Sebuah Pembelajaran dari Tolak Ahok
Oleh : Ary Herawan
(Blogger dan Penulis di Akademi Menulis Kreatif)
Netralitas media saat ini benar-benar ditanyakan. Aksi Hizbut Tahrir Indonesia beserta ormas lainnya, yang dihadiri puluhan ribu massa, dikerdilkan menjadi ratusan bahkan sekedar seribuan massa. Tak hanya itu, fokus pemberitaan pun mulai diarahkan pada video seorang mahasiswa UI yang menyerukan penolakan terhadap Ahok. Video orasi Boby Febrik Sedianto, seorang mahasiswa Magister Keperawatan UI, telah menjadi viral dan menggegerkan jagad sosmed.
Pihak UI telah memanggil mahasiswa dimaksud karena dianggap melanggar pasal 8 Ketetapan Majelis Wali Amanat Universitas Indonesia No. 008/SK/MWA-UI/2014 tentang Tata Tertib Kehidupan Kampus. Bahkan konon katanya, Boby sudah meminta maaf secara tertulis kepada pihak UI, pernyataan tersebut ditandatanganinya di atas materai Rp 6000,-.
Apa yang dilakukan UI telah memancing reaksi balik. Karena beberapa minggu sebelumnya, Lab. Psikologi Politik UI merilis data survey yang secara nyata mendukung Ahok. Ketua Laboratorium Politik UI, Hamdi Muluk, mengungkapkan bahwa Basuki Tj Purnama/Ahok adalah tokoh yang paling direkomendasikan untuk jadi Gubernur DKI. Rilis tersebut juga menempatkan beberapa tokoh Islam sebagai tokoh yang paling tidak direkomendasikan. Survey tersebut meski dibuat versi ilmiah, jelas bukanlah sesuatu yang netral.
Penulis sendiri menyayangkan atas apa yang menimpa Boby. Orasinya yang menggugah kesadaran, selain berbuah dukungan, juga berujung cacian dan cercaan. Seolah-olah netralitas di negeri ini sudah dijunjung tinggi dengan penuh kesakralan. Padahal pada faktanya, netralitas seringkali hanyalah alat untuk menekan lawan politik. Atau asesoris indah sangkur senjata para pemilik modal, untuk menyembunyikan apa yang ada di dalamnya. Sebuah pisau keadilan yang tajam menyayat ke bawah sedangkan tumpul ke atas.
Dalam pandangan Islam, sikap menolak Ahok merupakan penolakan terhadap kepemimpinan orang kafir. Allah Swt secara tegas mengharamkan kaum muslim untuk memilih orang kafir sebagai pemimpin bagi mereka. Di antaranya adalah Q.S. Ali Imran: 28; Q.S. An Nisa: 89, 139, 144; Q.S. Al Maidah: 51, 57, 81; Q.S. At Taubah: 23 dan Q.S. Al Mumtahanah: 1. Penolakan kaum muslim terhadap Ahok merupakan sikap yang merujuk pada tuntunan kitab sucinya. Bukanlah semata ego sentimen SARA sebagaimana yang sering dituduhkan. Penolakan terhadap pemimpin kafir adalah sikap berpegang teguh terhadap ketentuan syariah.
Imam Al Qurthubi mengutip penjelasan Ibnu Abbas r.a. Yakni, Allah Swt melarang kaum mukmin untuk bersikap lembut kepada orang kafir kemudian menjadikan mereka sebagai pemimpin. Menurut Imam Thobari, kaum mukmin dilarang menjadikan orang-orang kafir sebagai pemimpin dan penolong, yang mengurusi mereka atas agama mereka. Begitu imam ibnu Katsir menegaskan bahwa Allah Ta’ala melarang hamba-hambanya yang mukmin dari mengangkat orang kafir -dari selain kaum mukmin- sebagai pemimpin. Yakni, menjadikan mereka sahabat, teman dekat, penasihat serta rasa sayang tersembunyi dan mengungkapkan rahasia kaum mukmin kepada mereka.
Dalam pandangan syariah Islam, memilih orang kafir sebagai pemimpin merupakan pelanggaran dan kemaksiatan. Seruan penolakan akan hal tersebut merupakan salah satu bentuk amar makruf nahyi munkar. Bagi umat Islam, menyuarakan penolakan terhadap suatu keharaman merupakan sebuah kewajiban, sebagaimana penolakan terhadap legalisasi miras, pergaulan bebas, pornografi dan sebagainya. Karena setiap keharaman pasti mengandung kefasadan. Jika kaum muslim tidak peduli akan aqidah pemimpinnya, apalagi terhadap aqidah umatnya.
Kejadian yang menimpa saudara Boby semestinya membukakan mata kita. Bahwa melenggangnya orang kafir menjadi pemimpin di negeri mayoritas muslim ini, tidak terlepas dari peran ide demokrasi yang diadopsi. Demokrasi sama sekali tidak menjadikan Al Quran sebagai panduan. Pandangan baik buruk yang dihasilkan hanyalah buah keputusan segelintir manusia. Ujung-ujungnya uang yang berkuasa, sehingga para pemilik modal-lah yang menjadi penentunya. Keadilan pun berjalan ala hukum rimba.
Tidak hanya Ahok, atas nama demokrasi pula para calon pemimpin kafir menjamur di seluruh penjuru negeri. Inilah salah satu ancaman nyata demokrasi bagi umat Islam. Dalam sistem demokrasi, tak ada larangan orang kafir untuk menjadi pemimpin umat Islam. Meskipun pada faktanya, atas nama demokrasi pula kaum muslim seringkali tercegah untuk menjadi pemimpin di daerah minoritas. Padahal Allah Swt tidak akan pernah memberikan jalan kepada orang kafir untuk menguasai kaum mukmin (lih. Q.S. Annisa: 141). Berarti para hamba-Nya, yakni kaum mukmin, dilarang melenggangkan jalan terhadap orang kafir untuk memimpin mereka. Karena, kepemimpinan orang kafir berarti kuasanya atas kaum mukmin.
Umat Islam yang menjadi mayoritas penduduk Indonesia semakin terancam. Sebagai contoh di Jakarta khususnya, berbagai pengusiran warga dilakukan dengan dalih penataan kota. Padahal di balik itu ada tersimpan agenda pembangunan istana dan ladang usaha para konglomerat. Misal untuk lahan bekas penggusuran di Luar Batang, pemerintah DKI akan membangun plaza dan kawasan wisata Bahari. Pribumi? tersingkirkan pasti. Mereka harus menempati rusunawa-rusunawa yang dibuat para investor, hal ini berarti keuntungan lagi untuk para pemilik modal. Namun anehnya pada saat yang hampir bersamaan, daerah Mangga Dua yang bukan mayoritas muslim, dibatalkan penggusurannya.
Ketika kaum mukmin berbicara tentang aturan hidup yang ditaati, mestilah tak boleh dipisahkan dari keimanan mereka. Allah Swt mewajibkan kaum mukmin untuk taat kepada Allah Swt dan Rasul-Nya, lalu kepada ulil amri dari kalangan mereka.
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya, serta ulil amri di antara kalian. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu maka kembalikanlah kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (Assunnah), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama dan baik akibatnya (bagimu).” (An-nisa: 59).
Ulil amri yang dimaksud ayat tersebut harus dari kalangan kaum mukmin serta taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Allah Swt menegaskan bahwa jika terjadi perbedaan pendapat maka harus dikembalikan kepada Al Quran dan Assunnah. Tentunya hal tersebut tidak berlaku dalam sistem demokrasi, dimana seluruh keputusan yang diambil hanyalah dikembalikan pada pendapat manusia semata. Tak terkecuali dalam hal kebolehan orang kafir menjadi pemimpin. [VM]
Posting Komentar untuk "Sebuah Pembelajaran dari Tolak Ahok"