Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Menakar Kekuatan Politik Ulama


Oleh : Umar Syarifudin 
(Lajnah Siyasiyah DPD Hizbut Tahrir Indonesia Kota Kediri)

Umat akan selalu bersedia untuk dibimbing dan dipelihara oleh para ulama. Untuk itu, para ulama tentu harus terus-menerus memperhatikan keadaaan dan kepentingan umat. Mereka harus selalu merasakan apa yang dibutuhkan oleh umat. Mereka harus senantiasa waskita terhadap apa saja yang bisa merugikan umat, memalingkan umat dari agama mereka serta menjerumuskan umat ke dalam jurang keburukan, kemaksiatan dan kekufuran.

di antara tradisi para ulama adalah mengoreksi dan mengawal penguasa untuk menerapkan hukum Allah. Mereka mengikhlaskan niat dan pernyataan mereka membekas di hati. Sebaliknya sekarang, terdapat penguasa yang tamak, namun sebagian ulama hanya diam. Andai mereka berbicara, pernyataannya berbeda dengan perbuatannya sehingga tidak mencapai keberhasilan.

Kondisi carut marut pengelolaan negara yang ditandai dengan banyaknya penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) menjadi tontonan rakyat. Ini mengartikan sesungguhnya bahwa demokrasi telah gagal dan destruksif. Banyaknya penyimpangan (deviasi) memberi makna tingkat Indonesia sebagai bangsa (state) dan negara (nation) makin mundur. Kesejahteraan yang dijanjikan rejim kapitalis sebatas jargon verbal, tidak pernah terinternalisasi pada tataran praktis maupun normative.

Dalam demokrasi peran ulama direduksi. Kepentingan politikus dan partai-partai pragmatis terhadap ulama seakan hanya terbatas pada detik-detik menjelang perhelatan politik dilaksanakan. Adapun dalam rentang waktu antara pemilihan satu dengan pemilihan lain, peran mereka “tetap” dimarjinalkan oleh otoritas kekuasaan politisi.

Demokrasi -yang dipasarkan oleh Barat kafir ke negeri-negeri kaum Muslim- adalah sistem kufur yang tidak memiliki hubungan dengan Islam, baik dari dekat atau pun jauh. Demokrasi bertentangan dengan hukum-hukum Islam secara total baik dalam globalnya atau detil-detilnya, dalam hal sumbernya, akidah yang darinya terpancar demokrasi, asas-asas yang menjadi landasannya, dan ide-ide serta sistem-sistem yang didatangkannya.

Fakta politik dalam spektrum demokrasi, kebiasaan partai-partai dan para politisi pragmatis yang suka memajang ulama hanya sekadar menjadi pendulang suara pemilih tampaknya harus mulai dihilangkan. Pengaruh ulama  yang kharismatik sering  dimanfaatkan atau menjadi incaran para politisi untuk mendulang suara. Biasanya, peran penting ulama sebagai “vote getter” terdepan tidak akan dinafikan dalam strategi kampanye partai politik paling tidak diharapkan bisa menarik perhatian para pemilih bahkan tidak jarang ulama diposisikan sebagai juru kampanye atau paling tidak dengan kehadiran para ulama ini dalam setiap kampanye dianggap sebagai tanda “restu” dan legitimasi. Namun sayangnya dengan kondisi perpolitikan yang masih sangat pragmatis ini membuat simpul-simpul pendulang suara termasuk yang berada di pesantren sering hanya dijadikan sebagai alat kampanye semata melalui janji-janji atau biasa disebut angin surga dari partai politik.

Ulama dan pesantren kerap jadi sasaran para politisi dalam membangun basis dukungan politik. Pada setiap pemilu, maka suara tokoh dan santri selalu diperebutkan, bukan saja oleh partai-partai politik berbasis massa muslim saja, melainkan juga partai-partai politik yang berbasis nasionalis. Kunjungan elit partai ke pesantren menjadi wajib dengan harapan bisa mendulang suara.

Ulama sebagai entitas pemikiran dan kultural memang tidak lepas dari konteks struktural politik yang mengitarinya. Karena itu, ulama tidak mungkin bisa menghindar dari hiruk-pikuk permasalahan politik. Tetapi yang perlu dipertegas adalah peran ulama dalam kepemimpinan dari tataran konsep maupun praktis. 

Ditengah krisis kepemimpinan, krisis moral, dan krisis kepercayaan yang melanda persada nusantara dewasa ini, muncul pertanyaan penting di manakah posisi para ulama’? Di manakah gerangan para pewaris Nabi itu? Para Nabi tidak mewariskan dirhan dan dinar, melainkan mewariskan ilmu syariah ini.

Revitalisasi Peran Ulama

Di tengah-tengah umat, ulama bagaikan lentera yang bersinar terang, membimbing dan menunjukkan jalan yang benar. Apabila ulama terbenam, maka jalan akan kabur. (HR Imam Ahmad).  

Ulama adalah lambang harapan dan cita-cita umat. Karena itu, peran politik ulama adalah sebuah keniscayaan. Politik adalah pengaturan rakyat yang tidak akan pernah berpisah dengan visi dan misi sosok ulama. Rusaknya moral para birokrat, bergesernya haluan politik pada sekadar hanya untuk meraih kekuasaan,  “lugu”-nya masyarakat menilai  persoalan politik, dan intervensi asing terhadap negara, boleh jadi di antaranya karena peran politik ulama yang kian terpinggirkan.

Ulama itu secara bahasa merupakan jamak dari kata alim yang berati orang berilmu. Secara syar’iy, ulama adalah orang-orang yang paling takut kepada Allah karena keda-laman ilmunya. Diantara karakter yang dimiliki ulama adalah, pertama, ulama adalah orang-orang yang merupakan lambang iman dan harapan umat, serta memberikan petunjuk dengan hanya berpegang pada Islam. Mereka mewarisi karakter Nabi dalam keter-ikatannya terhadap wahyu Allah SWT.

Kedua, benar-benar takut kepada Allah SWT baik dalam hati, ucapan maupun perbuatannya dan berpegang kepada aturan Allah SWT. Firman Allah SWT:

"Sesungguhnya mereka yang takut di kepada Allah diantara hamba-hamba-Nya, hanyalah Ulama”. (QS. Al-Fathir [35] :28).

Ketiga, tidak mendiamkan, tidak menyetujui dan tidak mendukung kedzaliman dan siapapun yang berbuat dzalim. Tegas sekali firman Allah SWt dalam ayat berikut: “Dan janganlah kalian cenderung (la tarkanu) kepada orang-orang yang berbuat dzalim, yang menyebabkan kalian disentuh api neraka…” (QS. Hud [11]: 113). Ibnu Juraij menyatakan bahwa kata La tarkanu berarti ‘jangan cenderung kepadanya'; Qatadah menyebutkan, ‘jangan bermes-raan dan jangan mentaatinya'; sementara Abu Aliyah menerangkan kata itu berarti ‘jangan meridlai perbuatan-perbua-tannya’.

Ulama, bukan sebuah profesi. Namun, wujud ulama merupakan amanah dari Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam. Amanah adalah kemampuan untuk menjaga (hafidz) dan menempatkan sesuatu pada tempatnya (‘adil). Karena itu, aktifitasnya bisa terlibat dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat; ekonomi, politik, budaya dan bidang-bidang fardhu kifayah lainnya.

Amanah, salah satunya dipraktikkan dalam bentuk amar ma’ruf nahi munkar. Menebar kebaikan, mencegah kemunkaran. Di sini, ulama tidak boleh diam. Dan haram mendiamkan kemunkaran. Persoalan besar sekarang, seruan ma’ruf telah banyak. Tapi masih minim peringatan terhadap yang munkar. Sehingga kerusakan makin mudah menyebar.

Imam al-Ghazali mengatakan, “Sesungguhnya, kerusakan rakyat disebabkan oleh kerusakan para penguasanya, dan kerusakan penguasa disebabkan oleh kerusakan ulama, dan kerusakan ulama disebabkan oleh cinta harta dan kedudukan, dan barang siapa dikuasai oleh ambisi duniawi ia tidak akan mampu mengurus rakyat kecil, apalagi penguasanya. Allah-lah tempat meminta segala persoalan.” (Ihya’ Ulumuddin II hal. 381).

Saat ini masih ada anggapan pada sebagian orang, bahwa ulama itu harus menjauhi politik. Anggapan seperti itu terpengaruh oleh paham sekular Barat yang traumatik terhadap campur tangan gereja terhadap kekuasaan kaisar di Eropa pada Abad Pertengahan, yang memang banyak menimbulkan kesengsaraan bangsa-bangsa Barat. Agama gereja, yang hanya mengajarkan masalah ritual dan moral, ketika memasuki wilayah politik, memang menimbulkan persoalan. 

Islam tentu tidak bisa disamakan dengan agama gereja.  Islam adalah agama Allah yang bersifat komprehensif, mengandung ajaran dan peraturan untuk segala aspek kehidupan, termasuk aspek politik dan ketatanegaraan.  Jadi, kalau ulama  memiliki ilmu pengetahuan Islam yang kâffah, mereka pasti akan melek politik, sekaligus terlibat dalam aktivitas politik.  Buktinya, para ulama pada masa para Sahabat, para tâbi‘în, dan para imam mujtahid yang menjadi rujukan umat Islam sedunia umumnya melakukan kegiatan politik. 

Maka para ulama harus memiliki kepekaan dan kesadaran politik yang tinggi. Sebab, ulama adalah tumpuan sekaligus harapan umat dan penguasa. Ulama juga adalah rujukan tempat mereka bertanya. Jadi, ulama memang tidak boleh ‘kuper’. Mereka harus cepat menguasai permasalahan sehingga bisa memberikan jawaban dan nasihat yang cepat, tepat dan cermat. 

Ulama juga harus memiliki ketegasan sikap. Imam Ahmad bin Hanbal, yang populer dengan perlawanannya terhadap masalah khalq al-Qur’an. ‘Abdullah bin ‘Abbas dengan perlawananya terhadap Khawarij. Sa’id bin Jubair dengan perlawanannya terhadap al-Hajjaj. ‘Izzuddin bin Salam dengan Mamalik. Ibn Taimiyah dengan jihadnya melawan Tatar. Sufyan ats-Tsauri dengan sikapnya, yang tidak mau menyentuh surat Harun ar-Rasyid dengna tangannya, karena surat itu datang dari orang yang zalim. Bahkan, beliau memerintahkan salah seorang pengikutnya untuk membalik surat tersebut, dan menulis di belakangnya: “Kepada Harun —bukan Amirul Mukmin— lalu menyatakan, yang intinya: Anda telah memutuskan diri Anda sendiri untuk mengelola harta kekayaan kaum Muslim dengan hawa nafsu Anda. Anda jelas zalim. Saya kelak akan menjadi saksi Anda.” Abu Hanifah dengan sikapnya yang tidak rela dengan kebijakan al-Manshur secara umum. Suatu hari, ibunda beliau pernah berkata kepada beliau, ketika beliau mendekam di dalam penjara: “Wahai Nukman, sesungguhnya ilmu bisa memberimu manfaat, bukan siksaan dan penjara. Sungguh, kamu pun bisa melepaskan diri darinya.” Beliau pun menjawab: “Ibu, andai saja putramu menginginkan dunia, tentu sudah kugapai. Tetapi, putramu ingin Allah mengetahui bahwa putramu menjaga ilmu-Nya, meskipun harus mengorbankan diri dalam kebinasaan.” 

Inilah sikap ulama’ agung kaum Muslim di masa lalu. Lalu, di manakah ulama’ agung kaum Muslim saat ini ketika menghadapi problematika utama umat? Di manakah posisi ulama dalam konteks pernyataan Imam al-Ghazali: “Rusaknya rakyat, karena rusaknya para penguasanya. Rusaknya para penguasa, karena rusaknya para ulama’.” dalam konteks firman Allah: 

لَتُبَيِّنُنَّهُ لِلنَّاسِ وَلاَ تَكْتُمُونَهُ

“Sungguh, kalian harus menyampaikannya kepada umat manusia, dan janganlah kalian menyembunyikannya.” (TQS. Ali ‘Imran [03]: 187)

Ulama wajib memimpin dan menuntun umat dalam perjuangan menegakkan syariah dan Khilafah. Sesungguhnya pangkal persoalan yang menyebabkan umat Islam terus didera oleh problem multidimensi adalah tidak adanya penerapan syariah Islam secara kaffah.  Semua itu bermula ketika Khilafah Islamiyah lenyap dari kehidupan umat Islam.  Atas dasar itu, perjuangan menegakkan Khilafah Islamiyah sejatinya adalah perjuangan untuk mengembalikan supremasi Islam, sekaligus membebaskan manusia dari penderitaan akibat penerapan sistem kapitalis-sekular.

Ulama harus berada di garda terdepan dalam perjuangan mulia ini dengan cara memimpin dan membina umat agar mereka memberikan dukungan kepada perjuangan menegakkan kembali Khilafah Islamiyah.

Road Map Perubahan

Barat kafir imperialis telah bermain-main dengan akal pikiran kaum Muslim dan membuat kaum Muslim melupakan misi mereka dan rahasia kekuatan mereka. Barat kafir imperialis terus berusaha sungguh-sungguh menguatkan cengkeraman politik dan kultural mereka atas negeri-negeri kaum Muslim setelah umat Islam bangun dan mulai mendongkel antek-antek barat di antara para pengkhianat dan diktator satu demi satu. 

Otoriteriarisme kaum sekuler-liberal tidaklah cukup dinasihati, tapi harus dihambat gerak lajunya. Karena ideologi sekular-liberal merupakan bentuk kemungkaran akidah yang wajib dicegah. Ketika, Barat dan rejim bonekanya menghambat kepentingan kaum Muslimin, ulama haram untuk berdiam diri. Wacana terbaru misalnya, isu tentang LGBT, disintegrasi papua, konflik di Timur Tengah, maupun format Negara Islami yang menjadi kewajiban dan kebutuhan hakiki umat.

Barat kafir imperialis terus saja mempromosikan negara mereka, negara sipil demokrasi, liberalisme dan sekulerismenya seluruhnya yang saling bertentangan di dalam ungkapan yang asing Negara demokrasi memiliki rujukan islami.

Kalau yang dikehendaki itu adalah perubahan sistem kehidupan, demokrasi hanya memberikan perubahan orang/rezim. Sistem yang diterapkan sama: sekular. Sekadar contoh, Indonesia dari awal kemerdekaan tetap menjalankan sekularisme. Memang, terjadi perubahan pendekatan mulai dari Sosialisme pada Orde Lama, Kapitalisme pada Orde Baru, dan Neoliberalisme pada era Orde Reformasi. Namun, sistemnya tidak berubah: sekularisme. Perubahan yang terjadi hanyalah perubahan rezim penguasa. Dengan demikian, berharap adanya perubahan hakiki pada demokrasi ibarat punduk merindukan bulan. Utopis!

Kebangkitan hakiki adalah kebangkitan yang menjadikan manusia sebagai manusia dan mendudukkan Allah SWT sebagai sesembahannya. Melalui kebangkitan hakiki akan teraih kemuliaan. Kebangkitan ini laksana perubahan dari kegelapan menuju cahaya. Satu-satunya jalan menuju cahaya itu adalah Islam. Caranya, menaati aturan Allah Pencipta manusia, dan meninggalkan semua jalan hidup selain Islam, termasuk demokrasi (Lihat: QS al-Baqarah [2]: 257; QS al-An’am [6]: 153).

Rasulullah saw. menjelaskan dalam sunnah qawliyah maupun fi’liyah bahwa jalan penerapan Islam itu memerlukan kekuasaan pemerintahan Islam. Pada masa beliau wujud kekuasaan Islam. Kebangkitan dan perubahan hakiki sejatinya mengubah penyembahan manusia terhadap sesama manusia menjadi penyembahan manusia terhadap Allah SWT Pencipta manusia. Hal ini ditunjukkan oleh tegaknya syariah Islam sebagai wujud ketundukan manusia pada hukum-Nya.

Melalui lesan dan tulisan para ulama, maka umat segera menyadari bahwa mengangkat seorang khalifah adalah kewajiban yang telah disepakati para ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah (Aswaja).  Menolak atau mengingkari kewajiban ini sama artinya telah menyimpang dari kesepakatan mereka.

Ada sebagian ulama yang surut atau enggan berjuang menegakkan Khilafah karena merasa umat tak akan sanggup menghadapi hegemoni negara-negara Barat, khususnya Amerika Serikat. Mereka berpikir bahwa negara-negara Barat tidak memiliki kelemahan dan tak mungkin dihancurkan.

Sejarah telah mencatat kejatuhan sejumlah kerajaan dan negara di dunia. Uni Soviet yang dulu digadang-gadang menjadi negara besar ternyata ambruk hanya dalam tempo kurang dari satu abad. Amerika Serikat yang saat ini masih dimitoskan sebagai negara adidaya terbukti keropos dan menunggu saat kejatuhannya. Perekonomian negara ini telah terperosok dalam utang dan krisis. Kondisi sosial negara ini rusak. Militer mereka mengalami kekalahan perang di negeri-negeri Islam.

Kedigdayaan Barat, utamanya AS dan sekutu mereka Israel, lebih bertumpu pada mitos ketimbang realita. Kebesaran mereka dibangun lewat imaji yang dibangun media massa, film-film Hollywood dan antek-antek mereka yang telah menjadi penjaga kepentingan mereka di setiap negeri Muslim. Sekarang terbukti, kebesaran itu hanyalah topeng. Barat dan AS kini menghadapi kebangkrutan finansial, militer dan sosial.

Perjuangan menegakkan kembali Khilafah Islamiyah adalah perjuangan yang tidak ringan, tidak mungkin dilakukan seorang diri.  Perjuangan mulia ini harus dilakukan secara kolektif dengan melibatkan seluruh komponen umat Islam, khususnya pihak-pihak yang memiliki kemampuan.  Di antara segmen masyarakat yang memiliki kemampuan (kafa’ah) adalah ulama.  

Oleh karena itu, ulama harus bergabung dalam organisasi Islam yang bertujuan melangsungkan kehidupan Islam dalam bingkai Khilafah Islamiyah.  Membangun dakwah yang kuat dan opini global yang positif tentang Islam dan Khilafah merupakan perkara penting demi mengembalikan bangunan Khilafah di dunia Islam. Dan ini jelas membutuhkan kontribusi ulama. [VM]

Posting Komentar untuk "Menakar Kekuatan Politik Ulama"

close