Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Panglima TNI Bolehkan Prajurit Wanita Ber"jilbab"

ilustrasi tentara wanita berkerudung
Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo mengizinkan Korps wanita TNI AD (Kowad) untuk mengenakan "jilbab". “Jadi begini, jilbab itu bulan puasa jadi pada pakai. Kalau mau gunakan ya gunakan saja,” kata Gatot di Kantor Menkopolhukam, Jumat (1/7/2016), seperti dilansir Republika.

Kendati Ramadhan akan berakhir, Gatot tak akan melarang Kowad untuk mengenakan "jilbab". “Pakai, pakai saja. Gak ada yang ngelarang kan. Boleh, saya gak larang,” kata Gatot.

"Jilbab" di kalangan anggota wanita TNI merupakan yang pertama. Saat Panglima TNI dijabat oleh Jenderal Moeldoko, TNI menyatakan telah mengakomodasi usul pemakaian "jilbab" bagi wanita TNI dalam melaksanakan tugas sebagai prajurit. Namun aturan penggunaan "jilbab" itu hanya dikhusukan bagi wanita TNI yang bertugas di Aceh.

Sementara pada Mei 2015 lalu, Mabes Polri secara resmi mengakomodasi keinginan anggotanya maupun PNS yang bekerja di lingkungan Polri untuk berhijab. Kini para polwan sudah boleh mengenakan "jilbab" tanpa ada halangan.

Dalam pengumuman yang terdapat dalam laman humas.polri.go.id aturan tersebut tertuang dalam Keputusan Kapolri Nomor : 245/III/2015 tanggal 25 Maret 2015, tentang perubahan atas sebagian surat keputusan Kapolri Nopol : SKEP/702/X/2005 tanggal 30 September 2006 tentang sebutan penggunaan pakaian dinas seragam Polri dan PNS Polri. [Islampos/VM]

Ket :

Kata JILBAB yang dimaksud pada berita di atas sebenarnya adalah KERUDUNG atau sering disebut juga dengan KHIMAR. Jika kita kembali ke definisi sebenarnya, JILBAB adalah baju kurung yang longgar dan diulurkan dari atas sampai ke bawah menutupi kedua kaki. Sehingga kata JILBAB pada berita di atas lebih tepat jika diganti dengan kata KERUDUNG atau KHIMAR karena yang dimaksud adalah kain yang menutupi kepala, itupun Syar'i nya jika menutupi seluruh kepala, leher dan bukaan pakaian di dada. 

Selengkapnya bisa baca tulisan di bawah ini :

Busana Muslimah Syar’i

Pakaian syar’i untuk perempuan memiliki dalil-dalil syariah yang jelas dan gamblang. Pakaian perempuan itu bukan berdasarkan adat kebiasaan.  Artinya, jika masyarakat sudah terbiasa dengan pakaian tersebut maka pakaian itu dipakai; jika masyarakat tidak terbiasa dengannya maka pakaian tersebut tidak akan dipakai kaum perempuan. Pakaian perempuan itu adalah kewajiban yang diwajibkan oleh Allah SWT terhadap perempuan.

Syariah telah mewajibkan pakaian tertentu kepada perempuan ketika keluar dari rumahnya dan beraktivitas dalam kehidupan umum. Syariah telah mewajibkan perempuan agar memiliki pakaian yang ia kenakan di atas pakaiannya ketika ia keluar ke pasar atau berjalan di jalan umum, yakni jilbab, dengan maknanya yang syar’i. Jilbab itu ia kenakan di atas pakaiannya dan ia ulurkan ke bawah hingga menutupi kedua kakinya. Jika ia tidak memiliki jilbab, hendaknya ia meminjam jilbab dari tetangganya atau temannya atau kerabatnya. Jika ia tidak bisa meminjam atau tidak seorang pun meminjami dirinya maka ia tidak boleh keluar rumah tanpa mengenakan jilbab. Jika ia keluar tanpa memakai jilbab yang ia kenakan di atas pakaiannya (baju sehari-hari yang dikenakan di dalam rumah) maka ia berdosa, sebab ia meninggalkan kewajiban yang telah difardhukan oleh Allah SWT atas dirinya.

Pakaian perempuan yang disyariatkan terdiri dari dua potong. Potongan pertama adalah bagian baju yang diulurkan dari atas sampai ke bawah menutupi kedua kaki.  Bagian kedua adalah kerudung, atau yang menyerupai atau menduduki posisinya berupa pakaian yang menutupi seluruh kepala, leher dan bukaan pakaian di dada. Ini hendaknya disiapkan untuk keluar ke pasar atau berjalan di jalan umum. Jika ia memiliki kedua pakaian ini, ia boleh keluar dari rumahnya ke pasar atau berjalan di jalan umum, yakni keluar ke kehidupan umum. Sebaliknya, jika ia tidak memiliki kedua pakaian ini, ia tidak sah untuk keluar, apapun keadaannya. Sebab, perintah dengan kedua pakaian ini datang bersifat umum dan ia tetap berlaku umum dalam semua kondisi; tidak ada dalil yang mengkhususkannya sama sekali.

Dalil atas kewajiban  ini adalah firman Allah SWT tentang pakaian bagian atas:

وَلا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلا مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ

Janganlah mereka menampakkan perhiasan-nya, kecuali yang (biasa) tampak pada dirinya. Hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya (QS an-Nur [24]: 31).

Juga firman Allah SWT tentang pakaian bagian bawah:

يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لأزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلابِيبِهِنَّ

Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang Mukmin, “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.” (QS al-Ahzab [33]: 59)

Dalil lain adalah hadis penuturan Ummu ‘Athiyah yang berkata:

أَمَرَنَا رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ نُخْرِجَهُنَّ فِيْ الْفِطْرِ وَالْأَضْحَى، اَلْعَوَاتِقَ وَالْحُيَّضَ وَذَوَاتِ الْخُدُوْرِ، فَأَمَا الْحَيّضُ فَيَعْتَزلْنَ الصَّلاَةَ وَيَشْهَدْنَ الْخَيْرَ، وَدَعْوَةَ الْمُسْلِمِيْنَ. قُلْتُ يَا رَسُوْلَ اللهِ إِحْدَانَا لاَ يَكُوْنُ لَهَا جِلْبَابٌ، قَالَ: لِتُلْبِسْهَا أُخْتُهَا مِنْ جِلْبَابِهَا

Rasulullah saw. memerintahkan kami untuk mengeluarkan para perempuan pada Hari Idul Fitri dan Idul Adha; para perempuan yang punya halangan, perempuan yang sedang haid dan gadis-gadis yang dipingit. Adapun perempuan yang sedang haid, mereka memisahkan diri dari shalat dan menyaksikan kebaikan dan seruan kepada kaum Muslim. Aku berkata,  “Ya Rasulullah, salah seorang dari kami tidak memiliki jilbab.” Rasul saw menjawab, “Hendaknya saudaranya memin-jami dia jilbab.” (HR Muslim)

Dalil-dalil ini jelas dalam dalalah-nya atas pakaian perempuan dalam kehidupan umum. Jadi, dalam dua ayat ini, Allah SWT telah mendeskripsikan pakaian yang Allah wajibkan atas perempuan agar ia kenakan dalam kehidupan umum dengan deskripsi yang dalam, sempurna dan menyeluruh. Allah SWT berfirman tentang pakaian perempuan bagian atas (yang artinya): Hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya (TQS an-Nur [24]: 31). Maknanya, hendaknya mereka mengulurkan penutup kepala mereka di atas leher dan dada mereka, untuk menutupi apa yang tampak dari bukaan baju, dan bukaan baju dari leher dan dada. Allah SWT juga berfirman terkait pakaian perempuan bagian bawah (yang artinya):

Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka (TQS al-Ahzab [33]: 59). Maksudnya, hendaknya mereka menjulurkan atas diri mereka jilbab-jilbab mereka yang mereka kenakan di atas pakaian untuk keluar; hendaknya mereka menjulurkan jilba-jilbab mereka ke bawah.
Allah SWT pun berfirman tentang tatacara umum yang berlaku atas pakaian ini (yang artinya): Janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) tampak pada dirinya (TQS an-Nur [24]: 31). Maknanya, hendaknya mereka tidak menampakkan anggota-anggota tubuh yang merupakan tempat perhiasan seperti kedua telinga, kedua lengan bawah, kedua betis dan selain itu kecuali apa yang bisa tampak dalam kehidupan umum ketika ayat ini turun, yakni pada masa Rasul saw., yaitu wajah dan kedua telapak tangan.

Dengan deskripsi yang mendalam ini maka menjadi jelas sejelas-sejelasnya, apa pakaian perempuan di kehidupan umum dan apa yang wajib atas pakaian itu. Hadis penuturan Ummu ‘Athiyah menjelaskan secara gamblang kewajiban perempuan memiliki jilbab yang ia kenakan di atas pakaiannya ketika ia keluar. Sebab, Ummu ‘Athiyah berkata kepada Rasulullah saw., “Salah seorang dari kami tidak memiliki jilbab.” Lalu Rasul saw. menjawab, “Hendaknya saudaranya meminjami dia dari jilbab.” Artinya, jika ia tidak dipinjami maka ia tidak tidak boleh keluar. Ini adalah qarinah (indikasi) bahwa perintah dalam hadis ini adalah untuk menyatakan wajib. Artinya, wajib perempuan mengenakan jilbab di atas pakaiannya jika ia ingin keluar. Jika ia tidak mengenakan jilbab maka ia tidak (boleh) keluar.

Jilbab disyaratkan agar dijulurkan ke bawah hingga menutupi kedua kaki karena Allah SWT berfirman (yang artinya): Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka (TQS al-Ahzab [33]: 59). Maknanya, hendaknya mereka menjulurkan jilbab mereka. Kata “min” di sini bukan li at-tab’îdh (menyatakan sebagian), tetapi li al-bayân (untuk penjelasan). Artinya, hendaknya mereka menjulurkan jilbab hingga ke bawah. Dalam hal ini, diriwayatkan dari Ibn Umar bahwa Rasul saw. pernah bersabda:

مَنْ جَرَّ ثَوْبَهُ خُيَلاَءَ لَمْ يَنْظُرِ اللَّهُ إِلَيْهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَقَالَتْ أُمُّ سَلَمَةَ فَكَيْفَ يَصْنَعْنَ النِّسَاءُ بِذُيُولِهِنَّ قَالَ يُرْخِينَ شِبْرًا فَقَالَتْ إِذًا تَنْكَشِفُ أَقْدَامُهُنَّ قَالَ فَيُرْخِينَهُ ذِرَاعًا لاَ يَزِدْنَ عَلَيْهِ

“Siapa yang menjulurkan pakaiannya karena sombong, Allah tidak memandang dirinya pada Hari Kiamat.” Lalu Ummu Salamah berkata, “Lalu bagaimana perempuan memperlakukan ujung pakaiannya.” Rasul menjawab, “Hendaknya mereka menjulurkan-nya sejengkal.” Ummu Salamah berkata, “Kalau begitu tersingkap kedua kaki mereka.” Rasulullah pun menjawab, “Hendaknya mereka menjulurkannya sehasta, jangan mereka lebihkan atasnya.” (HR at-Tirmidzi; ia menyatakan hadis ini  hasan-shahih).

Hadis ini gamblang menjelaskan bahwa jilbab yang dikenakan di atas pakaian itu wajib dijulurkan ke bawah sampai menutupi kedua kaki. Jika kedua kaki ditutupi dengan sepatu atau kaos kaki, itu belum cukup (jika jilbabnya tidak menjulur ke bawah, red.). Jilbab tetap harus menjulur ke bawah hingga kedua kaki dalam bentuk yang menunjukkan adanya irkha’ (dijulurkan) sehingga diketahui bahwa itu adalah pakaian kehidupan umum yang wajib dikenakan perempuan di kehidupan umum. Jilbab harus tampak irkha’ sebagai realisasi dari  firman Allah: “yudnîna” yakni yurkhîna (hendaknya mereka menjulurkan).

Hijab Syar'i  (Alfatih Studio)
Seperti yang Anda lihat, pakaian perempuan itu merupakan pakaian yang sudah dibatasi dengan pembatasan yang jelas dengan nas-nas yang gamblang (sharih), tidak ada kerancuan dan keraguan dalam dalalah-nya. Karena itu Rasulullah saw., ketika ditanya oleh Ummu ‘Athiyah tentang keluar rumahnya  perempuan yang tidak punya jilbab, maka beliau menjawab agar perempuan itu meminjam jilbab dari tetangganya atau ia tidak keluar. Ini adalah dalalah yang kuat yang menunjukkan kewajiban pakaian ini sebagai kewajiban syar’i. [Sumber: Nasyrah Soal-Jawab Amir HT/Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah, 1 Muharram 1435/4 November 2013]

Posting Komentar untuk "Panglima TNI Bolehkan Prajurit Wanita Ber"jilbab""

close