Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Babak Baru Konflik Kawasan Asia Pasifik


Oleh : Umar Syarifudin 
(Lajnah Siyasiyah DPD HTI Kota Kediri)

Amerika memberikan nilai sangat penting untuk melindungi wilayahnya dari dua sisi, Samudera Atlantik dan samudera Pasifik yang mengelilinginya. Persaingan global Amerika Serikat (AS) versus Cina di kawasan Asia Pasifik makin mengental membentuk polarisasi. Jepang, pertama kalinya sejak Perang Dunia II, mengizinkan militernya untuk beroperasi di luar negeri. China mengecam langkah itu karena mengkhawatirkan eskalasi konflik di Laut Cina Selatan. Beijing mengecam Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe menyusul diberlakukannya Undang-Undang (UU) keamanan yang baru, Selasa (29/3/2016). UU itu  memungkinkan militer “Negeri Sakura” itu untuk beroperasi di luar negeri. 

Beijing melalui kantor berita resmi China, Xinhua,  sontak menuding pemerintahan Abe mengabaikan konstitusi. Kebijakan itu pada akhirnya "hanya akan mengancam hak warga Jepang untuk hidup dalam damai," tulis media China. Xinhua juga menilai UU keamanan yang baru bakal menjadi "tantangan besar untuk perdamaian di kawasan Asia Pasifik yang saat ini pun sudah sangat rentan. Tokyo berdalih, amandemen UU keamanan diperlukan sebagai reaksi atas perubahan iklim keamanan di Asia Timur, termasuk ancaman nuklir Korea Utara dan ambisi militer China di Laut China Timur dan Selatan.

Abe meyakini perubahan peran militer Jepang akan menguntungkan kemitraan strategis dengan Amerika Serikat. Sejak berakhirnya Perang Dunia II, peran militer Jepang tunduk pada prinsip pasifisme dan dibatasi pada pertahanan negara. Peraturan kontroversial yang disahkan parlemen September tahun lalu itu menganulir konstitusi pasifis Jepang dan membuka jalan bagi keterlibatan militer dalam di konflik di Laut China Selatan.

Merespon keluarnya Jepang dari politik luar negeri ‘pasif’ menuju aktif di kawasan Pasifik direspon oleh China tahun ini akan menggelar parade militer besar-besaran pertama sejak 2009 untuk menandai berakhirnya Perang Dunia II. Namun, tujuan utama parade militer itu adalah untuk "menakuti-nakuti Jepang". Demikian sejumlah laporan media China mengabarkan, Selasa (27/1/2015). Lewat pesan pendek melalui akun WeChat, harian resmi partai komunis China, People's Daily, mengutip sebuah laporan dari Hongkong yang menyebut parade militer besar-besaran akan digelar tahun ini. "Satu alasan utama parade militer itu adalah untuk menakut-nakuti Jepang dan mengumumkan kepada dunia bahwa China memiliki tekad untuk menjaga ketertiban dunia pasca-Perang Dunia," kata pengamat keuangan dan masalah global yang menulis artikel itu, Hu Zhanhao.

“Hanya dengan memamerkan kekuatan militer, China dapat menunjukkan kepada Jepang sikap dan tekad China dan mengirim pesan kepada Jepang bahwa siapa pun berani menentang ketertiban dunia pasca-perang yang terkait dengan China dan menganggu kepentingan China maka akan dianggap sebagai musuh dan harus siap menerima balasan China," tambah Zhanhao.

Blok AS vs Blok Beijing

Selain membangun koalisi rapuh dengan Korut, China ingin memperdalam hubungan militer dengan rivalnya dalam sengketa Laut Cina Selatan, Vietnam. Pada Selasa (29/3), Menteri Pertahanan Cina mengatakan militer China dan Vietnam harus memperdalam hubungan persahabatan dan komunikasi. Menteri Chang Wanquan bertemu dengan Kepala Partai Komunis Vietnam Nguyen Phu Trung di Hanoi dalam kunjungan level tinggi. Chang mengatakan kedua negara bisa berikatan erat seperti yang dicontohkan pemimpin lawas Mao Zedong dan Ho Chi Minh.

Ini bukan kunjungan tingkat tinggi pertama Cina ke Vietnam. Tahun lalu, Presiden Xi Jinping juga melakukan safari ke negara tersebut. Bulan lalu, ketegangan meningkat antara dua negara setelah Taiwan dan AS mengatakan Cina menempatkan rudal darat ke udara di Woody Island. Pulau ini adalah bagian dari kepulauan Paracel yang dikendalikan Cina. Vietnam juga mengklaim wilayah di Paracel dan menyebut tindakan Cina mengancam kedaulatan wilayah mereka.

Dengan memperkuat kehadiran militer dan membangun koalisi dengan Jepang, Korsel, dan negara-negara ASEAN di kawasan ini, Amerika Serikat akan mampu menghadapi tantangan klaim Cina di Laut Cina Selatan dan pulau-pulau yang dipersengketakan. Secara terang benderang bahwa fokus utama dan sasaran strategis Washington adalah penguasaan cadangan minyak dan gas bumi yang diprediksi punya kandungan yang cukup besar di wilayah-wilayah yang berada di jalur Laut Cina Selatan. 

Amerika kini memiliki eksistensi secara militer dan tetap di pangkalan militer di Jepang dan Korea Selatan yang berada di pantai laut China Timur.  Demikian pula Amerika juga memiliki hal serupa di Philipina yang berada di pantai laut China Selatan.  Amerika di kawasan tersebut memiliki sekitar setengah juta tentara.  Amerika memiliki eksistensi militer tetap di kawasan ini sejak tahun 50-an abad lalu.

Sisi lain dari modus operandi kehadiran militer AS yang luput dari amatan dan liputan media massa adalah, terumuskan dalam dokumen CFR (Council of Foregin Relations)yang dirilis Mei 2001 : “Amerika Serikat harus memelihara kehadiran kekuatan militer yang handal melalui suatu program latihan bersama sekawasan yang didukung oleh infra struktur yang efektif.” Karena itu sudah sewajarnya Indonesia menjadi target segala macam bentuk kegiatan seperti latihan militer bersama dan forum gabungan lintas negara yang biasanya sepenuhnya berada dalam supervise Pentagon. Baik pelatihan militer antar angkatan maupun antar negara. Maupun program pelatihan dalam bentuk pertukaran tingkat perorangan perwira maupun kelompok kecil.

Membaca Modus Perang Asimetris China 

Berdasarkan kajian dan diskusi intensif di Global Future Institute, Perang asimetris merupakan metode peperangan gaya baru secara nirmiliter (non militer), tetapi memiliki daya hancur tidak kalah hebat bahkan dampaknya lebih dahsyat daripada perang militer.Ia memiliki medan atau lapangan tempur luas meliputi segala aspek kehidupan (astagatra). Sasaran perang non militer tidak hanya satu atau dua aspek, tetapi bisa beragam aspek. Ia dapat dilakukan bersamaan, atau secara simultan dengan intensitas berbeda.

Sasaran perang asimetris ini ada tiga: (1) membelokkan sistem sebuah negara sesuai arah kepentingan kolonialisme, (2) melemahkan ideologi serta mengubah pola pikir rakyat, dan (3) menghancurkan food security [ketahanan pangan] dan energy security [jaminan pasokan dan ketahanan energi] sebuah bangsa, selanjutnya menciptakan ketergantungan negara target terhadap negara lain dalam hal food and energy security”.

Ketika persaingan global AS dan China 2016 semakin menajam di kawasan Asia Pasifik  yang berdampak langsung pada Indonesia, peta kekuatan kedua adidaya wajib kita identifikasi dengan seakurat mungkin. Lantas bagaimana membaca Perang Asimetrik China dan mengapa lebih mengutamakan Perang Asimetrik dalam menguasai negara-negara di kawasan Asia Pasifik, termasuk Indonesia?

Dari sudut pandang militer, meski kemajuan militer terutama angkatan lautnya cukup signifikan, akan tetapi Cina sebenarnya menghadapi kendala struktural terkait geostrategi militer, karena sistem pertahanan China itu sangat tergantung pada laut lepas, termasuk dalam hal ini pengamanan jalur “energy security”-nya. Masalah krusial yang dihadapi Cina dalam pertarungan global dengan AS di kawasan ini adalah, Konfigurasi perairannya baik di Laut Cina Selatan maupun Laut Cina Timur sangatlah mudah diblokade pihak luar. Laut Cina Timur contohnya, terbentang di antara wilayah Korea, Jepang dan Taiwan, sedangkan Laut Cina Selatan pada bentangan antara Taiwan, Filipina, Indonesia dan Singapura.

Keprihatinan besar Beijing hingga kini adalah rencana blokade oleh AS di Laut Cina yang niscaya akan berdampak langsung terhadap perekonomian secara menyeluruh apabila hal itu terjadi. Barangkali inilah shock and awe (gertak menakut-nakuti) yang dijalankan AS dalam rangka “melemahkan mental” China. Belum lagi masalah munculnya ancaman dari Taiwan, Korea Selatan, Philipina, dan lainnya. Makanya, ketika ia beraksi membangun pangkalan militer di Spratly -pulau konflik- berdalih reklamasi mengembangkan sektor sipil, AS pun bereaksi atas rencana tersebut lalu melakukan patroli udara di sekitaran langit Spratly. Inilah sekilas mapping kekuatan militer Cina dihadapkan dengan potensi serta prakiraan ancaman ke depan.

Maka itu, mengimbangi pengaruh AS yang begitu kuat secara militer di Asia Pasifik, Cina lebih menekankan pola perang nirmiliter dalam menguasai wilayah-wilayah yang bernilai strategis secara geopolitik di kawasan Asia Pasifik, Asia Tenggara, dan tentunya Indonesia. Dan untuk itu, kekuatan ekonomi Tiongkok merupakan landasan utama kekuatannya untuk bermain di kawasan ini.

Amerika paham bahwa China bukan negara besar secara global dan China tidak berusaha mendongkel Amerika dari posisinya sebagai negara adidaya di dunia.  Meski demikian, akan tetapi China merupakan negara besar secara regional, yaitu di kawasan Asia/Pasifik yang dianggap oleh China sebagai kawasannya dan menjadi kawasan yang penting bagi China secara ekonomi dan strategis.  China berusaha menjadi pemilik kedaulatan di laut China Timur.  

Jika China berhasil dalam hal itu, maka akan membuat Jepang dan Korea Selatan berada di bawah belas kasihannya atau di bawah kontrolnya, disamping Korea Utara yang di situ China memiliki pengaruh terhadapnya.  China juga berusaha menjadi pemilik kedaulatan atas laut China Selatan.  Hal itu akan bisa membuat Philipina, Vietnam, Kambodia, Laos, Brunei, Malaysia, Singapura dan Indonesia berada di bawah pengaruhnya atau kontrolnya dan berikutnya China akan bisa mengontrol selat Malaka yang dinilai sebagai urat nadi kehidupan bagi China. 

Jika China mengontrol kawasan ini atau menancapkan pengaruhnya atau menjadikan kawasan ini berada di bawah kontrolnya maka China bisa mempengaruhi kawasan samudera Hindia dan mengancam pengaruh Amerika di kawasan tersebut secara serius.  Ini merupakan masalah vital bagi Amerika.  Amerika tidak akan mentolerir hal itu terjadi selamanya berapapun biaya yang harus dibayarkan. [VM]

Posting Komentar untuk "Babak Baru Konflik Kawasan Asia Pasifik"

close