Ribuan Perda Dicabut, Tanda Kebuntuan Demokrasi
Oleh : Muhammad Amilurrahman
(Lajnah Siyasiyah HTI Surabaya)
Rabu, 15 Juni 2016, Jokowi resmi mencabut 3.143 perda termasuk perda miras dan semua yang mengandung nilai syariah. Berikut adalah contoh-contoh perda yang telah dicabut Jokowi melalui Mendagri Tjahjo Kumolo, dari daerah berpenduduk muslim:
- Himbauan berbusana muslim kepada kepala dinas pendidikan dan tenaga kerja.
- Wajib bisa baca Al Qur'an bagi siswa dan calon pengantin.
- Kewajiban memakai jilbab di Cianjur.
- Pelarangan membuka restoran, warung, rombong dan sejenisnya di bulan ramadan. Makan dan minum atau merokok di tempat umum pada bulan ramadan.
- Khatam Al Quran bagi peserta didik pada pendidikan dasar dan menengah.
- Tata cara pemilihan kades, calon dan keluarganya bisa membaca Al Quran.
- Kewajiban membaca Al Quran bagi PNS yang akan mengambil SK dan Kenaikan Pangkat. Begitu juga calon pengantin, calon siswa SMP dan SMU, dan bagi siswa yang akan mengambil ijazah.
- Kewajiban memakai busana muslim (Jilbab) di Dompu.
- Kewajiban mengembangkan budaya Islam (MTQ, qosidah, dll)
Demikianlah peristiwa politik yang memilukan hati kaum muslimin di bulan suci Ramadhan. Sebuah peristiwa politik yang menunjukkan betapa mudahnya perda-perda syariah dicabut dengan alasan menghambat investasi dan pembangunan. Sebuah alasan yang mengada-ada, sebab apa keterkaitan antara kewajiban kaum muslimin menegakkan agamanya dengan merosotnya iklim investasi, usaha dan pembangunan. Padahal justru dengan menerapkan seluruh kewajiban sehingga menjadikan para penduduknya menjadi insan yang benar-benar beriman dan bertaqwa maka Allah akan turunkan keberkahan dari langit dan dari bumi.
"Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya. " (Al A’Raaf 96). Maka amatlah jelas, justru dengan dicabutnya perda-perda syariah akan membawa malapetaka di dunia lebih-lebih lagi di akhirat kelak.
Kebuntuan Jalan Demokrasi
Telah menjadi pandangan yang diterima oleh banyak kalangan, bahwa jika kita ingin melakukan perubahan maka kita perlu masuk ke dalam sistem. Sebuah pandangan yang seringkali dianggap sebagai langkah kongkrit untuk memperjuangkan tegaknya syariah Islam secara perlahan-lahan. Memang, perjuangan ini bisa membuahkan hasil berupa terbitnya perda-perda Syariah. Hanya saja dengan peristiwa politik yang terjadi ini menunjukkan betapa rapuhnya pondasi tegaknya perjuangan ini. Hal ini dikarenakan kelanggengan perda-perda syariah hanya ditopang oleh person-person penguasa semata-mata. Namun, ketika person-person penguasanya berganti dan tidak menghendaki perda-perda tersebut, maka terjadilah apa yang sekarang kita bisa menyaksikannya.
Oleh karenanya, kita membutuhkan jaminan yang lebih besar dari sekedar peluang untuk bisa menerbitkan perda-perda syariah. Kita membutuhkan jaminan agar person-person yang menjadi penguasa adalah person yang pasti memperjuangkan syariah. Kita butuh jaminan agar setiap kebijakan yang bersandar pada syariah, tidak hanya berlaku pada satu daerah tertentu saja tetapi berlaku untuk seluruh daerah dimana kaum muslimin berkuasa di atasnya. Di sinilah urgensitas memperjuangkan penegakan khilafah disamping memperjuangkan penerapan syariah Islam. Hal itu dikarenakan khilafah memberikan seluruh jaminan tersebut.
Khilafah akan menjamin seluruh kebijakannya bersandar pada syariah islam semata. Hal itu karena Khilafah (Imamah) adalah kepemimpinan umum atas seluruh kaum Muslim di dunia untuk menerapkan hukum-hukum syariah dan mengemban dakwah Islam ke seluruh penjuru dunia. (Lihat: Nizhâm al-Hukm fî al-Islâm, Qadhi an-Nabhani dan diperluas oleh Syaikh Abdul Qadim Zallum, Hizbut Tahrir, cet. VI [Mu’tamadah]. 2002 M/1422 H).
Khilafah akan menjamin seluruh person-person yang menjadi penguasa adalah penguasa yang memperjuangkan syariah Islam. Hal itu dikarenakan syarat seorang khalifah, muawin tafwidh, wali dan amil adalah laki-laki, merdeka, baligh, berakal, adil, memiliki kemampuan dan beragama Islam. (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 96). Adil di sini artinya, ia adalah seorang yang menjaga agama, harta dan kehormatan dirinya; tidak melakukan dosa besar; tidak sering melakukan dosa kecil; dan selalu menjaga muru’ah (Al-Baghdadi, Al-Farq bayna al-Firaq, hal. 271). Muru’ah adalah meninggalkan segala bentuk perbuatan yang bisa merusak kewibawaan, sekalipun perbuatan itu mubah.
Khilafah akan menjamin seluruh wilayah yang ada di dalam kekuasaannya hanya diterapkan kebijakan-kebijakan yang bersandar pada syariah semata-mata. Sebab seluruh penguasa dituntut untuk menerapkan hukum yang adil. Dan Tidak diragukan lagi bahwa hukum yang adil hanyalah hukum yang berasal dari Zat Yang Mahaadil dan Mahabijaksana, yakni dari Allah Swt.
“Bukankah Allah Hakim yang seadil-adilnya? “(lihat: QS at-Tin [95]: 8)
Sempurnakan Perjuangan
Oleh karenanya itu, perjuangan menerapkan syariah Islam akan senantiasa menemukan kebuntuan bila tidak dilengkapi dengan perjuangan menegakkan Khilafah. Dan upaya menegakkan Khilafah tidak akan mungkin bisa melalui jalan demokrasi sebab demokrasi adalah jalannya orang Yahudi. Maha suci Allah dari tegaknya khilafah melalui jalannya orang-orang yang sesat.
Marilah kita terus-menerus memperjuangkan penerapan syariah Islam dengan terus-menerus menyuarakannya di atas mimbar-mimbar dakwah yang kita miliki. Dengannya, kita berharap masyarakat siap untuk menyongsong tatanan dunia bersandar pada syariah. Dan marilah kita sempurnakan perjuangan kita dengan memperjuangkan penegakan khilafah dengan terus-menerus menyuarakan kepada para ahlul quwwah (pemilik kekuatan real). Dengannya, kita berharap pertolongan dari Allah melalui tangan ahlul quwwah – sebagaimana kaum anshar madinah kepada rasulullah – memberikan kita kekuasaan untuk ditegakkannya khilafah demi sempurnanya penerapan syariah di seluruh alam. Wallahualam bisshawab. [VM]
Posting Komentar untuk "Ribuan Perda Dicabut, Tanda Kebuntuan Demokrasi"