ISLAM TIDAK MENGENAL IDE KESETARAAN GENDER (Catatan Kritis Hari Perempuan Sedunia)
Tanggal 08 Maret telah ditetapkan PBB sebagai “International Woment’s Day“, Hari Perempuan Sedunia. Jokowi sendiri telah berkicau dalam Twitternya: “Selamat Hari Perempuan Sedunia. Hentikan distriminasi dan kekerasan terhadap perempuan”. (Twitter@jokowi, Selasa 8/3/2016).
Mengacu pada pedoman PBB untuk negara-negara dunia, di Hari Perempuan Internasional pada tanggal 8 Maret kali ini mengusung tema "Menuju pencapaian kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan pada tahun 2030".(UN situs 2016/03/03). Ban Ki-moon (Sekretaris Jenderal PBB) mengutarakan, "Mari kita mendedikasikan kembali dana yang besar untuk mencapai kesetaraan gender di semua bagian dunia ini, berani membela untuk tujuan tersebut, dan keinginan politik yang kuat dan tidak akan gentar untuk berinvestasi di masa depan untuk tujuan ini”.
Menurut beberapa analis, perkiraan dana yang digelontorkan untuk memenuhi tujuan pemberdayaan perempuan dan kesetaraan gender tersebut, tiap tahunnya berkisar antara 3,3 triliun dan 4,5 triliun US dolar. Dana ini setara dengan anggaran Federal Amerika Serikat di tahun 2016, sebesar 3,8 triliun dolar. (Deutsche Welle 2015/03/08).
Millennium Development Goals mengklaim bahwa dana itu akan mampu menghilangkan kemiskinan dan mengurangi kekerasan atas perempuan dan anak-anak di berbagai belahan dunia. Walau pada kenyataanya, kemiskinan perempuan dan anak-anak di berbagai belahan bumi semakin meningkat. Termasuk di negara kaya, bahwa terdapat kesenjangan antara kaya dan miskin yang semakin dalam. PBB sendiri telah mengumumkan kegagalnnya untuk mengurangi kemiskinan dan kelaparan, khususnya di daerah seperti Afrika Selatan. Termasuk gegagalan damal merealisasikan upaya kesetaraan gender dan kekerasan atas perempuan, pemberdayaan anak-anak laki-laki dan perempuan untuk menyelesaikan pendidikan dasar.
Di negeri ini, kekerasan atas perempuan semakin meningkat. Komisi Nasional Anti kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mencatat kekerasan pada perempuan kian meluas, tidak hanya terjadi ranah domestik atau perkawinan, tetapi juga ranah komunitas dan negara. Dari total laporan 321.752 kasus, dalam ranah domestik adalah kasus perkosaan sebanyak 2.399 kasus, pencabulan sebanyak 601 kasus dan pelecehan seksual sebanyak 166 kasus. Dalam ranah komunitas terdapat 5.002 kasus dan kekerasan seksual pada perempuan mendominasi sebanyak 61 persen dari kasus tersebut (republika.co.id).
Upaya dunia (PBB), --termasuk Komnas Perempuan di negeri ini—dalam mengkampanyekan ide kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan, hakikatnya tidak lebih dari membuka borok sistem Kapitalis yang telah gagal dalam menghormati dan memuliakan perempuan. Target baru PBB secara internasional tersebut tidak lebih dari sebuah lelucon kemanusiaan dan mengabaikan pikiran manusia. Biaya yang begitu fantastis sangat rawan dengan penyelewengan dan korupsi. Sekalipun membawa “darah segar” penyambung hidup bagi pegiat pejuang kesetaraan gender di berbagai pelosok negeri.
Persoalan --perempuan-- sebenarnya melekat pada Sistem Kapitalis yang meniscayakan pelecehan dan pembodohan atas perempuan. Perempuan dalam sistem Kapitalis “dilepas” di sektor-sektor publik, menjadi buruh, pekerja dengan segala lingkungan kehidupan yang bukan fitrahnya. Dan zhalimnya, tidak sedikit pabrik dan perusahaan lebih mengutamakan perempuan untuk karyawannya, karena perempuan dipandang tenaga kerja yang murah –tidak perlu banyak tunjangan dalam gajinya--, tidak banyak protes, dan relatip pasrah. Wanita juga dieksploitasi, “dipajang” di depan produk-produk yang tidak ada kaitannya dengan wanita, sekedar hanya untuk menaikan omzet. Kontes perempuan sejagat, “miss-miss”-an, tidak lebih dari menghargai perempuan dari sisi fisik. Jika fisiknya dianggap sudah tidak bernial lagi, dibuang.
Gagasan tentang peringatan ini sendiri pertama kali dikemukakan pada saat memasuki abad ke-20. Di tengah-tengah gelombang industrialisasi dan ekspansi ekonomi yang menyebabkan timbulnya protes-protes mengenai kondisi kerja.
Kaum perempuan dari pabrik pakaian dan tekstil mengadakan protes pada 8 Maret 1857 di New York City. Para buruh garmen memprotes apa yang mereka rasakan sebagai kondisi kerja yang sangat buruk dan tingkat gaji yang rendah. Para pengunjuk rasa diserang dan dibubarkan oleh polisi. Kaum perempuan ini membentuk serikat buruh mereka pada bulan yang sama dua tahun kemudian. (SINDOnews.com).
Berbeda halnya dengan Islam, dalam Islam tidak pernah dikenal istilah pemberdayaan perempuan dan ide kesetaraan gender. Karena sejatinya dari awal perempuan mulia, terhormat, dan memiliki kedudukan istimewa dalam Islam. Islam memandang bahwa asal seorang wanita adalah ibu –bagi anak-anaknya--, manager rumah tangga –suaminya--, yang wajib dijaga kehormatan dan kemuliaannya.
Tidak ada diskriminasi antara laki-laki dan perempuan dalam Islam. Agama Islam datang dengan membawa serangkaian taklif syara’ yang dibebankan kepada laki-laki dan wanita. Dan ketika Islam menjelaskan hukum-hukum syara yang memberikan solusi atas aktivitas masing-masing dari keduanya, Islam sama sekali tidak memandang masalah kesetaraan atau keunggulan antara laki-laki dan perempuan.
Melainkan Islam hanya memandang bahwa di sana terdapat persoalan tertentu yang memerlukan solusi. Dan Islam menyelesaikan persoalan tersebut sebagai suatu persoalan tertentu tanpa memperhatikan posisinya sebagai persoalan bagi laki-laki atau wanita. Sehingga persoalan kesetaraan atau tidak, bukan topik yang perlu dibahas dalam Islam. Pria dan wanita memiliki kedudukan yang sama dihadapan Allah SWT. Firman Allah.
(وَلَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِي آدَمَ وَحَمَلْنَاهُمْ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ وَرَزَقْنَاهُمْ مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَفَضَّلْنَاهُمْ عَلَىٰ كَثِيرٍ مِمَّنْ خَلَقْنَا تَفْضِيلًا)
“dan Sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan.” (Al Isra 70).
Ketika Islam memandang suatu komunitas masyarakat, baik laki-laki maupun perempuan, Islam hanya memandangnya sebagai komunitas manusia, bukan yang lain. Dan karakter komunitas manusia tersebut di dalamnya terdapat pria dan wanita. Firman Allah.
(بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَٰنِ الرَّحِيمِ يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاءً ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ ۚ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبً)
“Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain , dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.” (An Nisa 1)
Terdapat banyak ayat dan hadits dalam yang datang secara umum, komprehensif bagi manusia, tanpa membeda-bedakan gender. Firman Allah SWT.
(إِنَّ الْمُسْلِمِينَ وَالْمُسْلِمَاتِ وَالْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ وَالْقَانِتِينَ وَالْقَانِتَاتِ وَالصَّادِقِينَ وَالصَّادِقَاتِ وَالصَّابِرِينَ وَالصَّابِرَاتِ وَالْخَاشِعِينَ وَالْخَاشِعَاتِ وَالْمُتَصَدِّقِينَ وَالْمُتَصَدِّقَاتِ وَالصَّائِمِينَ وَالصَّائِمَاتِ وَالْحَافِظِينَ فُرُوجَهُمْ وَالْحَافِظَاتِ وَالذَّاكِرِينَ اللَّهَ كَثِيرًا وَالذَّاكِرَاتِ أَعَدَّ اللَّهُ لَهُمْ مَغْفِرَةً وَأَجْرًا عَظِيمًا)
“Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang mukmin, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam ketaatannya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyuk, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar.” (Al Ahzab 35).
Adapun ketika Allah memberikan spesifikasi beban kewajiban atas dasar gender, hakikatnya tidak ada kaitannya dengan membedakan antara laki-laki dan perempuan dari sisi pemuliaan dan kedudukan. Justru pembedaan beban hukum tersebut atas dasar kenyataan laki-laki dan perempuan memang memiliki karakter, ciri, kemampuan, dan sifat yang berbeda.
Allah dan Rasul-Nya membebankan hukum persususan, hak pengasuhan anak kepada wanita, karena secara kemanusiaan hanya wanita yang mampu melakukan itu –menyusui--, laki-laki tidak. Demikian halnya dengan pembagian waris, laki-laki dua bagian perempuan, karena laki-laki memiliki kewajiban nafkah dan tanggung jawab lebih dibanding wanita. Laki-laki wajib memberi mahar, sementara wanita tidak.
Allah telah menjelaskan kepemimpinan dalam rumah tangga adalah bagi kaum pria, karena Allah SWT telah menetapkan berbagai tambahan taklif kepada mereka seperti pemerintahan, imamah dalam shalat, perwalian dalam pernikahan. Kepemimpinan tersebut juga dikarenakan berbagai beban yang telah digantungkan Allah di pundak kalum pria berupa taklif nafkah dalam bentuk mahar, makanan, pakaiana, dan tempat tinggal.
Demikianlah, Allah SWT telah mensyari’atkan bagi manusia dengan predikatnya manusia. Disamping Allah telah mensyari’atkan berbagai beban bagi masing-masing manusia baik pria maupun wanita. Akan tetapi dalam hal yang kedua ini, penetapan syari’at dilakukan dengan memandangnya sebagai jenis manusia tertentu yang memiliki karakter kemanusiaan dan karakter jenis yang berbeda. Hal tersebut tidak dimaksudkan untuk membeda-bedakan (diskriminasi) satu jenis dari yang lain. Sebagaimana juga di dalamnya tidak diperhatikan sedikitpun masalah kesetaraan dan tidak adanya kesetaraan. [VM]
Posting Komentar untuk "ISLAM TIDAK MENGENAL IDE KESETARAAN GENDER (Catatan Kritis Hari Perempuan Sedunia)"