Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

ADD dan Kemunculan Koruptor Kelas Teri


Oleh : M Atekan 
(Lajnah Siyasiyah HTI Lamongan)

Masih ingatkah kita GKD (Gerakan Kembali ke Desa) pada masa Orde Baru? Tampaknya rezim Jokowi-JK memandang perlu untuk kembali membangun melalui desa. Tak tanggung-tanggung dalam Kampanye pencapresannya Jokowi-JK menjanjikan Rp 1 Miliyar tiap desa. Sebanyak 462 desa di Kabupaten Lamongan akan menerima Alokasi Dana Desa (ADD) yang nilainya sebesar Rp Rp 127.791.532.200. ADD Lamongan tahun ini mengalami kenaikan. Dari pagu sebesar Rp 121.980.407.500 di tahun 2015, naik menjadi Rp 127.791.532.200 di tahun 2016. Di tahap pertama, sebanyak 462 desa sudah mencairkan ADD sebesar Rp 50.102.283.693 atau 39,21 persen.

Sedangkan di tahap kedua ini, jumlah desa yang sudah mencairkan ADD sebanyak 445 desa dengan nilai Rp 46.122.686.454 atau 36,09 persen. Sebanyak 16 desa di Kecamatan Paciran dan satu desa di Kecamatan Mantup belum bisa mencairkan ADD mereka di tahap kedua karena belum merampungkan SPJ tahap pertama (http://harianbhirawa.co.id/2016/08/pencairan-add-kab-lamongan-capai-75/).

Seriuskah ADD?

Program Pengembangan Kecamatan (PPK) dan Program Nasional  Pemberdayaan Masyarakat Mandiri (PNPM) sempat tenar di masa pemerintahan SBY-Budiono. Dana yang dipakai berasal dari pinjaman Bank Dunia (World Bank). Adapun ADD berasal murni dari negara. Sebagaimana pasal 72 UU tentang Desa menyebutkan bahwa pendapatan desa yang bersumber dari alokasi APBN, atau dana desa bersumber dari belanja pusat dengan mengefektifkan program desa secara merata dan berkeadilan. ADD digunakan dalam pembangunan infrastruktur.

Sampai saat ini tidak ada batasan terkait penggunaan dana desa. Tujuan dari dana desa pada dasarnya untuk mewujudkan pertumbuhan ekonomi yang inklusif dengan lebih memeratakan pendapatan. Nantinya ADD juga digunakan sebagai modal membangun BUMDes (Badan Usaha Milik Desa). Seriuskah ADD untuk pembangunan berbasis pedesaan? Ataukah sekadar untuk memberikan kemandirian kepada desa lalu pemerintah berlepas tangan?

Bagi daerah, UU Desa telah menjadi bebean tambahan. Dana desa dari APBN tidak menambah ruang fiskal. Sedangkan dana alokasi umum (DAU) yang menjadi sumber pendapatan APBD harus diberikan 10% ke desa. Selain itu, kabupaten juga masih menanggung biaya pendampingan desa. Ibaratnya, sudah jatuh tertimpa tangga.

Dalam suatu kesempatan, Gubernur Jatim, Soekarwo juga mengusulkan pentingnya pendamping sebagaimana konsep PNPM. Padahal, pemerintah provinsi juga berhak mengelola pendamping desa. Saat ini saja, gaji pendamping desa masih macet di daerah dan menunggu keputusan dari Bank Dunia. Karena Bank Dunialah yang menyarankan adanya pendamping. Sebagaimana risetnya pada 2014 tentang kajian kebijakan publik yang menyimpulkan bahwa transfer dana ke daerah ternyata tidak serta-merta memperbaiki layanan publik di daerah. Dikhawatirkan dana desa yang digelontorkan nanti bernasib sama, apabila dilepas tanpa adanya pengawalan oleh pihak-pihak independen.

Sangat disayangkan, pembangunan pedesaan di negeri ini tak memiliki konsep jelas. Desa diberi uang, tapi miskin panduan. Akibatnya ketika pejabat level desa diminta mengelola, mereka bingung. Bahkan ada yang mengalokasikan jauh dari peruntukannya. Misalnya, dana desa dipinjamkan ke warga. Kemudian pada jatuh tempo pembayaran pinjaman itu berbunga. Bukannya malah meringankan, justru masyarakat jatuh kepada riba yang berbuah dosa. Kalaulah dana desa itu murni untuk rakyat desa, meski itu dipinjamkan seharusnya tidak ada embel-embel bunga dan riba.

Target ADD adalah infrastruktur. Sehingga lupa membangun Sumber Daya Manusia di desa. Hal yang perlu dipahami bahwa mata pencaharian rakyat desa adalah bertani. Maka pembinaan pertanian dan pendidikan perlu ditingkatkan. Rakyat desa juga dibekali dengan ketrampilan agar mampu hidup di tengah persaingan ekonomi global. Bukankah, rakyat desa selama ini yang tidak diutungkan dengan beragam kebijakan impor oleh pemerintah?

Keseriusan pembangunan desa tidak sekadar dana dan usulan semata. Karena ini merupakan tanggung jawab penguasa dalam mengurusi rakyatnya. Dasar dari pengurusan rakyat berporos pada ketersediaan sandang, pangan, dan papan. Didukung dengan kesehatan, pendidikan, dan rasa aman dalam kehidupan. Pemberian dana itu dimaknai bukan karena janji kampanye, tapi lebih pada pelaksanaan amanah sebagai penguasa.

Waspada Koruptor Kelas Teri
 
Perputaran uang di kalangan elit pejabat tidak bisa disangsikan lagi terkait penguaapan dan kebocoran anggaran. Besaran ADD berpotensi korupsi di kalangan elit desa. Jika ini terjadi, maka sempurnalah sudah bahwa korupsi membudaya mulai bawahan hingga atasan. Rakyat yang sejatinya menjadi obyek yang diurusi kembali dikecewakan karena ulah sebagian orang. Meski ada pengawasan dan kontrol, namun karena lemahnya iman, kebobrokan di desa pun dianggap biasa.

Antar pejabat desa saling menyembunyikan aib pelayanan kepada warga. Pejabat di atasnya pun sama seolah-olah menutup mata atas mata rantai korupsi berjamaah. Mereka mengatasnamakan pemotongan dan uang lelah. Di sisi lain, mayoritas warga desa yang taraf pendidikannya rendah mudah sekali dibohongi dengan janji-janji palsu. Sedikit sekali mereka yang memiliki kesadaran dan taraf berpikir cemerlang. Kondisi itu sejatinya diakibatkan oleh sistem kehidupan yang membelenggu mereka dalam kemiskinan dan kebodohan.

Jika pembangunan masyarakat dikembalikan pada sistem Islam, maka akan memunculkan keberkahan dalam hidup. Anggaran untuk rakyat bukanlah janji, tapi kewajiban negara. Bukan pula sebuah kamuflase untuk lari dari tanggung jawab. Begitu pula, pejabat yang dipilih dalam mengelola anggaran merupakan orang yang amanah dan bertaqwa. Karena taqwa sebagai penjaga awal bagi individu dalam melaksanakan tugasnya. Mereka tidak mudah disuap atau diberi hadiah agar mempermudah pencairan dana. Begitu pula, pembangunan tidak hanya fokus pada infrastruktur yang memang untuk menunjang aktifitas manusia. Pembangunan SDM pun begitu diperhatikan, karena menyangkut kuat dan majunya suatu peradaban manusia. Oleh karena itu, ADD bisa menjadi bencana jika dikelola dalam model politik demokrasi saat ini. Sebaliknya akan menjadi berkah, jika dikelola dengan model sistem politik Islam dalam bingkai Khilafah. [VM]

Posting Komentar untuk "ADD dan Kemunculan Koruptor Kelas Teri"

close