Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Kapitalisme Sumber Krisis Sektor Pangan


Oleh : Umar syarifudin – Syabab HTI (Politisi Kota Kediri)

“Negeri kita kaya raya, sumber daya alamnya sangat subur luar biasa. Ironisnya nasib sektor pangan kita bergantung pada asing” 

Soal pangan ternyata terus menjadi masalah yang tidak kunjung tuntas. Julukan sebagai lumbung pangan yang disematkan pada negeri ini juga tidak menggaransi Indonesia terbebas dari krisis pangan. Dalam seminar Food Security Summit 4 tahun lalu di Jakarta, telah dinyatakan kekhawatiran bakal munculnya krisis pangan kembali mengemuka. Sebabnya jelas, yakni ketersediaan lahan dan produksi pangan tidak mampu mengimbangi pesatnya pertambahan penduduk. Badan Pangan dan Pertanian Dunia menyatakan penduduk dunia kini sudah 7 miliar. 

Diperkirakan pada 2045 populasi dunia akan menggembung menjadi 9 miliar orang. Indonesia menghadapi kondisi serupa. Implikasinya, produksi pangan harus semakin banyak, tetapi lahan pertanian justru kian menyempit. Tingginya konversi lahan pangan ke nonpangan membuat produksi pangan cenderung stagnan.

Telah terjadi dua krisis global yang terjadi dalam kurun waktu kurang dari dua tahun (yaitu krisis finansial 2008 dan krisis pangan di periode 2007-2008) telah berhasil membuka penemuan jalan baru bagi neoliberalisme. Dua agenda yang awalnya tampak berjalan paralel kini telah menemukan titik temu dan berjalan bergandeng tangan.

Pertama adalah masalah ketahanan pangan. Banyak negara maju yang selama ini menggantungkan dirinya pada impor pangan dan selalu khawatir mengenai pengetatan pasar, akhirnya menemukan saluran baru untuk menginvestasikan keberlimpahan uang dari dalam negerinya. Investasi yang dipandang jauh lebih aman dan memberi garansi keuntungan jangka panjang dan konsisten berbentuk sistem ‘outsourcing’ dalam produksi pangan. Caranya adalah dengan membeli kontrol terhadap produksi sumber-sumber makanan di negara-negara miskin dan negara-negara berkembang melalui perusahaan-perusahaan multi-nasional. Kekhawatiran akan ketidakmampuan sebuah negara yang maju dalam ekonomi dan teknologi untuk menyediakan pangan berkualitas dan terjangkau bagi penduduk negaranya, berhasil dijawab melalui model ‘perdagangan virtual’ yang murah.

Pemerintah di negara-negara yang menjadi sasaran tembak, ditawarkan untuk mendapatkan sejumlah kecil keuntungan dari pasar pangan berupa kucuran dana segar untuk pembangunan infrastruktur dan sokongan untuk pembangunan bisnis properti yang telah terbukti dahulu gagal dan memicu krisis ekonomi global. Alasan ini mendorong Cina, US dan Inggris begitu aktif mencari ‘tanah-tanah baru’ di Afrika dan Asia sebagai cadangan pangan. Agar tampak lebih humanis, negara-negara koloni itu disebut sebagai ‘lumbung pangan dunia’. Ilusi yang sebenarnya digunakan untuk menutupi liberalisasi pangan guna kepentingan daya tahan sekaligus perluasan pasar.

Ini adalah strategi jangka panjang yang cerdas karena berhasil menjawab dua kebutuhan dalam satu sapuan. Pertama, untuk menepis keraguan mengenai krisis pangan (persoalan cadangan dan akses harga) di masa depan yang mungkin terjadi di negara-negara maju, sekaligus memberikan keuntungan karena tersedianya jumlah konsumen yang terus membesar dan jumlah permintaan yang terus meningkat.

Sebagai contoh, sejak Maret 2008 pemerintah Arab Saudi, Jepang, China, India, Korea, Libya dan Mesir telah mengutus para pejabat tingginya untuk bernegosiasi dan mencari lahan pertanian subur di berbagai tempat seperti Uganda, Brasil, Kamboja, Sudan, Pakistan, India, Indonesia dan Filipina. Proses ini dilakukan melalui sebuah praktik diplomatik bilateral maupun regional. Ironisnya negara-negara yang menjadi sasaran kerjasama tersebut justru termasuk rentan dan sedang mengalami krisis pangan domestik. Di Darfur, Sudan, misalnya terdapat sekitar 5,6 juta pengungsi yang membutuhkan makanan. Di Kamboja, sekitar 100 ribu unit keluarga mengalami kekurangan pangan. Di Indonesia sendiri, harga beras terus menerus melambung sejak tahun 2008 bersamaan dengan kemiskinan yang semakin meluas hingga membuat akses terhadap pangan bertambah sulit. Ironisnya untuk mengatasi hal tersebut, pemerintah di negara-negara tersebut justru mengandalkan impor secara berkala dan masif. Di saat yang bersamaan membuka dirinya untuk praktek jual-beli lahan untuk industri berskala besar di bidang pertanian.

Jalur kedua adalah keuntungan finansial. Mengingat jika dunia dalam turbulensi krisis keuangan, segala macam pemain di industri keuangan dan pangan – melalui rumah investasi yang mengelola dana pensiun pekerja, dana ekuitas swasta – telah bergerak aktif mencari formulasi-formulasi baru yang dapat memberikan keuntungan secara cepat, konsisten dan terus membesar. Dana-dana jaminan secara berkala dalam jumlah besar terus dialihkan dari pasar derivatif yang sekarang runtuh. Pedagang gabah mencari strategi baru dengan beralih ke tanah, sebagai sumber untuk makanan dan bahan bakar produksi.

Tanah itu sendiri awalnya bukanlah investasi yang familiar untuk banyak perusahaan-perusahaan transnasional. Sebabnya, tanah dipandang sarat dengan konflik politik di mana, dalam banyak kasus, selalu mengalami problem mengenai kepemilikan dan beberapa peraturan pembatasan yang mengatur soal pelarangan pihak asing untuk tidak dapat membeli lahan. Mengalihkan model dagang dengan menyasar tanah juga bukan pekerjaan yang murah dan singkat. Untuk mendapatkan keuntungan, investor harus meningkatkan kapasitas produksi tanah yang tentu saja memakan waktu dan biaya. Hal ini juga berarti beban kerja yang lebih berat jika dibandingkan dengan bisnis finansial atau tambang mineral. Tapi krisis gabungan antara kelangkaan sumber makanan dan problem di sektor keuangan telah mengubah nilai lahan pertanian di mata investasi. Fakta lain yang mendukung adalah murahnya harga tanah di negara-negara miskin dan negara berkembang. Kondisi yang turut dipengaruhi oleh pelemahan nilai tukar mata uang dan ketergantungan ekonomi negara-negara selatan yang telah berlangsung selama puluhan tahun.

Negara-negara maju yang telah sejak lama menyerahkan kendali pengelolaan kepentingan publik kepada korporasi dengan mudah memberikan mandat bagi badan-badan multinasional ini untuk ikut terlibat. Sebab lainnya adalah ketidakberdayaan negara pasca krisis finansial yang membuat banyak pemerintahan tidak memiliki dana yang cukup untuk melakukan invetasi baru berbiaya tinggi. Oleh karenanya, menyerahkan kerja-kerja tersebut kepada perusahaan transnasional menjadi opsi yang paling masuk akal.

Itu mengapa, tidak perlu kaget jika melihat ke sekeliling dan menemukan bahwa produksi pangan yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan multinasional ini sama sekali tidak ditujukan untuk menjawab kebutuhan pangan masyarakat sekitar. Infografis di atas, yang menggambarkan jumlah transaksi tanah di berbagai negara, mesti dipahami sebagai bagaimana ekspansi perusahaan multinasional yang terkadang mengatasi isu-isu kepentingan domestik sebuah negara. Namun, tentu ada perbedaan mendasar yang penting digarisbawahi dari ragam investasi sektor pangan yang dimotori negara-negara maju.

Indonesia Hari Ini...

Di Indonesia juga terjadi kemampuan produksi pangan yang berbeda antarwilayah dan antarmusim merupakan tantangan pendistribusian pangan kepada konsumen diseluruh wilayah Indonesia sepanjang waktu. Kemudian harga produksi pangan khusus beras yang layak menentukan keberlanjutan usaha tani dan kesejahteraan petani.

Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman (Mentan) menegaskan, sektor pangan penuh dengan anomali.

Ini didasarkan pada fakta empiris di lapangan bahwa pasokan minyak goreng, bawang merah, cabai, daging ayam dan pangan lainnya cukup melimpah dan stok cukup, tetapi harga tetap naik. "Jelas hukum ekonomi supply-demand untuk Indonesia tidak berlaku," ujar Mentan di Jakarta kepada republika.co.id (8/6/2016).

Dengan kondisi saat ini, dimana penetrasi asing melalui perusahaan multinasional di bidang pangan semakin kuat. Perusahaan asing di Indonesia tidak saja menguasai perdagangan, tetapi meluas dari hulu ke hilir, seperti sarana produksi pertanian, meliputi benih dan obat-obatan hingga industri pengolahan, pengepakan, perdagangan, angkutan hingga ritel.

Indonesia yang lemah dalam memproduksi aneka bahan pangan mengakibatkan pemerintah menghadapi persoalan pangan yang besar dan serius. “Lemahnya kita dalam memproduksi aneka pangan menyebabkan besarnya ketergantungan terhadap pangan impor,” kata Koordinator Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP) Witoro.

Pada awalnya mereka masuk di perdagangan, setelah itu untuk memastikan terjaminnya pasokan barang, mereka juga masuk ke produksi. Untuk meningkatkan volume produksi, mereka kuasai industri benih dan menciptakan ketergantungan.

Itu saja belum cukup, mereka melangkah lebih lanjut masuk ke industri pengolahan melalui akuisisi perusahaan nasional. Untuk menjamin produk mereka terjual, perusahaan asing juga masuk ke ritel.

Industri input pertanian saat ini dipasok hanya oleh sepuluh perusahaan multinasional (multinational corporation/MNC) dengan nilai penjualan mencapai Rp 340 triliun. Lima perusahaan raksasa diantaranya adalah Sygenta, Monsanto, Bayer Crop, BASF AG, dan Dow Agro.

Di pihak lain, petani bergantung pada industri olahan dan pedagang pangan. Sepuluh besar MNC menguasai penjualan pangan senilai Rp 3.477 triliun. Lima di antaranya, yakni Nestle, Cargill, ADM, Unilever, dan Kraft Foods. Indonesia juga masuk dalam cengkeraman jaringan MNC, terutama Nestle yang terbesar menguasai perdagangan kakao dunia, Cargill menguasai perdagangan pakan ternak, dan Unilever menguasai pangan olahan.

Ritel pangan dunia juga dikuasai MNC, di antaranya Wal Mart, Metro Group, Tesco, Seven & I Holdings, dan Carrefour. Profesor riset pada Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Kementrian Pertanian, Husein Sawit mengungkapkan, banyak produk pangan yang secara lokal sudah dijual ke perusahaan asing, di antaranya Danone (Perancis), Unilever (Belanda), Nestle (Swiss), Coca Cola (AS), Hj Heinz (AS), Campbels (AS), Numico (Belanda), dan Philip Morris (AS).

Di Indonesia, dari luasan bentang lahan perkebunan sawit tersebut, sebagian besarnya dimiliki oleh perusahaan-perusahaan multinasional. Riset yang dilakukan oleh TuK Indonesia (Kuasa Taipan: Kelapa Sawit di Indonesia,2015) menemukan bahwa 62 persen lahan sawit di Kalimantan dikuasai oleh lima perusahaan besar, yaitu Sinar Mas, Salim, Jardine Matheson, Wilmar dan Surya Dumai. Perusahaan-perusahaan ini juga dominan di Sumatra dengan penguasaan yang mencapai 32 persen dari total seluruh perkebunan.

Hal ini menjelaskan sebagian persoalan pangan Indonesia yang besar dan rumit merupakan bukti kapitalisme sebagai biang dari krisis sektor pangan serta lemahnya kebijakan dan tanggungjawab pemerintah untuk memenuhi hak atas pangan seluruh rakyat. [VM]

Posting Komentar untuk "Kapitalisme Sumber Krisis Sektor Pangan "

close