Rakyat Miskin Dilarang Sakit (Catatan Untuk Rezim Dzalim)
Oleh : Ustadzah Ainun
(Aktivis Muslimah Hizbut Tahrir Indonesia - Kediri)
Sistem kesehatan tidak adil dan diskriminatif. Akibat diterapkannya sistem demokrasi dan sistem pelayanan kesehatan yang buruk membuat kesehatan menjadi sesuatu yang mahal. Harga obat dan rumah sakit membumbung tinggi tanpa adanya kontrol. Adanya penyakit malah membuat banyak pihak yang terkait dengan badan-badan kesehatan mendapat untung. Pelayanan kesehatan didasarkan atas berapa tebal kantong kita sanggup membayar demi kesembuhan kita. Selain biaya pengobatan yang tinggi dunia kesehatan kita juga diperburuk dengan beredarnya obat-obat palsu, naasnya lagi penyakit juga dijadikan sebagai alat pelindung bagi para koruptor yang akan menjalani persidangan hingga luput dari tuntutan jaksa.
Siapa yang menjadi korban keburukan sistem pelayanan kesehatan yang buruk tersebut? jelas bahwa rakyat miskinlah yang jadi korban. Mereka tidak pernah mendapat layanan kesehatan yang maksimal sementara orang-orang berduit dengan mudahnya menikmati fasilitas pengobatan yang terbaik di rumah sakit internasional dengan fasilitas bak hotel berbintang.
Kesehatan memang masih menjadi barang mewah di negeri ini. Ada pemeo yang mengatakan, sehat itu mahal, tapi sakit itu lebih mahal. Menggetirkan, namun itulah faktanya. Untuk mereka yang tergolong kelas menengah, biaya rumah sakit untuk mereka yang rawat jalan sudah cukup mencekik leher. Apalagi, untuk mereka yang berasal dari kelas bawah, mereka hanya bisa pasrah saja menunggu adanya uluran tangan yang akan membantu mereka meredakan sakit. Kendati untuk itu, mereka pun mesti harus berjuang keras menghadapi antrean yang lama dan panjang. Belum lagi mesti menghadapi keengganan para petugas kesehatan yang sering kali berwajah masam ketika harus melayani si miskin itu.
Apa kabar pula dengan hak-hak pasien yang sering terabaikan? Mereka yang mengalami kasus malapraktik dan seperti kehilangan arah ketika akan melawan. Tentu saja, kasus Prita tak akan terlupakan begitu saja. Perjalanan panjang yang melelahkan untuk seorang ibu demi mendapatkan kebenaran. Bagaimana dengan kasus pasien yang justru harus banyak berkorban padahal dia berada di pihak yang benar. Manakah keadilan untuk pasien?
Antara Ekspektasi dengan Realisasi
Disaat rakyat sedang susah, pemerintah menambah musibah. Dalam aspek kesehatan, program BPJS menuntut seluruh warga negara menjadi anggota untuk setor premi setiap bulannya. Jika tidak ikut jadi peserta SJSN akan diancam sanksi penjara 8 tahun dan mendapatkan sanksi administrasi dengan tidak dilayani kebutuhan publiknya.
Sistem jaminan sosial, mendengarnya seakan membawa angin surgawi terhadap kebutuhan masyarakat tentang jaminan sosial kehidupannya. Gratis ini itu, pelayanan kesehatan maksimal dan dihari tua pun tidak ada yang perlu dikhawatirkan lagi. Namun, itu hanya sekedar pengharapan semu, UU SJSN dan UU BPJS yang menjadi penggerak sistem jaminan sosial ternyata hanya bualan, tidak memberikan jaminan. Rakyat pun diperas. Dalam UU BPJS ini rakyat diwajibkan membayar iuran untuk menjamin dirinya mendapatkan pelayanan umum yang ia butuhkan. Dalam pasal 17 ayat (1), (2) dan (3) disebutkan bahwa peserta harus membeli premi guna melindungi dirinya dari bencana sosial.
dalam UU BPJS rakyat dipaksa dipungut iuran tanpa ada jaminan untuk memanfaatkan pungutan tersebut. Karena tidak semua orang akan sakit dan saat sakit pun tidak semua pelayanan dan fasilitas kesehatan pun ia dapatkan. Artinya esensi dari BPJS ini adalah pemungutan, memalak rakyat untuk kepentingan pihak asuransi bukan untuk kepentingan rakyat.
Bagi sebagian kecil masyarakat yang keluarganya sedang sakit dan mendapatkan pengurangan biaya atau pembebasan biaya dari BPJS dan kebetulan mendapatkan fasilitas dan obat-obatan yang terbaik, juga kebetulan tidak ada masalah administrasi atau pelayanan RS, mungkin BPJS dianggap tidak begitu menipu. Namun, bagi sebagian besar masyarakat yang sedang tidak sakit, BPJS jelas menipu. Sebab, apa yang disetorkannnya dalam bulan ini sejatinya tidak untuk diri sendiri melainkan untuk orang lain. Sedangkan, klaim untuk diri sendiri bila sakit nantinya, tergantung dari anggaran BPJS yang terkumpul untuk RS tersebut, bisa gratis, bisa pengurangan biaya, yang jelas pihak RS maupun BPJS tidak akan mau merugi, sebab sejatinya uang yang mengalir adalah uang bersama antar anggota, bukan dari Pemerintah. Pengeluaran harus lebih kecil dari pemasukan, sehingga jelas jumlah klaim BPJS untuk anggota yang sakit harus jauh lebih kecil dari yang tidak klaim atau dalam keadaan sehat.
Namun karena BPJS kini didaulat untuk menjadi Badan Usaha yang bertugas memberikan keuntungan sebesar-besarnya terhadap pemerintah, maka tidak heran bila pasien peserta BPJS banyak yang dibatasi penggunaan obatnya di RS. BPJS tidak mengcover obat-obatan yang bermutu bagus, alhasil pasien cuma mendapatkan obat-obatan ala kadarnya. Dan tidak jarang, mereka yang membeli obat dengan program BPJS harus lebih rumit prosesnya dan lebih antri daripada yang tidak mengikuti BPJS. Banyak permasalahan lainnya seperti pelayanan di fasilitas kesehatan, sistem rujukan, ketersediaan obat dan masih banyak lagi.
Tidak bisa kita pungkiri bahwa pelayanan kesehatan bagi peserta BPJS sangat jauh dari kelayakan. Bayangkan saja bila pasien tidak ada uang untuk menebus resep obat yang tidak dicover oleh BPJS, mungkin bukan malah jadi sehat, pasien justru cuma bisa pasrah menahan sakit. Jadi, klaim BPJS adalah satu-satunya jalan bagi masyarakat miskin untuk berobat. Klaim BPJS bisa membebaskan biaya untuk sebagian kecil masyarakat, bila anggaran antar anggota BPJS untuk RS tersebut masih tersedia, atau Klaim BPJS hanya bisa mengurangi biaya saja. Klaim BPJS tidaklah mudah bagi semua orang, apalagi bila pernah menunggak / tidak membayar iuran bulanan BPJS atau tidak seluruh anggota keluarga menjadi anggota BPJS, maka klaim akan lebih sulit.
Dari sisi pengelolaan, menurut Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), ada lima titik rawan korupsi terkait pengelolaan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) oleh Badan Pengelola Jaminan Sosial (BPJS) bidang kesehatan. Lima titik rawan korupsi tersebut berada pada investasi dana BPJS selaku badan, investasi dana jaminan sosial, potensi korupsi saat pengalihan aset, potensi korupsi penggunaan dana operasional dan potensi korupsi saat pembayaran fasilitas kesehatan.
Terbentur Sistem & Meja Kekuasaan
Negara kapitalis yang memandang bahwa kesehatan bukan hak setiap individu, melainkan menjadi hak istimewa bagi seseorang yang sanggup membayar biaya kesehatan. Karenanya ia mengkomersilkan kesehatan kepada rakyatnya sendiri. Tidak ada paradigma penjamin kebutuhan rakyat, yang ada adalah perantara bagi penyedia layanan kesehatan untuk dijual. Karenanya, biaya dokter tinggi, harga obat mahal, biaya pengadaan dan pemeliharaan alat-alat dan sarana kesehatan dibebankan kepada konsumen. Layanan kesehatan menjadi diskriminatif, bukan lagi menjadi hak bagi setiap orang. Karena mereka yang miskin tidak akan sanggup membayar layanan kesehatan yang berkualitas.
Sementara itu di dalam negara dengan ideologi kapitalis, negara tidak wajib melayani rakyat. Ia bermitra dengan perusahaan penyedia layanan sebagai rekan bisnis. Kemudian Negara menjual layanan kepada rakyatnya sendiri. Inilah yang terjadi pada program layanan kesehatan ala pemerintah Indonesia yang dinamai JKN (Jaminan Kesehatan nasional). BPJS (Badan Pelayanan Jaminan Sosial) adalah perusahaan asuransi yang bekerjasama dengan pemerintah menyelenggarakan layanan kesehatan.
Seperti lazimnya korporasi, maka ia akan menggunakan dana jaminan sosial sebagai modal untuk pengembangan produknya. Dan ia akan berorientasi pada keuntungan, bukan pada pemenuhan layanan. Ia akan jual jasa layanan kesehatan kepada konsumen, dan bukan menjamin layanan seutuhnya kepada rakyat. Itulah mengapa Syariah Islam mengharamkan pengelolaan layanan publik diserahkan kepada korporasi. Rakyat miskin-lah yang jadi korban dari sistem kesehatan yang diktator ini.
Betapa indahnya mimpi kita semua jika negeri ini dapat memberikan kenyamanan pada warganya berupa kesehatan gratis, pendidikan murah, sampai taraf hidup yang layak. Tentu saja, ini tidak hanya untuk segelintir masyarakat, tetapi berlaku untuk semua warga negeri gemah ripah loh jinawi ini. Semuanya bukan mustahil terwujud. [VM]
Posting Komentar untuk "Rakyat Miskin Dilarang Sakit (Catatan Untuk Rezim Dzalim)"