Melawan Lupa Kasus Freeport!
Oleh : Umar Syarifudin
(Lajnah Siyasiyah DPD HTI Kota Kediri)
Kasus Freeport menguap lagi, hilang dilalap isu prostitusi artis, Gafatar, bom Tamrin, dan kasus kematian Mirna. Kasus Freeport bukan hanya soal perkara 'Papa Minta Saham' yang membuat Setya Novanto mengundurkan diri. Persoalan ini merupakan isu lama yang tak kunjung tuntas. Banyak ruang gelap yang tak terungkap. Tak hanya pebisnis, kasus ini menyeret oknum pejabat-pejabat pemerintah yang diduga menerima suap, ataupun yang lain.
Sindonews.com (24/12/2015) melansir, skandal perpanjangan kontrak PT Freeport Indonesia waktu itu menjangkau sejumlah pihak, sampai terungkap ke publik soal pertemuan Aksa Mahmud dan Erwin Aksa yang tidak lain adalah ipar dan keponakan Wakil Presiden (Wapres) Jusuf Kalla (JK) dengan pemilik Freeport McMoran, James Moffet atau Jim Bob.
Sudah 49 tahun aktivitas pertambangan emas PTFI bercokol di tanah Papua. Selama itu pula kekayaan milik rakyat terus disikat. Pada Kontrak Karya (KK) pertama pertambangan antara pemerintah Indonesia dan Freeport yang dilakukan tahun 1967 dengan posisi tawar pemerintah RI yang luar biasa rendah, yaitu hanya sekedar pemilik lahan. Dibandingkan PT Freeport yang memiliki tenaga kerja, modal, sekaligus penikmat untungnya.
Mengacu pada UU Nomor 4 tahun 2009 tentang Mineral dan Batu Bara yang mengamanatkan pemerintah Indonesia untuk melakukuan renegosiasi kontrak seluruh perusahaan tambang asing yang ada di negeri ini. UU ini menggantikan UU Nomor 11 tahun 1967 yang disahkan pada Desember 1967 atau delapan bulan pasca penandatanganan KK. Berdasarkan data Kementrian ESDM, sebanyak 65 persen perusahaan tambang sudah berprinsip setuju membahas ulang kontrak yang sudah diteken. Akan tetapi sebanyak 35 persen dari total perusahaan tersebut masih dalam tahap renegosiasi, salah satunya adalah pengelola tambang emas terbesar di dunia yaitu Freeport.
PTFI dan sejumlah perusahaan asing, seperti PT Newmont dan PT Vale Indonesia, enggan untuk tunduk pada Peraturan Pemerintah (PP) nomor 22 Tahun 2010 dan PP nomor 24 tahun 2012 yang merupakan turunan dari UU Minerba 2009. Beberapa ketentuan dalam regulasi tersebut dianggap merugikan mereka seperti kewajiban divestasi saham, pembatasan luas wilayah pertambangan, peningkatan jumlah deviden dan kewajiban pengolahan dan pemurnian hasil tambang dalam negeri.
Tunduk Kepada Swasta
Sikap lemah pemerintah bisa dibuktikan, berkali-kali melakukan negosiasi dengan perusaan tersebut. Kepemilikan saham Freeport Indonesia diatas 90 persen dikuasai perusahaan asal Amerika Serikat (AS), yaitu Freeport McMoran. Sisanya, dipegang oleh pemerintah Indonesia. PT Freeport dan sejumlah perusahaan tambang juga enggan tunduk pada Peraturan Pemerintah yang membatasi kepemilikan wilayah kerja yakni maksimal 100.000 hektare untuk perusahaan mineral dan 50.000 hektare untuk perusahaan batubara.
Saat ini, wilayah kerja Freeport telah mencapai 1,8 juta hektare dana Vale Indonesia tercatat sekitar 180.000 hektare. Jika mengacu pada peraturan tersebut maka sebagian besar wilayah pertambangan Freeport harus diserahkan kepada pemerintah.Secara ekonomis, cadangan PT Freeport memang sangat besar. Freeport memperkirakan cadangan bijih yang siap ditambang pada saat itu mencapai 2,6 milyar ton.
Memang, upaya dilakukan pemerintah untuk meningkatkan bergaining power. Empat BUMN telah menyiapkan skenario pencaplokan 10,64 persen saham PTFI dengan harga jual US$ 1,7 miliar atau sekitar Rp 23 triliun. Akuisisi akan dieksekusi oleh perusahaan (Special Purpose Vehicle/SPV) yang dibentuk empat BUMN tersebut. Perusahaan itu antara lain PT Aneka Tambang Tbk (Persero), PT Inalum (Persero), PT Timah Tbk (Persero) dan PT Bukit Asam Tbk (Persero). Direktur Utama Aneka Tambang (ANTAM), Tedy Badrujaman dalam Rapat Dengar Pendapat antara Komisi VII dengan Dirjen Minerba Kementerian ESDM, mengungkapkan, keempat BUMN tersebut akan membentuk konsorsium apabila BUMN ditunjuk pemerintah membeli saham Freeport Indonesia. (Liputan6.com, 20/01/2016).
Betapapun upaya pemerintah untuk menaikkan saham Freeport hanyalah solusi kerdil. Entry point-nya sikap pemerintah yang lemah menunjukkan betapa pemerintah takluk pada kepentingan asing. Bahkan dalam beberapa kasus sebagaimana yang terungkap di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, terbukti bahwa banyak pengambil kebijakan di eksekutif dan legislatif justru bekerja sama dengan perusahaan swasta dalam menjarah kekayaan negeri ini.
Selain itu, aturan pengelolaan SDA didesain agar pihak swasta termasuk investor asing diberi kesempatan yang sangat besar. Adapun pemerintah hanya sebagai regulator yang mendapatkan pajak dan royalti semata. Ini menunjukkan bahwa akar persoalannya adalah Liberalisasi di sektor SDA yang diberikan payung UU, menjadi pondasi atas legalnya pengerukan kekayaan alam milik rakyat ini.
Eksplorasi emas oleh PTFI merupakan kesalahan besar. Sejak tahun 1967 berapa ribu triliun hasil emas melayang ke luar negeri? Memang pemerintah mendapatkan pajak dan sebagainya. Tapi pasti angkanya jauh lebih kecil dari hasilnya itu sendiri. Andai itu sepenuhnya dikelola oleh negara, dana yang tidak sedikit itu tentu bisa diselamatkan untuk kesejahteraan rakyat. Begitu juga dengan barang tambang lain.
Kelola SDA dengan Syariah
Emas, air, listrik, minyak bumi dan barang-barang tambang lainnya adalah harta kekayaan yang diciptakan Allah SWT untuk dinikmati umat, tidak boleh dirampas oleh siapapun. Jika negara menguasainya, maka itu hanyalah untuk mencegah agar tidak dikuasai individu ataupun pihak asing. Lebih penting dari itu, agar negara dapat mengatur pemanfaatan untuk kepentingan seluruh rakyat karena merekalah pemiliknya yang sesungguhnya atau yang disebut kepemilikan umum.
Semua orang tahu alam Indonesia sangat kaya. Areal hutannya termasuk paling luas di dunia, tanahnya subur, alamnya indah. Indonesia juga adalah negeri yang memiliki potensi kekayaan laut luar biasa. Ironisnya, dibalik kekayaan Indonesia yang begitu melimpah, fakta yang dihadapi umat saat ini justru lilitan utang luar negeri yang telah menenggelamkan bangsa Indonesia dalam krisis multidimensional yang berkepanjangan. Rakyat semakin dalam terpuruk dalam kemiskinan dan penderitaan. Pertanyaannya, siapa yang harus menanggung beban utang yang sedemikian besarnya itu? Tidak lain tentu saja adalah rakyat.
Umat Islam harus menyadari, pengelolaan SDA adalah perkara yang sangat vital dan berkesinambungan tentang manajemen dan kebijaksanaan. Degradasi pengelolaan sumberdaya alam lebih banyak disebabkan oleh kelalaian manusia dalam mengikuti dan menerapkan kaidah-kaidah Syariat, serta keberanian manusia dalam melawan kaidah-kaidah tersebut dalam kehidupan sehari-hari.
Pengabaian syariah sangat kita rasakan akibatnya hingga kini. Permasalahan berpangkal dari tidak tegaknya aturan main regulasi penerapan dan mekanisme pengelolaan sumberdaya alam sebagai syarat utama bekerjanya sistem aturan pengelolaan sumbedaya alam.
Dalam konsep Islam, jelas SDA dikelola oleh negara untuk umat. Sumberdaya alam yang potensinya melimpah merupakan milik umum yang harus dikelola secara profesional dan transparan oleh negara dan hasilnya dikembalikan kepada publik. Dengan demikian potensi pendapatan yang dapat diraup negara akan lebih besar dibandingkan dengan sistem saat ini yang hanya mengandalkan penerimaan dari pajak dan royalti. Dana-dana yang melimpah tersebut, dalam jangka panjang, cukup untuk mendanai berbagai pelayanan publik yang selama ini dikomersilkan oleh negara seperti pelayanan kesehatan, pendidikan, penyediaan air bersih dan energi listrik dan gas. Di bawah Kekhilafahan Islam, semua itu akan jadi kenyataan. [VM]
Posting Komentar untuk "Melawan Lupa Kasus Freeport!"