Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Sejarah Panjang MUI : Bila Fatwa Ulama Diabaikan Penguasa


Oleh: Andi Ryansyah, 
Pegiat Jejak Islam untuk Bangsa (JIB)

Sekarang-sekarang ini, kita sedang menunggu hasil gelar perkara Ahok terkait kasus penistaan agama. Memang, Majelis Ulama Indonesia (MUI) sudah menyatakan Ahok menista Al-Qur’an dan Ulama, tapi itu rupanya tidak menjamin aparat penegak hukum memutuskan Ahok melanggar pasal penistaan agama. Aparat tampaknya sangat berhati-hati dalam kasus Ahok ini, untuk tidak mengatakan lamban dan ragu dengan sikap MUI. 

Perlu kita ketahui, MUI ada, karena tumbuhnya rasa saling percaya dan membutuhkan di antara pemerintah dan Ulama kala itu. Sebelumnya, ada jarak di antara keduanya. Bila di masa revolusi, mereka bahu membahu memperjuangkan kemerdekaan, namun 30 tahun setelah Indonesia merdeka, mereka makin lama makin berjauhan. Pemerintah menganggap Ulama sebagai batu penghalang pembangunan, kecuali yang mau “membantu”. Ulama diharuskan menyokong segala program pemerintah. Tak boleh dibantah. Meski menurut keyakinan Ulama, program itu bertentangan dengan Islam.

Diperlakukan begitu, kalangan Ulama tak tunduk. Mereka teringat akan hadits Nabi, “Ulama yang mendekati penguasa, dicemburui ketulusan agamanya. Lebih baik menjauh demi keselamatan agamamu.” Ulama yang muda-muda tetap mengkritik pemerintah melalui tabligh-tabligh dan khutbah Jum’at. Kritik mereka pun sampai ke telinga pemerintah. Sampai pemerintah merasa perlu mengirim banyak intel. “Kadang-kadang, supaya laporan berisi, kata sejengkal direntang dijadikan sehasta. Kata sehasta dirunyut dijadikan sedepa,” ungkap Buya Hamka.

Satu waktu, di kalangan Ulama menimbang, kalau mengkritik pemerintah di tabligh-tabligh saja atau di khutbah Jum’at  saja, lebih banyak ruginya ketimbang untungnya. Orang yang dikritik itu tidak insyaf. Malah timbul hawa nafsunya menjaga gengsi. Mengkritik dari jauh hanya akan menambah jauh. 

Di kalangan pemerintah menimbang pula. Mereka menyadari kesalahan siasat selama ini yang menjadikan Ulama sebagai alat politik pembujuk rakyat. Sebab rakyat sudah bosan dengan itu dan tak lagi bodoh. Makin lama pemerintah makin merasakan betapa perlunya Ulama-Ulama mendampingi dan menasihatinya. Sebab banyak hal yang menyangkut agama yang tidak diketahuinya, yang dapat menyinggung perasaan umat Islam. 

Kini, bagi pemerintah, pembangunan tak semata materi, tapi juga rohani. Karena itu pemerintah membentuk Majelis Ulama. Diajaklah Ulama bergabung di dalamnya. Ulama yang merasa lebih baik tidak menjauh tadi, setelah mendengar ajakan pemerintah itu, lalu menerimanya (Hamka, Panji Masyarakat 1/8/1975, 15/9/1975).

Setelah Majelis Ulama berdiri, Majelis Ulama di tiap-tiap propinsi, kabupaten, sampai kecamatan mengadakan Musyawarah Nasional (Munas), yang dihadiri oleh empat orang Ulama dari tiap-tiap propinsi, wakil-wakil dari Organisasi Islam dan Ulama-Ulama terkemuka. Munas diadakan di Jakarta dari tanggal 21-26 Juli 1975. Tujuan utamanya mendirikan Majelis Ulama Indonesia Pusat.

Pada Munas itu, Presiden Soeharto membukanya dengan “Bismillahirrahmanirrahim”. Dalam pengarahannya, beliau menginginkan Ulama turut andil dalam pembangunan sesuai dengan bidangnya. Karena bagi beliau, pembangunan bukan semata-mata materi, tapi juga rohani. Beliau menambahkan, sebagai bangsa, kemerdekan kita sangat bergantung pada kemerdekaan jiwa dengan iman dan takwa kepada Allah, ketimbang pengaruh lain. 

Maka, lanjutnya, sangatlah besar harapan umat, khususnya yang beragama Islam, kepada Ulamanya untuk amar ma’ruf nahi munkar (menyuruh berbuat baik, mencegah berbuat munkar) serta tidak merasa bimbang dan takut di dalam menegakkan kebenaran.

Beliau juga mengungkapkan, kesadaran hidup beragama, keteguhan iman dan takwa, menyebabkan kita berlapang dada menghadapi penduduk yang agamanya berbeda. Sebab, lanjutnya, agama Islam mengajarkan dua hal penting dalam Al-Qur’an: la ikraha fiddin (tidak ada paksaan dalam agama) dan lakum dinukum waliyadin (bagimu agamamu, bagiku agamaku).  

Dan beliau menegaskan, Majelis Ulama akan memberikan nasihatnya kepada pemerintah baik diminta ataupun tidak (Hamka, Panji Masyarakat, 1/8/1975).

“Karena demikian besar peranan Alim Ulama dalam pembangunan masyarakat, maka saya menganggap sangat tepat adanya Majelis Ulama yang segera akan dibentuk oleh Ulama ini,” ungkap Presiden Soeharto (Pelita, 22/7/1975).

Dalam Munas, Menhankam, Jenderal TNI Maraden Panggabean, juga menyampaikan pandangannya. Menurutnya, ”Kaum Ulama telah memberikan sahamnya yang sangat besar bagi pengisian arti kemerdekaan serta unsur yang turut serta dalam merealisasikan Pancasila, khususnya sila Ketuhanan Yang Maha Esa dan memperkuat ketahanan spirituil dalam menghadapi ideologi lain yang bertentangan dengan Pancasila.” (Pelita, 23/7/1975).

Buya Hamka sendiri ketika itu berpidato. Ia memberikan gambaran bagaimana posisi ulama di masyarakat. “Kami ini bagaikan kue bika, dibakar antara dua bara api yang panas, di atas pemerintah dan di bawah umat. (Rusydi Hamka, Pribadi dan Martabat Buya Prof.Dr. Hamka, 1981)

Munas yang pertama ini telah mempertemukan Ulama-Ulama dari  berbagai Ormas Islam seperti Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, Persis, Al-Irsyad, Ar-Rabithatul Alawiyah, dan Aljam-iyatul Washliyah. Semuanya bersatu dalam cinta kepada agama dan bangsa.

Munas berhasil membentuk pengurus Majelis Ulama Indonesia, yang dilantik oleh Menteri Agama, Mukti Ali. Dewan pimpinannya terdiri dari Ketua Umum, Prof.Dr.Hamka dan Ketua-Ketua, KH.Abdullah Syafiie, KH. Syukri Ghozali, KH. Habib Muhammad Al-Habsyi, KH. Hasan Basri, dan H.Soedirman

Munas diakhiri dengan penandatanganan piagam berdirinya MUI tertanggal 26 Juli 1975. Secara berurutan 26 Ketua Delegasi Majelis Ulama Daerah Tingkat I membubuhkan tanda tangannya. Masing-masing dimulai dari Delegasi DKI Jakarta sampai Maluku. Kemudian disusul oleh wakil-wakil Ormas Islam serta tokoh-tokoh perorangan yang menghadiri Munas tersebut. 

Ormas-ormas Islam yang menandatangani Piagam tersebut adalah NU (diwakili KH.M.Dachlan), Muhammadiyah (Ir.H. Basid Wahid), Sarikat Islam (H.M.Syafii Wirakusuma), Perti (Nurhasan Ibnu Hajar), Al-Wasliyah, Mathla’ul Anwar, Al-Ittihadijah, GUPPI, PTDI, dan Dewan Masjid. 

Tokoh-tokoh Islam yang membubuhkan tanda tangan ialah Prof. Dr.Hamka, KH. Safari, KH. Abdullah Syafii, Mr.Kasman Singodimedjo, KH.Hasan Basri,  Tgk.H.Abdullah Ujong Rimba, H. Kudratullah dan lain-lain. Turut pula menandatangani piagam tersebut dinas-dinas rohani ABRI, Disrohis Angkatan Darat, Disrohis Angkatan Laut, Disrohis Angkatan Udara, dan Disrohis Polri.

Dalam pedoman pokok MUI, ada lima fungsi MUI:
1. Memberi fatwa dan nasihat mengenai masalah keagamaan dan kemasyarakatan kepada pemerintah dan umat Islam umumnya sebagai amar ma’ruf nahi munkar dalam usaha meningkatkan Ketahanan Nasional.
2. Memperkuat ukhuwah Islamiyah dan melaksanakan kerukunan antar umat beragama. dalam mewujudkan Persatuan dan Kesatuan Nasional.
3. Mewakili umat Islam dalam Badan Konsultasi Antar Umat Beragama.
4. Penghubung antara ulama dan umara (pemerintah) serta menjadi penerjemah timbal balik antara pemerintah dan umat guna mensukseskan pembangunan nasional.
5. Majelis Ulama tidak berpolitik dan tidak bersifat operasionil (Pelita, 28/7/1975). 

Dari sejarah berdirinya MUI ini, kita bisa saksikan bahwa sebetulnya pemerintah mempercayakan sepenuhnya persoalan agama kepada MUI. Namun dalam perjalanannya, pemerintah tidak selalu menerima fatwa MUI. Contohnya fatwa haram bagi umat Islam merayakan natal bersama. Kala itu, Menteri Agama, Alamsyah, meminta fatwa tersebut dicabut. Tapi dengan tegas Hamka menolak dan memilih meletakkan jabatannya. Setalah pemerintah menolak fatwa itu, apakah MUI kehilangan kepercayaan umat? Faktanya umat tetap mengikuti fatwa itu. Umat tetap percaya Ulama. 

Pemerintah lah yang justru tak laku. Jadi kalau pemerintah sekarang membela Ahok dan tidak mengikuti sikap MUI yang kedudukannya lebih tinggi dari fatwa, mereka memang berharap umat meninggalkannya.

Sebagai penutup, sebuah nasihat dari Ketua Umum MUI pertama, Buya Hamka, untuk mereka, “Kalau ada di antara kita yang bertanya apa sanksinya kalau nasehat dan fatwa tidak digubris oleh penguasa, tidaklah ada undang-undang manusia yang akan menuntut pemerintah. Sebab pemerintah itu sendiri adalah pemegang undang-undang. Tetapi jika fatwa itu benar dan jujur, masih juga ditolak, maka pemegang-pemegang kuasa itu akan dihukum oleh Tuhan sendiri. Kadang-kadang mereka terima kontan di dunia ini juga. Bertambah mereka tidak percaya akan kekuasaan Tuhan, bertambah mereka tenggelam ke dalam la’nat ilahi.” (Panji Masyarakat, 1/8/1975). [VM]

Sumber : JejakIslam.Net

Posting Komentar untuk "Sejarah Panjang MUI : Bila Fatwa Ulama Diabaikan Penguasa"

close