Mewujudkan Ketakwaan
Puasa Ramadhan diwajibkan kepada kita disertai dengan hikmah agar kita menjadi orang yang bertakwa. Allah SWT berfirman:
]يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ[
Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian berpuasa, sebagaimana puasa itu telah diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian, agar kalian bertakwa (TQS al-Baqarah [2]: 183).
Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jazairi di dalam Aysar at-Tafâsîr menjelaskan makna firman Allah SWT ”la’allakum tattaqûn”, yakni: agar dengan puasa itu Allah mempersiapkan kalian untuk bertakwa, yaitu melaksanakan perintah-perintah Allah SWT dan menjauhi larangan-larangan-Nya (Al-Jazairi, Aysar at-Tafâsîr, I/80).
Takwa, sebagaimana yang dikatakan oleh Sayidina Ali bin Abi Thalib ra, adalah: al-khawf min al-jalîl wa al-‘amalu bi at-tanzîl wa al-qanâ’atu bi al-qalîl wa al-isti’dâd li yawm ar-rahîl (takut kepada Zat Yang Maha Agung, mengamalkan al-Quran, merasa cukup dengan (mengambil dunia) yang sedikit dan menyiapkan bekal untuk menghadapi hari akhira).
Imam an-Nawawi di dalam Syarh Shahih Muslim menjelaskan bahwa takwa adalah: imtitsâlu li awâmirilLâh wa ijtinâbu li nawâhîhi (melaksanakan perintah-perintah Allah dan menjauhi larangan-larangan-Nya). Takwa bisa juga dimaknai sebagai kesadaran akal dan jiwa serta pengetahuan syar’i tentang kewajiban mengambil halal dan haram sebagai standar bagi seluruh amal yang dibuktikan secara praktis di dalam kehidupan.
Selain menjadi hikmah puasa yang mesti diusahakan agar terwujud, ketakwaan itu secara khusus juga diperintahkan oleh Allah SWT untuk diwujudkan dalam tiga tingkatan: individu, keluarga dan masyarakat. Allah SWT berfirman:
]يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنتُم مُّسْلِمُونَ[
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kalian kepada Allah dengan takwa yang sebenar-benarnya, dan janganlah sekali-kali kalian mati melainkan dalam keadaan beragama Islam (TQS Ali Imran [3]: 102).
Ketakwaan harus diwujudkan oleh setiap individu Muslim dengan jalan senantiasa terikat dengan hukum-hukum Allah SWT di dalam kehidupannya. Caranya adalah dengan menjadikan halal dan haram (syariah Islam) sebagai standar hidupnya. Saat syariah Islam menyatakan kehalalan sesuatu maka sesuatu itu diambil atau dilaksanakan. Sebaliknya, jika syariah menyatakan keharaman sesuatu maka sesuatu itu dijauhi atau ditinggalkan. Puasa Ramadhan mendidik setiap Muslim untuk mewujudkan ketakwaan itu pada dirinya.
Jika ‘buah’ dari puasa adalah takwa, tentu idealnya kaum Muslim menjadi orang-orang yang taat kepada Allah SWT tidak hanya pada bulan Ramadhan saja, juga tidak hanya dalam tataran ritual dan individual semata. Ketakwaan kaum Muslim sejatinya terlihat juga di luar bulan Ramadhan sepanjang tahun, juga dalam seluruh aspek kehidupan mereka. Allah SWT juga berfirman:
﴿يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا …﴾
Hai orang-orang yang beriman, peliharalah diri kalian dan keluarga kalian dari api neraka ... (TQS at-Tahrim [66]: 6).
Terkait ayat di atas, Ibnu Abbas ra. menjelaskan maknanya: taatlah kalian kepada Allah, jauhilah kemaksiatan kepada-Nya, suruhlah keluarga kalian untuk mengingat-Nya, niscaya Allah menyelamatkan kalian dari api neraka. Mujahid juga menjelaskan maknanya: bertakwalah kalian kepada Allah dan pesankan kepada keluarga kalian untuk bertakwa kepada-Nya.
Jadi, ayat ini memerintahkan kita sebagai orang beriman untuk mewujudkan ketakwaan di tengah keluarga kita, yakni agar keluarga kita senantiasa menjalankan perintah Allah SWT dan menjauhi larangan-Nya.
Ketakwaan itu juga diperintahkan untuk diwujudkan pada tataran kehidupan bermasyarakat. Allah SWT berfirman:
]وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَىٰ آمَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِم بَرَكَاتٍ مِّنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ[
Jika saja penduduk negeri beriman dan bertakwa, niscaya Kami akan membukakan bagi mereka pintu-pintu keberkahan dari langit dan bumi (TQS al-A’raf [7]: 96).
Meski ayat di atas menggunakan redaksi berita, maknanya adalah perintah. Sebab, sebagaimana ketentuan ushul, jika suatu berita disertai dengan pujian maka maknanya adalah perintah. Karena itu ayat tersebut sesungguhnya memerintahkan penduduk negeri agar mewujudkan keimanan dan ketakwaan di tengah-tengah mereka.
Menerapkan Syariah, Mewujudkan Ketakwaan
Kunci untuk mewujudkan ketakwaan yang diperintahkan oleh Allah SWT itu, baik pada tataran individu, keluarga maupun dalam kehidupan masyarakat, adalah penerapan syariah islamiyah secara menyeluruh untuk mengatur segala bentuk interaksi yang ada di tengah masyarakat.
Penerapan syariah secara formal menjadi kunci mewujudkan keimanan dan ketakwaan penduduk negeri adalah jelas. Sebab, penduduk negeri beriman dan bertakwa itu bermakna mereka secara bersama-sama melaksanakan perintah-perintah Allah SWT dan menjauhi larangan-larangan-Nya. Hal itu terjadi secara riil dengan menjadikan halal-haram, hukum-hukum Allah SWT, yakni syariah islamiyah, untuk mengatur kehidupan mereka.
Penerapan syariah Islam itu juga menjadi kunci bagi perwujudan ketakwaan masing-masing individu anggota masyarakat. Sebab, dengan penerapan syariah, pintu-pintu ketakwaan terbuka lebar, sementara pintu-pintu keharaman ditutup. Hal itu sangat bertolak belakang dengan kondisi saat ini saat syariah islamiyah tidak diterapkan secara formal. Jangankan mewujudkan ketakwaan penduduk negeri secara bersama-sama, mewujudkan ketakwaan individu-perindividu saja sangat sulit. Sebab, dalam kehidupan sekularistik, kapitalistik dan hedonistik saat ini, justru pintu-pintu ketakwaan dipersempit, sementara pintu-pintu kemaksiatan dibuka lebar.
Allah SWT memerintahkan kaum Muslim untuk menerapkan syariah, yakni berhukum pada hukum-hukum Allah SWT. Banyak ayat al-Quran dan hadis Rasul saw. yang menyatakan kewajiban menerapkan syariah itu. Allah SWT pun menyifati siapa saja yang tidak memutuskan perkara dengan hukum-hukum Allah sebagai orang kafir (jika disertai i’tiqad) (QS al-Maidah [5]: 44), orang fasik (QS al-Maidah [4]: 47) atau orang zalim (QS al-Maidah [5]: 45).
Penerapan syariah secara menyeluruh, selain menjadi kunci mewujudkan ketakwaan indivdu, keluarga dan masyarakat, juga merupakan konsekuensi keimanan kita. Allah SWT di dalam QS an-Nisa’ [4]: 65 menyatakan bahwa orang dikatakan tidak sempurna imannya sampai dia menjadikan Nabi saw. sebagai hakim dalam segala perkara yang diperelisihkan. Itu artinya, keimanan kita akan dipertanyakan di hadapan Allah SWT sampai kita memberikan bukti, yaitu menjadikan Nabi saw. sebagai hakim. Menjadikan Nabi saw. sebagai hakim saat beliau sudah tiada artinya menjadikan syariah yang beliau bawa sebagai hukum untuk memutuskan segala perkara, artinya menerapkan syariah secara menyeluruh.
Menerapkan syariah juga bermakna menyelamatkan masyarakat dari keburukan dan kesempitan hidup di dunia. Sebab, meninggalkan syariah bisa dimaknai sebagai bentuk dari mengambil sebagian al-Kitab dan meninggalkan sebagian lainnya. Perbuatan demikian diancam oleh Allah dengan kehinaan di kehidupan dunia dan azab pedih di akhirat (QS al-Baqarah [2]: 85).
Allah SWT juga memperingatkan dalam QS Thaha [20]: 124 bahwa siapa saja yang berpaling dari peringatan-Nya akan mendapat penghidupan yang sempit dan dibangkitkan dalam keadaan buta. Imam Ibnu Katsir menjelaskan, “Siapa saja yang berpaling dari peringatan-Ku”, yakni menyalahi perintah (ketentuan)-Ku dan apa yang telah Aku turunkan kepada Rasul-Ku; ia berpaling dan melupakannya serta mengambil yang lain sebagai petunjuknya, “maka sesungguhnya bagi dia kehidupan yang sempit”, yakni di dunia…”
Dengan demikian penerapan syariah pada dasarnya akan menyelamatkan masyarakat dari kehinaan di dunia, juga akan menyelamatkan mereka dari penghidupan yang sempit. Penerapan syariah sekaligus juga akan menjadi solusi atas berbagai persoalan yang terjadi hampir di semua aspek kehidupan saat ini. Sebab, Allah SWT telah menyatakan kesempurnaan Islam (QS al-Maidah [5]: 3), dan Islam memberikan penjelasan yakni aturan dan solusi atas segala sesuatu (Qs an-Nahl [16]: 89). Penerapan syariah secara menyeluruh juga akan menjadi sumber berbagai kebaikan yang akan dirasakan oleh semua orang, Muslim maupun non-Muslim. Sebab, penerapan syariah sebagai hukum untuk mengatur semua urusan masyarakat itu merupakan bentuk ketakwaan penduduk negeri yang dengan itulah Allah SWT akan membukakan berkah-Nya dari langit dan bumi.
Alhasil, mewujudkan ketakwaan yang menjadi hikmah puasa itu adalah dengan menerapkan syariah Islam secara menyeluruh. Hanya saja, penerapan syariah Islam secara menyeluruh itu hanya akan bisa diwujudkan di dalam sistem Khilafah seperti yang diperintahkan oleh Nabi saw. serta dipraktikkan oleh para Sahabat dan generasi kaum Muslim terdahulu. Untuk itu setiap Muslim harus turut terlibat dalam perjuangan mewujudkan penerapan syariah Islam secara menyeluruh dalam sistem Khilafah ’ala minhaj an-nubuwwah. WalLâh a’lam bi ash-shawâb. [VM] [Al-Islam edisi 810, 5 Ramadhan 1437 H – 10 Juni 2016 M]
Posting Komentar untuk "Mewujudkan Ketakwaan"