Angka HIV-AIDS Melesat, Bagaimana Nasib Generasi Umat ?
Angka penularan HIV/AIDS di Indonesia terus meroket. Pertumbuhan epidemi HIV Indonesia termasuk yang tercepat di Asia. Penularan HIV baru di Indonesia terjadi peningkatan sebesar 162% sejak tahun 2001.
Jumlah infeksi HIV yang dilaporkan kepada Kemenkes pada tahun 2012 mencapai 21.511 orang dan pada tahun 2013 sekitar 29.037 orang. Perkiraan infeksi baru pada tahun-tahun tersebut berkisar 60.000 orang. Dan masih akan terjadi peningkatan jumlah infeksi baru bila tidak ada penambahan dan peningkatan intervensi. Diperkirakan tahun 2015 jumlah ODHA akan meningkat menjadi 1 juta penderita dan akan ada 350.000 kematian akibat AIDS.
Dari banyaknya Orang yang terkena HIV/AIDS di Indonesia, tragisnya ibu rumah tangga menempati peringkat teratas. Jumlahnya mencapai 6.539 di tahun 2014. Data ini dikumpulkan oleh Perkumpulan keluarga Berencana Indonesia (PKBI) di tahun 2007-2014. Mereka adalah korban dari suami mereka yang tertular HIV/AIDS akibat perilaku seks kotor; gonta-ganti pasangan, mendatangi pelacuran, atau penggunaan narkoba dengan jarum suntik.
Berbanding lurus dengan kasus yang terjadi di Indonesia pada umumnya, maka di Tulungagung sendiri penderita HIV/AIDS terus meningkat lebih dari 50%. Rata-rata ada 20 kasus setiap bulan. (Radar Tulungagung, 29/11). Berdasarkan laporan KPA (Komisi Penanggulangan Aids), Tulungagung merupakan penyumbang kasus HIV/AIDS terbesar kelima se-Jawa Timur. Selama 10 tahun terakhir, penderita di Tulungagung menembus angka 1.244 ODHA. 1197 kasus akibat seks bebas, 18 kasus karena penggunaan jarum suntik, dan sisanya karena keturunan dari orang tua yang juga mengindap HIV/AIDS. Menurut Ifada Nur, pengelola KPA Tulungagung, ada tiga faktor utama penyebab tingginya penyebaran virus mematikan ini. Di antaranya adalah banyaknya pekerja seks komersial yang tersebar di berbagai tempat, banyaknya tempat hiburan yang menfasilitasi seks bebas, dan tingginya TKI/buruh migran dari Tulungagung yang tertular HIV/AIDS ini di negeri tempat mereka bekerja. (Radar Tulungagung, 7/12)
Sesungguhnya, apa akar masalah yang melatarbelakangi terus meningkatnya penyebaran virus mematikan ini? Bagaimana nasib generasi umat jika hal ini terus dibiarkan?
Inilah Biang Keroknya
Penyakit HIV/AIDS memang menjadi bala terbesar bagi umat manusia. Namun, tak bisa dipungkiri, persoalan ini sesungguhnya terikat erat dengan pola kehidupan sekuler kapitalistik yang menjauhkan aturan agama dari kehidupan. Perilaku seks bebas menjadi penyebab utama penyakit mematikan ini. Saking beratnya persoalan ini, dunia pun menggagas 1 Desember sebagai hari AIDS sedunia. Harapannya, ada komitmen bersama seluruh negara untuk memerangi penyakit menular itu. Namun benarkah itu yang terjadi? Ternyata persoalan ini malah makin parah. Kampanye seks aman ternyata tidak mengurangi penyebaran penyakit ini. Alih-alih mencegah, kampanye ini malah menjadi bisnis para kapitalis (perusahaan kondom dan obat-obatan). Lantas apa gunanya seks aman?
Allah menjanjikan kesulitan jika manusia berpaling dari peringatan-Nya. “Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta” (TQS. Thaha: 124).
Sungguh, persoalan HIV/AIDS adalah persoalan kemaksiatan kepada Sang Khaliq. Itulah yang akan diterima manusia ketika mereka mengkampanyekan seks aman demi menekan penularan penyakit ini. Sebab, kampanye seperti ini justru merupakan kampanye untuk membiarkan kemaksiatan (seks bebas), baik heteroseksualitas maupun homoseksualitas. Inilah yang membuat manusia terus dirundung kegelisahan hanya oleh sebuah penyakit.
“Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa” (TQS. Ali Imran: 133)
Musibah ini seharusnya makin menyadarkan kita akan pentingnya kembali kepada hukum-hukum Allah untuk menyelamatkan generasi umat, baik secara preventif maupun kuratif.
Tindakan Preventif
Sumber penyakit AIDS ini jelas, yaitu gonta-ganti pasangan seks, atau perzinaan, dan seks bebas. Karena itu, dengan tegas Islam mengharamkan hal itu. Allah SWT berfirman: “Janganlah kalian mendekati perzinaan, karena sesungguhnya perzinaan itu merupakan perbuatan yang keji, dan cara yang buruk (untuk memenuhi naluri seks).” (QS al-Isra: 32)
Islam bukan hanya mengharamkan perzinaan, tetapi semua jalan menuju perzinahaan pun diharamkan. Di antaranya adalah mengharamkan pria dan wanita nonmahram berkhalwat (menyendiri/berduaan), bahkan saling memandang lawan jenis pun diharamkan. Islam juga mengharamkan pria dan wanita menampakkan auratnya, bagi wanita seluruh badan, kecuali wajah dan kedua telapak tangan. Sedangkan bagi pria, haram memperlihatkan pahanya, melihat paha orang hidup maupun mayit. Islam juga mengharamkan wanita berpakaian tabarruj, yaitu berdandan yang bisa memancing perhatian lawan jenis. Seperti menampakkan lekuk tubuh, memakai parfum, atau make up yang menarik perhatian, sebagaimana cara perempuan jahiliyah bertabarruj. Selain itu, Islam juga memerintahkan untuk menundukkan pandangan kepada lawan jenis dan menjaga kemaluan mereka.
Ini dari aspek pelakunya. Dari aspek obyek seksualnya, Islam pun melarang produksi, konsumsi dan distribusi barang dan jasa yang bisa merusak masyarakat, seperti pornografi dan pornoaksi. Karena semuanya ini bisa mengantarkan pada perbuatan zina. Kaidah ushul menyatakan, “Sarana yang bisa mengantarkan pada keharaman, maka hukumnya haram.”
Tindakan Kuratif
Jika seluruh hukum dan ketentuan di atas diterapkan, maka praktis pintu zina telah tertutup rapat. Dengan begitu, orang yang melakukan zina, bisa dianggap sebagai orang-orang yang benar-benar nekat. Maka terhadap orang-orang seperti ini, Islam memberlakukan tindakan tegas. Bagi yang telah menikah (muhshan), maka Islam memberlakukan sanksi rajam (dilempari batu) hingga mati. Bagi yang belum menikah (ghair muhshan), Islam memberlakukan sanksi jild (cambuk) hingga 100 kali. Jika pelaku zina muhshan di-rajam sampai mati, maka salah satu sumber penyebaran penyakit AIDS ini pun dengan sendirinya bisa dihilangkan.
Punishment juga diberikan kepada semua bentuk pelanggaran yang bisa ‘mengantarkan’ pada perbuatan zina. Dalam hal ini, Islam menetapkan sanksi dalam bentuk ta’zir, yang bentuk dan kadarnya diserahkan kepada hakim.
Lalu, bagaimana dengan mereka yang tertular penyakit AIDS, dan bukan pelaku zina? Seperti ibu rumah tangga yang tertular dari suaminya yang heteroseksual, atau anak-anak balita, dan orang lain yang tertular, misalnya, melalui jarum suntik, dan sebagainya?
Karena itu merupakan masalah kesehatan yang menjadi hak masyarakat, maka negara wajib menyediakan layanan kesehatan nomor satu bagi penderita penyakit ini. Mulai dari perawatan, obat-obatan hingga layanan pengobatan. Khilafah juga akan melakukan riset dengan serius untuk menemukan obat yang bisa menanggulangi virus HIV-AIDS ini.
HIV merupakan virus berbahaya dan mematikan, maka penderitanya bisa dikarantina. Berdasarkan hadits Nabi, “Larilah kamu dari orang yang terkena lepra, sebagaimana kamu melarikan diri dari (kejaran) singa.” (HR Abdurrazaq, al-Mushannaf, X/405).
Dari hadits ini bisa ditarik dua hukum: Pertama, perintah melarikan diri, yang berarti penderitanya harus dijauhkan dari orang sehat. Dalam konteks medis, tindakan ini bisa diwujudkan dalam bentuk karantina. Artinya, penderita lepra harus dikarantika. Kedua, lepra yang dimaksud hadits di atas adalah lepra sebagai jenis penyakit menular, bukan lepra sebagai penyakit tertentu. Berarti, ini bisa dianalogikan kepada penyakit menular yang lain, termasuk AIDS. Tindakannya juga sama, yaitu harus dikarantinakan.
Dalam karantina itu, mereka tidak hanya dirawat secara medis, tetapi juga nonmedis, khususnya dalam aspek psikologis. Penderita AIDS tentu akan mengalami tekanan psikologis yang luar biasa, selain beban penyakit yang dideritanya, juga pandangan masyarakat terhadapnya. Dalam hal ini, ditanamkan kepada mereka sikap ridha (menerima) kepada qadha’, sabar dan tawakal. Dengan terus-menerus meningkatkan iman dan takwa mereka agar lebih terpacu melakukan amal untuk menyongsong kehidupan berikutnya yang lebih baik.
Dengan cara itu, Islam telah berhasil mengatasi masalah AIDS ini hingga ke akar-akarnya. Semuanya itu tentu hanya bisa diwujudkan, jika ada Negara Khilafah yang bukan saja secara ekonomi mampu menjamin seluruh biaya kesehatan rakyatnya, tetapi secara i’tiqadi juga mampu mengatasi akar masalah ini dengan pondasi akidah Islam yang luar biasa. [Kholila Ulin Ni’ma, M.Pd.I (aktivis Muslimah HTI DPD II Tulungagung)] [www.visimuslim.com]
Posting Komentar untuk "Angka HIV-AIDS Melesat, Bagaimana Nasib Generasi Umat ?"