Dibalik Revisi UU Anti Terorisme


Oleh : Adil Nugroho 
(Pemerhati Sosial Politik)

Geliat dakwah berjalan penuh dinamika. Seiring dengan beragam problem yang muncul ke permukaan. Sementara gempuran serangan atas nama neo kolonialisme datang dari arah Amerika dan China tiada henti.  Sebagian di antara kelompok islam bereforia dan membangun keyakinan akan datangnya kemenangan. Di sisi lain masih banyak ditemukan pemandangan kontradiktif antara tujuan perjuangan dengan jalan hidup yang ditempuh penuh pengorbanan dan kesederhanaan sebagaimana yang dicontohkan oleh Rasullullah SAW beserta sahabat-Nya. Sebagian dari kelompok islam ada juga yang memandang bahwa menjaga sanad ilmu dengan sosok tokoh yang dikultuskan sebagai adab prinsip yang sangat penting untuk menjaga kemurnian perjuangan. Bahkan ada yang mencoba membangun argumentasi begitu pentingnya predikat "waliyullah" sebagai sebuah pendekatan untuk meneladani Rasullullah SAW. Sebuah predikat jauh dari lingkungan yang melingkupi dinamika kehidupan sekarang, sebagai bagian langsung maupun tidak langsung dari sistem yang disebutnya sendiri oleh para pejuang islam sebagai "sistem kufur". Bagaimana mungkin terbangun "wala' wal barra” yang menjadi karakter para ulama' mukhlis dan para waliyullah terdahulu meski berpuluh-puluh, beratus-ratus bahkan beribu-ribu kitab salafus shalih yang dikaji, sementara hidupnya dipenuhi dengan karakter ketergantungan dengan sistem kufur yang mencengkeram. Inilah yang membedakan prinsip kehidupan dengan para ulama sebelumnya di nusantara yang memilih mendirikan pesantrennya di tepi-tepi daerah atau pegunungan demi menjaga kemurnian perjuangan agar tidak mudah diintervensi. Atau dengan para ulama mujahidin mukhlish yang berjibaku berjihad dengan segala pengorbanan harta dan jiwa dengan segala kesulitan hidup yang mendera.

Di sisi lain, penguasa tidak lagi peduli pada nasib bangsanya. Namun lebih peduli terhadap nasib eksistensi kekuasaannya melalui dukungan para tuannya dari arah timur dan barat. Seluruh kebijakan dibuat tanpa sandaran sebagaimana yang disepakatinya sendiri. Asal menguntungkan para penguasa dan kapitalis, maka kebijakanpun akan dibuat dan dijalankan. Rakyat selalu saja menjadi pertimbangan terakhir antara diselamatkan atau ditelantarkan. Logika kebijakan tidak lagi menggunakan prinsip mengedepankan kepentingan rakyat. Melainkan seberapa kepentingan ekonomi penguasa dan pengusaha diuntungkan atau dirugikan. Meski harus dengan menggunakan bahasa-bahasa mengelabui dan menipu. Dengan kemasan rekayasa komunikasi politik oleh para pakar politik yang pandai menyusun retorika-retorika politik bualan. Disadari atau tidak, disengaja atau tidak, kebijakan dalam bentuk perundang-undanganpun akhirnya terbelah menjadi 2 kelompok besar. Pertama, perundang-undangan untuk merealisasikan kepentingan penguasa dan pengusaha. Kedua, perundang-undangan untuk menjaga rencana dan implementasi dari perundang-undangan kelompok pertama berjalan dan berhasil dijalankan. Tanpa pertimbangan sedikitpun di atas dasar kepentingan rakyat. Kalaupun ada kesan keberpihakan atas kepentingan tersebut maka itu hanyalah bersifat lipstik dan kamuflase. Demi menutupi kepentingan besar sebenarnya yang ada di baliknya. Bisa dipahamami kemudian, di tengah pertarungan kepentingan ekonomi berbagai negara dalam sebuah supra struktur ekonomi bernama "Free Trade Agreement" yang melibatkan puluhan negara dimana Amerika dan China menjadi episentrum dari kekuatan ekonomi dunia. Sulit untuk tidak mengatakan bahwa Indonesia sedang mempersiapkan diri sebagai negara yang menjadi sasaran bulan-bulanan berbagai kepentingan ekonomi negara-negara beridelogi ekspansi seperti China dan Amerika. Dan Indonesia memiliki sumber daya baik posisi geoekonomipolitik, alam maupun populasi sebagai alasan rasional wilayah sasaran bidikan jarahan. Inilah hakekat sebenarnya "proxy war" yang disesatkan pengertiannya. Dari ancaman sebenarnya kekuatan ekonomi oleh negara besar terhadap negara kecil lain seperti Indonesia. Menjadi ancaman yang dibesar-besarkan atas nama terorisme oleh para pelaku terduga terorisme yang menggunakan “mercon” untuk membangun sebuah stigmatisasi dan phobia islam sarat dengan dugaan rekayasa.

Hal yang sangat nampak dari satu jenis produk perundang-undangan memiliki kepentingan ekonomi adalah munculnya fenomena desakan revisi UU Anti Terorisme (UU No 15 tahun 2003). Jika kita cermati, maka lahirnya desakan revisi ini dilatari oleh sebuah konfigurasi fakta. Meski tidak bisa secara sederhana dengan pendekatan konspirasi dikatakan berkaitan namun seolah-olah menggambarkan sebuah latar terkait satu sama lain yang sangat kuat. Diawali oleh pernyataan Jaksa Agung Australia bernama Jhon Brendis dan dibenarkan oleh Irfan Idris dari BNPT yang menyatakan bahwa adanya ancaman kekhilafahan jauh oleh ISIS di Indonesia yang bakal juga menimpa Australia pada akhir Desember 2015. Tidak lama berselang maka bom Sarinah Thamrin itupun meletus. Peristiwa menyayat hati menyentuh nurani terdalam yang banyak media menyebutnya sebagai "teroristainment" itu menyisakan banyak pertanyaan. Terutama terhadap para pelaku yang dirilis oleh polisi kelompoknya Afif. Dimana Afif Cs adalah binaan dari Aman Abdurrahman yang sampai saat ini dipenjara di Nusa Kambangan. Seorang sosok yang diduga sebagai otak para terduga teroris dan gembong pencetus dukungan terhadap perjuangan ISIS di dalam penjara. Bahkan Aman Abdurrahman juga menjadi guru dari Santoso, pemimpin Mujahidin Indonesia Timur di Poso, sebuah kelompok berjumlah 30 orang, 2 orang diantaranya berasal dari China Uighur. Yang hingga sekarang kelompok ini sulit dilumpuhkan meski beberapa kali dilakukan operasi yang melibatkan ribuan tentara diberi titel “Operasi Tinombala”. Bahkan baru-baru ini malah terjadi keanehan berupa kejatuhan sebuah helikopter milik TNI yang menewaskan beberapa perwira TNI dari Mabes TNI maupun Korem di hutan Poso. Sedang dipikirkan kemungkinan menerjunkan Kopassus dan mendatangkan serta menyewakan alat mahal dari Israel dalam bentuk "DNA Detect" untuk mendeteksi ruang gerak Santoso berikut kelompoknya. Di tengah ditetapkannya Santoso oleh AS sebagai buron teroris internasional. Yang mengindikasikan kuatnya intervensi AS dalam penanganan kasus terorisme di Indonesia. Bagaimana mungkin sosok Aman Abdurrahman yang berada di dalam penjara menjadi otak kendali atas seluruh jaringan terduga teroris di Indonesia. Bagaimana sebenarnya yang terjadi atas program deradikalisasi oleh BNPT di dalam penjara. Dan apa pula kaitannya dengan semakin berani dan membrutalnya Densus 88 melakukan berbagai pelanggaran prosedural dalam bentuk “ekstra judicial killing” maupun “ekstra judicial action” di tengah prinsip penanganan terorisme menggunakan “the criminal justice system” yang mengedepankan “law of enforcement”. Namun yang Nampak saat ini justru pendekatan “the war system ala AS” lah yang lebih menonjol. Persis dengan cara AS menggunakan legitimasi WTC 9/11 untuk menginvasi Irak, Afghanistan dan lainnya atas nama GWOT (Global War On Terrorism). Belum lama kasus terduga teroris bernama Chan alias Fajar di Bima Nusa Tenggara Barat menurut penuturan ibunya Nurseha pada pertengahan bulan Februari 2016 sebagaimana diberitakan Tempo.co.id, ditembak mati dalam keadaan tidur. Media kemudian dikagetkan dengan peristiwa kematian Siyono yang katanya dikabarkan kelelahan melakukan perlawanan saat proses penangkapan Densus 88. Berbagai peristiwa ini semakin melengkapi terungkapnya video penyiksaan Densus 88 terhadap puluhan orang tahun 2013 yang sempat mendorong kuat desakan bubarkan Densus 88 sebelumnya. Akan tetapi kasus-kasus penembakan mati dan penganiayaan kejam itu tidak membuat bergeming lembaga tersebut melakukan berbagai tindakan kekerasan atas nama perang melawan terorisme. Sekalipun muncul lagi desakan kuat bubarkan lembaga tersebut belakangan. Dan bahwa kondisi kekerasan itu tidak juga mampu merubah rencana pemerintah untuk terus mengagendakan dan melakukan revisi atas UU Anti Terorisme sebagai prolegnas 2016. Sebuah revisi dengan tujuan lebih memberikan kewenangan kepada lembaga berlogo burung hantu itu. Di tengah raibnya di dalam penjara teman Afif Cs bernama Yunus entah lari kemana. Seakan-akan sedang memberikan signal akan adanya momentum berikutnya pasca bom Sarinah Thamrin. Hal ini seolah juga membenarkan statement Busyro Muqoddas yang menyatakan bahwa berbagai kasus dugaan terorisme jaman orba maupun saat ini penuh dengan indikasi dugaan rekayasa. Kesimpulan tidak gegabah dari mantan ketua KPK dan ketua PUSHAM UII itu menggunakan analisis terhadap beberapa berita acara pemeriksaan berbagai kasus terorisme sehingga bisa diungkap dan dikuak polanya. Begitupun pernyataan Moh. Afduh sebagai mantan anggota KOMJI (Komando Jihad) yang menyebut ada operasi pembiaran pada kasus bom Sarinah Thamrin Jakarta. Alhasil bom Sarinah Thamrin sulit untuk dibantah, telah menjadi momentum legitimasi desakan atas revisi UU Anti Terorisme. Dan inti dari revisi undang-undang itu adalah perluasan dan penguatan kewenangan terhadap dua lembaga terdepan penanganan terorisme (Densus 88 dan BNPT). Dan secara khusus, atas keberhasilan penanganan terorisme bom Sarinah Thamrin oleh Kapolda Metro Jaya, Tito Karnavian, kepadanya diberikan jabatan baru sebagai kepala BNPT. Bukan hanya desakan revisi UU Anti Terorisme saja namun ada juga ajuan anggaran dalam jumlah yang fantastis untuk proyek ini. Jumlahnya 1,9 trilliun rupiah pada tahun anggaran 2016. Desakan revisi UU Anti Terorisme seolah meniadakan ketersediaan perangkat perundang-undangan yang sudah ada sebelumnya dan sudah sangat represif. Bisa dibayangkan dalam kondisi belum direvisipun, Densus 88 saat ini telah melakukan berbagai tindakan liar dan brutal. Apalagi setelah direvisi. Berikut adalah beberapa substansi revisi yang akan membuka ruang "abuse of power" lembaga yang paling ditakuti oleh masyarakat sipil tersebut antara lain : ijin pemeriksaan tanpa melalui ketua pengadilan cukup hanya dengan hakim, lama pemeriksaan 30 hari yang sudah bertolak belakang dengan isi KUHP dan konvensi internasional (1 X 24 jam), informasi intelijen yang diluaskan akses penyadapannya, penangkapan terhadap orang yang diduga mendengar atau melihat rencana terorisme dan pengkaitannya, dugaan paham radikalisme yang diindikasi menginspirasi tindakan terorisme, ujaran kebencian yang diduga membuat provokasi tindakan terorisme baik yang dilakukan oleh perorangan maupun kelompok, pencabutan kewarganegaraan dan lain-lain. Sekalipun sebenarnya sebagian substansi revisi tersebut sudah termuat dalam KUHP, UU ITE, SE Kapolri Hate Speech, UU Kewarganegaraan, dan UU Intelijen tetap saja keinginan kuat revisi itu berjalan. Ada apa sebenarnya di balik tuntutan kuat revisi UU Anti Terorisme tersebut.

Tidak bisa dipungkiri, bahwa negara dengan berbagai negara lain saat ini telah disatukan ke dalam satu simpul interaksi bernama "single market" dan "production base". Simpul tersebut telah menjadikan berbagai negara dipaksa bersaing memperjuangkan kepentingan ekonominya sebagai basis kekuatan politik. Hutang dan investasi adalah senjata utama untuk menciptakan ketergantungan politik. Sedemikian rupa hutang dan investasi telah menjadi sarana paling efektif oleh negara besar memperdaya negara lain. Fenomena ini seperti mampu mengungkap arti dari kampanye masif belakangan tentang pentingnya membangun urgensi keterkaitan antara radikalisme, pembangunan infrastruktur dan pertumbuhan ekonomi. Tafsir radikalisme yang diduga kuat sebagai sumber tindakan terorisme tidak pernah berubah. Selalu saja disematkan kepada ajaran islam berupa jihad dan khilafah. Berikut siapapun perseorangan maupun kelompok yang menjadi pengusungnya. Apalagi diperkuat dengan adanya entitas kelompok islam yang bisa dilabelinya penuh dengan stigma dan stereotype. Kemunculan ISIS sejak awal hingga kini menjadi pembenaran atas paham radikalisme takfiri dan jihad ekstrem yang diklaimkan sebagai istilah kunci oleh BNPT. Dan mindset pembenaran inilah yang terus dikawal sebagai jalan lapang untuk memastikan lancarnya pembangunan infrastruktur oleh para kapitalis global. Lancarnya pembangunan infrastruktur dari ancaman radikalisme yang selalu disematkan pada islam berikut kelompok pengusungnya. Dan pembangunan infrastruktur adalah salah satu indikator yang disinyalir meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Disinilah hakekat sebenarnya urgensi kebutuhan atas seperangkat perundang-undangan yang semakin mengokohkan kepentingan ekonomi para penjajah asing dan aseng di satu sisi. Dan kebutuhan perangkat perundang-undangan yang menjaga keberlangsungan pelaksanaan perundangan-undangan pro asing-aseng seperti halnya pada revisi UU Anti Terorisme di sisi lain. Bagi kita dari berbagai latar belakang kelompok dengan manhaj yang berbeda pertanyaan pentingnya adalah berapa lagi persoalan sistemik yang perlu hadir di depan kita dan dihadapi untuk menyatukan visi dan misi perjuangan bersama dan untuk merapatkan barisan perjuangan. Dengan melepaskan dari berbagai perbedaan pandangan seputar persoalan furu' dan ijtihadiyah. Memang bukan karena dorongan maknawiyah dan madaniyah kita meresponnya. Melainkan dorongan ruhiah saja yang pantas dijadikan landasan.

Ingatlah Firman Allah SWT dalam surat Ali Imron ayat 103 yang artinya : “Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan ni`mat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena ni`mat Allah orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu daripadanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk.” Wallahu a'lam bis showab. [VM]

Posting Komentar untuk "Dibalik Revisi UU Anti Terorisme"