh: Afiyah Rasyad (Aktivis Peduli Umat)


Syahdan, berita pembunuhan oleh generasi berdentang di setiap sudut negeri. Alunan alasan begitu beragam menjadikan para pemuda menanggalkan rasa empati. Mereka begitu ringan melakukan perbuatan keji. Menghilangkan nyawa seolah perkara ringan. Generasi masa kini sangat jauh dari akhlak mulia dan terpuji.

Kasus pembunuhan oleh generasi muda terhampar tanpa jeda, entah menghilangkan nyawa teman sebaya, orang tua, saudara, dan siapa pun yang dianggap menyelisihi pandangannya. Terbaru kabar datang dari OKU Timur, di mana seorang anak yang tega menembak ibunya hingga meregang nyawa karena perkara utang. Sebagaimana dilansir Liputan6.com (26/4/2025), Warga Desa Bangun Rejo Kecamatan Belitang II Kabupaten Ogan Komering Ulu (OKU) Timur Sumatera Selatan (Sumsel) dibuat geger dengan kematian HF (50), Penjabat sementara (Pjs) Kepala Desa (Kades) Bangun Rejo, Kamis (24/4/2025) lalu. Korban HF tutup usia usai ditembak oleh anak kandungnya sendiri GW (25) menggunakan senjata api rakitan (senpira) di kediamannya di OKU Timur Sumsel.

Kasus ini bukan yang pertama. Deretan kasus pembunuhan oleh kawula muda seakan berkejaran dengan waktu yang terus melaju dalam buaian kecanggihan teknologi. Menjadi tanda tanya besar dalam benak insan yang mau berpikir, "Kenapa pembunuhan oleh generasi banyak terjadi? Bagaimana dengan sanksi yang ditegakkan atas mereka?" Saat banyak generasi yang ringan dalam melakukan perbuatan keji, maka mewujudkan generasi berakhlak terpuji "jauh panggang dari api."

Faktor-Faktor yang Menjauhkan Generasi dari Karakter Terpuji

Banyaknya kasus pembunuhan dan aksi kriminal lainnya yang dilakukan generasi tentu bukan tanpa sebab. Hal ini menjadikan generasi jauh dari karakter terpuji. Adapun faktornya antara lain:

Pertama, disfungsi keluarga. Sungguh, aksi kejahatan atau kriminalitas yang dilakukan generasi terus meningkat. Hal ini tak lepas dari pendidikan, pengasuhan, dan kontrol dari keluarga. Bagaimanapun orang tua adalah orang pertama yang harus hadir dalam membangun karakter terpuji dengan mengokohkan keimanan di dalam diri. Sayang, keluarga mengalami disfungsi karena kesibukan orang tua dalam bekerja demi memenuhi ekonomi. Kalaupun ekonomi mapan, banyak pula orang tua sekadar memuaskan anaknya dari sis materi. Walhasil, anak tumbuh tanpa sentuhan dasar keimanan yang kokoh dan bekal agama ataupun norma yang kuat.

Kedua, sistem pendidikan sekuler liberal. Maksud hati ingin membina anak di lembaga pendidikan agar memahami tatakrama, generasi justru berada dalam kesimpangsiuran kurikulum setiap waktunya. Fokus utama pendidikan bukan membentuk karakter islami dan terpuji karena memang perkara agama dijauhkan dari kehidupan. Apalagi kebebasan kian menjulang dengan adanya kurikulum merdeka, yang mungkin akan kembali berganti. Fokus pendidikan saat ini seakan menegaskan bukan mengurusi perilaku dan skill peserta didiknya, tetapi lebih ke proses mencapai materi, meski peserta didik hanya menjadi buruh.

Ketiga, sarana informasi liberal. Tak dimungkiri, media online saat ini menjajah pemikiran siapa pun, terutama generasi. Fomo dan sikap membebek begitu kental dengan kehidupan muda-mudi zaman now. Hal yang viral terus diikuti walaupun itu keburukan. Video pembunuhan yang berseliweran di medsos seolah menjadi tutorial bagi generasi untuk melakukan hal serupa. Adanya medsos tidak menjadikan generasi larut dalam prestasi dan karakter terpuji, justru informasi yang ada banyak datang dari influencer dan selebgram yang liberal gaya hidupnya.

Keempat, generasi tak paham hakikat hidup. Para pemuda banyak yang tidak memahami hakikat diri dan perbuatannya. Mereka tidak paham tujuan hidupnya apa di dunia ini sehingga mencoba melakukan hal-hal yang bisa menunjukkan eksistensinya. Garizah baqa’ (naluri mempertahankan diri) mereka membanjiri kehidupan yang serba bebas, meluap-luap, tetapi mereka tidak tahu cara untuk memenuhinya sehingga aktivitas kekerasan banyak dilakukan generasi. Apalagi, sistem kapitalisme saat ini menggiring generasi menjadikan capaian materi sebagai tujuan hidupnya sehingga mereka tidak peduli pada tuntunan agama. Jika mereka sudah memiliki materi, hidupnya seolah-olah sudah sukses. Mereka juga lemah dalam mengendalikan dan mengontrol emosinya. Jika ada yang merintangi tujuannya, tak segan ia akan menghabisinya meski  itu orang tuanya sendiri.

Kelima, peran negara sangat minim bahkan seakan punah dalam menjamin kesejahteraan dan melayani rakyatnya. Sikap orang tua yang sibuk mengejar materi bukan tanpa sebab. Sistem ekonomi kapitalisme yang negara terapkan gagal menyejahterakan masyarakat hingga kondisi ekonomi sangat sulit. Berbagai harga kebutuhan dan tarif terus melejit. Godaan gaya hidup dari media sosial menyerang siapa pun sampai tidak bisa membedakan mana kebutuhan dan keinginan. Walhasil, sikap konsumtif memperparah keadaan apalagi saat pemasukan pas-pasan bahkan tak ada sama sekali. Satu-satunya cara bagi orang tua untuk bertahan hidup adalah bekerja keras sampai-sampai melalaikan dari tugas utamanya, yaitu mendidik anak.

Belum lagi arus pemberdayaan ekonomi perempuan yang memaksa para perempuan untuk bekerja sebagai pendorong ekonomi (economic driver) keluarga dan bahkan negara. Hal ini menjadikan para perempuan tidak bisa melakukan tugas utamanya sebagai ibu secara optimal. Ini semua tak lepas dari kebijakan negara.

Keenam, hukum dan sanksinya begitu lemah. Meski telah melakukan kekerasan dengan senjata tajam hingga melukai atau bahkan menghilangkan nyawa orang lain, para pemuda itu tidak mendapatkan sanksi tegas karena dianggap masih anak-anak. Ini karena definisi anak berdasarkan UU 35/2014 tentang Perubahan atas UU 23/2002 tentang Perlindungan Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun. Kalaupun sudah lebih 18 tahun, hukuman bagi pembunuh tidaklah menjerakan apalagi pelakunya adalah anak pejabat, seolah hukum bisa dibeli atau dikompromi.

Beberapa faktor di atas merupakan buah penerapan sistem masyarakat dan bernegara yang sekuler liberal kapitalistik. Sistem ini sungguh tidak memanusiakan manusia sehingga gampang saja bagi generasi melukai dan menghabisi nyawa. Generasi tak paham harga sebuah nyawa. Mereka seakan menganggap membunuh manusia seperti membunuh nyamuk saja. Tidak ada rasa kasihan atau empati pada sesama manusia. Sistem kapitalisme menjauhkan generasi dari karakter mulia dan terpuji.

Dampak Buruk saat Generasi Tak Berkarakter Terpuji

Puing-puing kriminalitas yang dilakukan generasi tentu akan memberikan pengaruh buruk bagi kehidupan, baik kepada mereka sendiri ataupun lingkungan sekitar bahkan negara. Berikut beberapa dampak buruk ketika generasi tak memiliki karakter terpuji:

Pertama, menjadikan pemikiran dan perasaan generasi tumpul. Ketika kejahatan demi kejahatan melekat dalam kehidupan generasi, kepekaan hidup dan rasa kemanusiaan akan memudar bahkan menghilang. Pun dengan pemikiran, generasi enggan berpikir jernih dan mendalam saat meluapkan emosi secara brutal. Mereka tidak akan mengedepankan pemikiran, tetapi emosi dan amarah akan memimpin mereka dalam bertindak.

Kedua, pendidikan dan masa depan tergadaikan. Saat kriminalitas melekat pada kehidupan generasi, proses pendidikan akan terganggangu, baik formal ataupun nonformal. Saat mereka tak mengenyam pendidikan tersebut, otomatis masa depan mereka menjadi suram. Jika demikian, agents of change dari generasi muda juga tak akan bisa lagi diharapkan.

Ketiga, meningkatnya kriminalitas. Hal yang pasti bertambah jika generasi sudah tidak berkarakter terpuji adalah meningkatnya kriminalitas. Kondisi ini akan memberikan dampak sosial yang lebih besar lagi. Kecemasan akan melanda masyarakat luas. Pengangguran dan kemiskinan juga akan makin lebar. Sebab, saat generasi muda sering terlibat kejahatan, mereka akan sering berbuat onar dan mengganggu keamanan dan ketertiban masyarakat. Mereka pun akan sulit mendapatkan pekerjaan lantaran cap jahat sudah kadung menempel pada mereka.

Keempat, tidak akan ada estafet kepemimpinan generasi berkarakter mulia dan terpuji. Negara akan kehilangan banyak  generasi yang berperilaku baik dalam pandangan Zat Yang Maha Baik. Sistem sekuler kapitalisme telah menjadikan negara abai terhadap tugas membentuk generasi berkarakter mulia dan terpuji. Negara telah menyia-nyiakan potensi besar pemuda sehingga yang muncul dari mereka bukan kontribusi, tetapi masalah. Mereka tidak menjadi generasi problem solver, tetapi malah trouble maker alias biang kerok. Sistem sekuler kapitalisme merupakan sistem rusak yang merusak para generasi muda. Mereka seharusnya menjadi pemimpin peradaban masa depan, tetapi justru menjadi beban peradaban.

Sungguh, dampak buruk ini tak boleh dibiarkan begitu saja. Pergantian kepala negara, kepala daerah, bahkan pergantian menteri sering terjadi, tetapi tetap saja generasi muda tetap berkarakter tercela. Jika bersandar terus-menerus pada sistem yang ada, yakni sistem kapitalisme sekuler, tentu tak akan menjumpai muara penyelesaian masalah. Dampak buruk ini harus dibabat hingga tuntas dengan melenyapkan sistem kapitalisme sekuler.

Merindukan Peran Negara dalam Mewujudkan Generasi Berkarakter Terpuji

Kondisi generasi saat ini begitu mengenaskan. Hal itu bertolak belakang dengan kondisi generasi muda dalam tatanan kehidupan Islam. Islam adalah agama yang sempurna, bukan sebatas ritual, tetapi juga mengandung seperangkat aturan dalam seluruh aspek kehidupan. Negara yang menerapkan Islam memiliki sistem pendidikan yang akan menghasilkan generasi berkepribadian mulia.

Akidah Islam menjadi satu-satunya fondasi sistem pendidikan sehingga semua pelajaran selalu berasas akidah Islam. Hal ini dapat mewujudkan sosok pemuda yang beriman dan bertakwa. Generasi muda akan paham hakikat hidupnya, tujuan utama dalam hidup adalah menggapai rida Allah Swt. sehingga perilakunya tidak bebas, tetapi harus selalu terikat dengan ketentuan Allah (syariat Islam). Mereka akan terus menjaga diri agar tidak berbuat maksiat, apalagi kriminal.

Sistem Islam juga memberikan dan menciptakan lingkungan yang kondusif, baik dalam keluarga, masyarakat, maupun kebijakan negara. Suasana keimanan begitu kental dalam kehidupan. Sistem Islam akan merevitalisasi peran keluarga dengan memastikan para orang tua menjalankan fungsinya sebagai pendidik, pengasuh, dan perawat putra-putrinya. Untuk mengembalikan fungsi keluarga, negara akan menyiapkan kurikulum pendidikan dalam keluarga sehingga terwujud keluarga harmonis yang senantiasa memberikan lingkungan yang kondusif bagi putra-putrinya, serta memberikan pengaruh positif kepada lingkungan sekitarnya. Dakwah oleh negara akan ditegakkan sehingga orang tua akan paham kewajibannya untuk mendidik anak. Mereka akan melakukan kewajiban tersebut sebagai bentuk ketaatan pada Allah Taala.

Sistem Islam juga menyuburkan aktivitas amar makruf nahi munkar di tengah kehidupan masyarakat sehingga kemaksiatan dan kriminalitas akan hilang dan minim terjadi. Ini adalah bentuk preventif dalam mencegah aksi kriminal dari generasi dan siapa pun. Islam mewujudkan sistem yang menguatkan fungsi kontrol masyarakat, yakni berupa amar makruf nahi munkar. Dengan demikian, masyarakat turut andil dalam pendidikan generasi muda. Hal ini akan mendukung terwujudnya pemuda taat syariat, berkarakter terpuji, dan bermanfaat bagi umat.

Adapun sanksi akan ditegakkan bagi siapa pun yang melanggarnya sesuai pandangan syariat. Jika seorang anak sengaja membunuh orang tuanya dengan sadar dan ia sudah balig, hukum qisas harus ditegakkan tanpa pandang bulu dan kompromi.

Demikianlah peran negara yang dirindukan saat ini. Negara dapat mewujudkan generasi berkrakter terpuji dengan menerapkan syariat Islam. Sayang, hal itu belum terwujud. Maka sudah seharusnya kaum muslim berupaya sungguh-sungguh mewujudkan kembali kehidupan Islam. Wallahualam.

Posting Komentar untuk "Merindukan Peran Negara dalam Mewujudkan Generasi Berkarakter Terpuji"