Kezaliman Media dan Penguasa terhadap Suara Umat Islam

Jokowi Blusukan ke Bandara SOETTA Saat Aksi 4 Nov 2016
411, menjadi angka yang akan selalu di ingat sepanjang sejarah Indonsia. Pada hari itu, 4 november 2016, telah terjadi aksi damai oleh 2 juta lebih kaum muslim Indonesia. Mereka hadir untuk membela agama Allah. Surat Al maidah ayat 51, menjadi saksi terlukanya hati seluruh kaum muslim, karena ayat sucinya dihina oleh Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, yang kebetulan keturunan cina, menjabat sebagai gubernur DKI dan beragama nasrani. Dan ini bukan masalah SARA, karena siapapun yang menghina Al Quran maka reaksi kaum muslim akan sama.

Tuntutan mereka cuma satu, menuntut proses dan penegakan supremasi hukum atas kasus Ahok. Namun sampai tulisan ini dibuat pemerintah masih belum menunjukan sikap tegasnya. Jangan heran jika rencana Aksi bela Al Quran jilid 3 tanggal 25 november 2016 yang jumlahnya diprediksi akan semakin bertambah, menjadi momok yang harus di waspadai oleh pemerintah. Pertanyaannya, akankah tuntutan kaum muslim dikabulkan, Ahok diadili?

Terlepas dari pembahasan ahok ditangkap atau ahok bebas, ada setidaknya 2 hal yang menarik dalam kejadian ini, yaitu sikap penguasa dan sikap media yang seperti saudara kembar.

Sikap Penguasa

Kemana JOKOWI? Aksi Bela Al Quran 411 sudah jauh-jauh hari di beritakan. Seluruh media terlibat dalam pengopinian aksi damai tersebut. Namun apa yang dipilih Jokowi pada tanggal tersebut, sungguh tidak mengenal skala prioritas. Jokowi lebih memilih untuk meninjau proyek kereta di Bandara Soekarno-Hatta daripada menemui para demonstran. 

Kericuhan kecilpun terjadi selepas waktu solat isya, lantaran Bapak Presiden tidak kunjung datang. Padahal, Jokowi dimata media dicitrakan menjadi presiden yang ramah, low profile, sering ‘blusukan’ , senang menerima banyak tamu dari semua kalangan. Mulai dari pelawak hingga pelaku pembakaran masjid di Tolikara saja di sambut hangat oleh Jokowi. Sungguh miris,  jutaan umat hadir di depan istana, mereka tak diberikan apresiasi oleh presidennya.

Ketidakhadiran Jokowi merupakan bentuk abainya seorang penguasa pada aspirasi rakyatnya. Sikap Jokowi telah menjadi bumerang bagi karir politiknya. Kaum muslim se-Indonesiia merasa dilecehkan, dan opini bahwa Jokowi mengintervensi kasus ahok semakin jelas terlihat kebenarannya.
Pertanyaannya, mengapa Jokowi seolah-olah ingin melindungi Ahok? Padahal yang digugat oleh umat adalah sikap Ahok yang menistakan Al-Quran. Apa hubungannya Jokowi dengan Ahok? 

Ahok tentunya sangat dekat dengan pengusaha, sebut saja kasus Penggusuran Kalijogo. Menurut Direktur Utama PT Agung Podomoro Land, Ariesman Widjaja, perusahaannya mengeluarkan Rp 6 miliar atas permintaan Gubernur Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok untuk membiayai penggusuran kawasan prostitusi Kalijodo di Penjaringan, Jakarta Utara, akhir Februari lalu (Tempo.co). Dari sini bisa kita pastikan Ahok sangat dekat dengan pengusaha.

Begitulah alam kapitalisme. Penguasa adalah pelayan konglomerat, bukan pelayan rakyat. Penguasa adalah tameng untuk langgengnya perusahaan-perusahaan besar penjajah bangsa. Penguasa tidak bisa bertindak secara mandiri, karena sejatinya dia hanyalah boneka yang digerakan oleh sejumlah kepentingan. 

Sikap Media 

Setali tiga uang dengan penguasa, sikap media mainstream pun tak kalah ironinya. Media sekuler dan media barat seolah bersekongkol dalam mencitraburukan Aksi Damai 411. Seperti Headline Harian Media Indonesia yang juga group Metrotv, yaitu “Aktor Politik dibalik kericuhan”. Setitik diberitaka besar, padahal aksi ricuh hanya sebentar dan terjadi di malam hari. Apalagi kejadian ricuh ini sudah diklarifikasi oleh Panglima TNI Jendral Gatot Nurmantyo, bahwa ini murni dilakukan oleh provokator yang bukan berasal dari peserta aksi.

Bukan hanya kericuhan yang di blow up, tuduhan aksi ditunggangi pun keluar dari mulut media, sebut saja harian Kompas dalam headline nya menyebutkan “Presiden: Aktor Politik menunggangi”. Pernyataan presiden yang tidak hadir di tempat kejadian dan secara premature menuduh peserta aksi ditunggangi, malah dijadikan headline. Padahal, peserta aksi yang hadir murni didorong oleh hati nuraninya. Apalagi dalam sejarah politik Indonesia, partai politik mana yang bisa menghadirkan jutaan demonstran?

Begitupun media luar, CNN memberitakan peserta aksi hanya 200ribu. Dalam artikelnya BBC menaksir unjuk rasa 411 diikuti oleh 50rb orang. Padahal Masjid Istiqlal Jakarta yang merupakan masjid terbesar seasia tenggara, tidak mampu menampung seluruh demontrran. 

Tak ketinggalan, isu bahwa aksi ini disusupi oleh ISIS atau agenda Khilafah. Majalah TIMES, mengutip TITO, menyebutkan bahwa, kelompok yang berafiliansi ISIS kemungkinan akan menyusup pada aksi 4 November. Tak tertinggal koran Australia, Sidney Morning Herald, menurunkan judul "Jakarta protest: Violence on the streets as hardline Muslims demand Christian governor Ahok be jailed" ("Demonstrasi Jakarta: Kekerasan di Jalanan Ketika Garis Keras Muslim Menuntut Gubernur Kristen Ahok Dipenjara"). 

Sistem demokrasi, yang dalam teorinya kebebasan berpendapat menjadi salah satu asasnya. Namun faktanya, demokrasi telah membungkan aspirasi yang bertentangan dengan penguasa saat ini. Memplintir fakta, dan menjadikannya sejalan dengan opini mereka.

Media adalah pilar keempat dalam demokrasi. Dia adalah alat untuk menyampaikan gagasan penguasa kepada rakyatnnya. Jadi wajar jika media menampilkan berita “bohong” kepada umat, agar masyarakat sejalan dengan keinginan penguasa. Sikap media dan penguasa saat ini seolah “kompak” dalam mencitraburukkan Islam.

Berbeda dengan Islam. Islam memposisikan Penguasa adalah sebagai pelayan umat, umat mencintai pemimpinnya, begitupun pemimpinnya mencintai seluruh umatnya. Sehingga proses amar makruf (baca: Aksi damai umat pada penguasa) diantara keduanya  berjalan harmonis. Pemimpin menjadi garda terdepan dalam melindungi kitab Al Quran, bukan melindungi yang menistakan Al Quran.

Begitupun media, Media hadir untuk mengkondisikan Jawil Iman (kondisi keimana) masyarakat, menyebarkan syiar kebenaran bukan kebohongan, media menjadi alat untuk semakin kokohnya syariat Islam di tubuh negara. Tentu, hal ini hanya bisa terwujud dalam sebuah sistem Khilafah. Sistem Islam yang mampu menebarkan rahmatan lil alamin. [VM]

Pengirim : Kanti Rahmillah, S.T.P, M.Si (Anggota MHTI Purwakarta)

Posting Komentar untuk "Kezaliman Media dan Penguasa terhadap Suara Umat Islam "