Masih Tentang Bahaya TPP dan TiSA
Oleh : Umar Syarifudin (Syabab HTI Kota Kediri)
Indonesia memiliki segenap potensi yang sangatlah dahsyat di mata global terutama faktor geografi dan potensi kekayaan alam. Negeri ini masih menempati posisi selain : sebagai pemasok raw material bagi banyak negara industri maju; sebagai pasar potensial karena faktor demografi, sebagai kawasan untuk memutar ulang kembali atas kapital yang telah diakumulasi oleh negara-negara industri maju. Indonesia memiliki kekayaan alam melimpah.
Mengadopsi paham neoliberalisme, Negara ini makin lemah, sehingga pertarungan internasional terus berlangsung di sini untuk merealisasi kepentingan-kepentingan mereka dan menghisap darah kita selama pihak-pihak yang bertarung mendapatkan antek-antek dan para pengikut yang memberikan loyalitas kepada mereka.
Australia contohnya, akan menjerit jika Indonesia tidak aman sebab hampir 80% APBN-nya tergantung Indonesia. Belum lagi Cina, atau Jepang, Amerika, Prancis, dan lain-lain. Sistem transportasi ekspor impor negara-negara akan terganggu, pasar-nya lenyap, pasokan bahan baku untuk keperluan industri akan tersendat, atau aktivitas putar ulang kapital akan berhenti, dan lainnya.
Amerika Serikat beranggapan setelah berakhirnya perang dingin pada awal 1990-an, hanya ada kutub tunggal (unipolar). Inilah yang mendasari seluruh kebijakan ekonomi-politik AS untuk menguasai negara-negara di kawasan Asia Pasifik. Maka atas dasar prakarsa mereka, dibentuklah kesepakatan rahasia beberapa negara untuk menguassai perdagangan global di bawah payung skema Trans-Pacific Partnership (TPP) yang dimotori AS.
Namun pada 2 Juli 2015, Wikileaks kembali mengungkap beberapa fakta penting mengenai beberapa draft kesepakatan rahasia antarnegara dalam skema Trade in Services Agreement (TiSA) yang dimotori oleh AS dan Uni Eropa. Menurut data yang dirilis oleh Wikileaks, hingga kini ada 23 negara sudah melakukan negosiasi yaitu Australia, Kanada, Chile, Taiwan, Kolombia, Kostarika, Hongkong, Iceland, Israel, Jepang, Liechtenstein, Meksiko Selandia Baru, Norwegia, Swiss, Pakistan, Panama, Uruguay, Paraguay, Peru, Korea Selatan, Turki, Amerika Serikat dan Uni Eropa (mewakili 28 negara, termasuk Inggris).
Dari 17 draf dokumen penting skema TiSA yang saat ini masih dalam negosiasi yang sifatnya rahasia dan tertutup, dokumen tersebut menyiratkan beberapa kesepakatan penting untuk menghilangkan hambatan-hambatan perdagangan jasa antarnegara. Wikileaks menulis:
“While the proposed Trans Pacific Partnerhship (TPP) and the Transatlantic Trade and Investment Pact (TTIP) have become well known in recent months, the TiSA is the largest component of the United States strategic neoliberal trade treaty triumvirate. Together, the three treaties form not only a new legal order shaped for transnational corporations, but a new economic grand enclosure, which excludes China and all other BRICS countries.”
Tak pelak lagi TiSA merupakan komponen strategis untuk memainkan skema ekonomi neoliberal AS terhadap berbagai negara. Sehingga tidak berlebihan kiranya jika TiSA dan TPP merupakan sebuah kesepakatan yang tingkatan daya rusaknya melebihi WTO dan NAFTA.
Dalam sebuah laporannya yang berjudul TiSA versus Public Services, Public Services International, sebuah organisasi federasi lembaga persatuan pekerja publik internasional yang beranggotakan sekitar 20 juta pekerja publik yang tersebar di 154 negara, antara lain menulis sebagai berikiut:
“Current treaties have developed into constitutional-style documents that tie governments’ hads in many areas only loosely related to trade. These include patent protections for drugs, local government purchasing, foreign investor rights, public services and public interest regulation, which can have consequences in areas such as labour, the environment and Internet Freedom.”
Selain itu, dengan merujuk pada artikel dari Emma Woolacott, kontributor forbes.com, ada dugaan kuat bahwa dalam sebuah klausulnya, setiap negara yang ikut meratifikasi TiSA diwajibkan untuk mengizinkan data base kependudukannya untuk diakses oleh negara, lembaga, perusahaan atau individu negara lain.
Namun, apa agenda tersembunyi dari TiSA kiranya yang jauh lebih penting untuk diungkap. Berdasarkan diskusi terbatas antar beberapa peneliti senior Global Future Institute, tujuan TiSA nampaknya bukan sekadar untuk meliberalisasi perdagangan jasa antarnegara anggota TiSA. Lebih dalam dari itu, sepertinya TiSA bertujuan untuk memaksa negara-negara yang tergabung dalam BRICS (Brazil, Rusia, India, Cina dan Afrika Selatan), maupun negara-negara yang tergabung dalam ASEAN serta beberapa negara berkembang lainnya, agar tunduk dan patuh terhadap aturan yang ditetapkan oleh TiSA.
Hal ini membuktikan bahwa AS dan Uni Eropa memandang dirinya sebagai Negara superior dan menafikan keberadaan kekuatan-kekuatan di luar orbit mereka sebagai kutub tersendiri. Sehingga kekuatan-kekuatan baru seperti BRICS dan ASEAN bisa terintegrasi dalam skema TiSA dan TPP. Apalagi dalam perhitungan negara-negara yang tergabung TiSA, jika total perdagangan jasa antarnegara yang tergabung dalam TSA digabung menjadi satu, maka diperkirakan TiSA akan menguasai dua pertiga GDP global.
Tahun lalu beredar informasi bahwa Cina sedang dirangkul oleh Uni Eropa untuk bersama-sama menguasai perekonomian ASEAN melalui apa yang dinamakan “Europe’s Smart Asian Pivot". Asia sudah menjadi trading partner penting yang mengusai sepertiga perdagangan internasional Uni Eropa. Berarti ini sudah berhasil menyalip tingkat perdagangannya dengan Amerika Utara. Bahkan perdagangannya dengan Cina saja, sudah mencapai lebih dari 1 juta Euro per hari. Jelaslah ini merupakan catatan yang penting.
Namun belakangan negara-negara yang tergabung dalam BRICS menolak menjadi anggota TiSA. Penolakan negara-negara yang tergabung dalam skema BRICS untuk bergabung dengan TiSA bisa dibaca sebagai sebagai bukti bahwa BRICS sudah menjadi kekuatan keseimbangan baru di medan perekonomian global di luar lingkup pengaruh dan orbit dari TiSA dan TPP yang dimotori AS dan Uni Eropa.
Perlu dipandang dari perspektif riil, perlu disadari bahwa dibalik slogan “Free Trade” dan “More Transparancy” dalam skema TPP: "Deal is not about trade, it is about corporate control.” Memang begitulah adanya. Pertarungan Kepentingan antar Korporasi-Korporasi Global. Maka itu, kaum muslim harus bangkit dengan membumikan penerapan konsep Islam yang komperehensif sehingga punya kontra skema untuk menolak akal bulus negara-negara adidaya kapitalis di tengah pusaran pertarungan antar korporasi global tersebut. Sebagai solusinya peradaban Islam akan mampu menciptakan arus baru peradaban Islam yang sehat, tanpa penindasan. [VM]
Posting Komentar untuk "Masih Tentang Bahaya TPP dan TiSA"